Laporan
Anggota DPD RI B-76 Ir. Sarah Lery Mboeik
Ke NTT, tanggal 11-30 Desember 2009
1. Penguatan mekanisme akuntabilitas publik anggota DPD RI di daerah sangat diperlukan untuk memperkuat legitimasi, posisi dan peran anggota DPD RI dalam kancah politik nasional maupun daerah, khususnya berkaitan dengan proses konsolidasi demokrasi, di mana kualitas demokrasi di daerah-daerah yang notabene menjadi fokus dan locus fungsi representasi para anggota DPD juga akan sangat menentukan. Sebab itu Kantor Konstituensi adalah sebuah perangkat kerja yang perlu diwujudkan secepatnya. Adanya Kantor Konstituensi, baik itu bersifat individual setiap anggota DPD ataupun kolektif, dapat memfasilitasi relasi yang lebih sehat dan konstruktif antara anggota
Rekomendasi: Para anggota
2. Para anggota
Rekomendasi: Hal-hal yang berkaitan dengan penguatan Musrenbang ini banyak berkaitan dengan hal-hal teknis di mana para anggota
3. Persoalan Pertambangan dengan berbagai karakteristik destruktifnya diangkat lagi secara intensif oleh Harian Kompas dalam beberapa hari terakhir ini. Gambaran kerusakan ekologis yang terjadi begitu meluas, bahkan dalam konteks pulau besar seperti Kalimantan, apalagi bila kegiatan-kegiatan pertambangan tersebut terjadi pada pulau-pulau yang relatif lebih kecil seperti di gugusan kepulauan Nusa Tenggara. Demikian pula tesis yang menyatakan bahwa usaha-usaha tambang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi lokal yang akhirnya akan membawa kesejahteraan kepada masyarakat lokal tampaknya sudah terpatahkan karena pada kenyataannya tambang-tambang yang beroperasi di berbagai sudut Nusantara ini hampir selalu berdampingan dengan fenomena kemiskinan bahkan pemiskinan, selain dengan kerusakan lingkungan. Selain itu mudahnya Departemen ESDM dan para pemimpin daerah memberikan ijin konsesi tambang yang kerap kali melanggar batas-batas peruntukan wilayah konservasi. Di hampir semua kasus kegiatan pertambangan tidak melakukan perundingan terlebih dahulu dengan masyarakat lokal/asli sehingga konflik antara masyarakat dan industry tambang tidak terelakkan.
Rekomendasi: Sebenarnya sudah saatnya dilakukan desain ulang industri pertambangan Indonesia dalam kaitannya dengan berbagai kegiatan pengelolaan sumber daya alam lainnya yang berlangsung secara bersamaan di pulau-pulau Indonesia. Desain ulang ini haruslah “berkiblat” pada pemahaman yang menyeluruh tentang keberadaan berbagai eko-region yang membagi-bagi Nusantara ini, serta pemahaman yang dalam tentang kapasitas dukung ekologis pulau-pulau Nusantara yang saat ini makin tergerus oleh kencangnya eksploitasi secara tidak bertanggung jawab, khususnya dalam 10 tahun terakhir era Reformasi dan Otonomi Daerah ini. Faktor global seperti fenomena Perubahan Iklim yang makin nyata, serta faktor lokal seperti kemiskinan dan kualitas hidup rendah yang masih mendominasi keberadaan masyarakat lokal/asli di wilayah-wilayah tambang (dan hutan) harus menjadi pertimbangan serius pula. Agar proses desain ulang ini berjalan dengan baik sebenarnya perlu dilakukan moratorium, dan pencabutan ijin usaha tambang, pada kegiatan-kegiatan tambang yang sudah secara ekstrim merusak lingkungan dan memiskinkan masyarakat. Para anggota DPD RI Komite II perlu mendapatkan masukan-masukan secara komprehensif sebelum memulai inisiatif desain ulang ini. Untuk itu pertemuan-pertemuan secara intensif dengan berbagai organisasi advokasi dan lembaga riset lingkungan penting untuk dilakukan dalam waktu dekat untuk pengayaan data dan pembangunan perspektif. Tentunya juga perlu diadakan diskusi-diskusi dengan asosiasi pertambangan, asosiasi pemerintah daerah selain dengan Kementerian ESDM, Kehutanan maupun Lingkungan Hidup. Sebaiknya proses-proses ini diarahkan untuk menghasilkan sebuah Kertas Posisi Komite II DPD RI ataupun bila perlu sebuah Panitia Khusus (bila mekanisme DPD memungkinkan), yang menghasilkan analisis yang cukup mendalam tentang industri pertambangan Indonesia dan rekomendasi-rekomendasi untuk desain ulang. Dapat dikemukakan pula di sini bahwa desain ulang industri pertambangan Indonesia akan berimplikasi pada revisi atau dibuatnya UU Pertambangan yang baru. Akan jauh lebih baik pula bila UU Pertambangan yang baru mengakui hak kepemilikan tanah dan sumber daya alam oleh masyarakat adat, serta menetapkan secara jelas mekanisme negosiasi yang perlu dilakukan antara negara dan masyarakat adat sebelum usaha-usah tambang dijalankan.
4. Persoalan pencapaian Millenium Development Goals adalah persoalan yang cukup kompleks. Bisa dikatakan di sini bahwa bila kecepatan pembangunan sektor-sektor kesejahteraan masih seperti ini sampai tahun 2015 maka kecil kemungkinan
Rekomendasi: Tercapainya peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat yang akhirnya dapat berkontribusi pada pencapaian target MDGs di bidang kesehatan memerlukan analisis kebijakan pembangunan dan anggaran secara cukup komprehensif untuk melihat terobosan kebijakan apa yang perlu dilakukan khususnya pada desain perencanaan pembangunan regional. Kajian mendalam ini dimaksudkan agar dapat dikeluarkan rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang kongkrit yang dapat mengatasi rendahnya tingkat pembiayaan publik pada sektor-sektor kesejahteraan, termasuk kesehatan. Kajian ini tentunya tidak dimulai dari nol, karena sudah cukup banyak kajian bahkan beberapa eksperimen tentang anggaran progresif yang dilakukan misalnya sistem asuransi kesehatan masyarakat yang diterapkan oleh Bupati Gede Winasa di Jembrana. Pembahasan dengan Departemen Kesehatan perlu juga dilakukan segera agar perhatian terhadap hal-hal yang memprihatinkan seperti di atas juga dapat segera diberikan. Tetapi kajian komprehensif yang dapat melibatkan lembaga-lembaga internasional seperti WHO, UNDP, Bank Dunia, ADB maupun lainnya tetap sangat diperlukan sehingga nantinya dapat dibangun Kertas Kerja/Kertas Posisi DPD tentang reformasi pelayanan kesehatan masyarakat.
5. Persoalan pendidikan yang kompleks mulai dari implementasi mandat konstitusi pembiayaan sektor pendidikan minimum 20% anggaran sampai pada persoalan kualifikasi guru juga memerlukan kemampuan analisis kebijakan yang komprehensif. Di satu sisi anggota DPD RI perlu mendukung agar pembiayaan 20% untuk pendidikan dapat diimplementasikan di setiap APBD yang berlaku di wilayah konstituensi masing-masing. Di sisi lain rancangan pembiayaan sektor pendidikan harus tajam dan menyentuh soal-soal riil di masyarakat. Penerapan kebijakan secara seragam seperti UAN dan sertifikasi gelar bagi para guru, tanpa memperhatikan kondisi obyektif proses ajar-mengajar di NTT ataupun wilayah lainnya, bukanlah tindakan yang bijaksana. Untuk itu dibutuhkan re-formulasi kebijakan pendidikan daerah sesuai dengan problematika lokalnya. Dalam konteks Otonomi Daerah pada dasarnya dimungkinkan bila daerah melakukan formulasi kebijakan pendidikannya sendiri. Tentu dibutuhkan dasar-dasar analitis yang kuat untuk men-justifikasi formulasi kebijakan lokal.
Rekomendasi: Penyelesaian persoalan sektor pendidikan di daerah tidak boleh diseragamkan. Sebaiknya anggota DPD RI mengusulkan dibentuknya Dewan Pendidikan Daerah di tingkat propinsi yang independen tetapi dibiayai negara, yang akan bertugas memberikan arahan-arahan kebijakan strategis untuk pelaksanaan pembangunan sektor pendidikan, sesuai dengan kondisi lokal di propinsi ini. Dewan Pendidikan Daerah ini diberi kewenangan untuk menegosiasikan hal-hal yang merupakan kebijakan nasional, kecuali hal-hal prinsipil yang menyangkut integritas Negara seperti kewarganegaraan, agama dll. Persoalan seperti apakah UAN dan sertifikasi gelar guru perlu diterapkan di NTT merupakan hal yang dapat dibahas di Dewan Pendidikan Daerah ini. Usulan tentang pembentukan Dewan Pendidikan Daerah ini dapat langsung dibicarakan dengan Depdiknas, sementara itu para anggota DPD RI juga perlu mempelajari bagaimana Dewan Pendidikan Daerah ini dapat berperan dengan baik di negara-negara lain.
6. Persoalan manipulasi, penyalahgunaan alokasi anggaran dan korupsi merupakan hal yang sudah berurat dan berakar di NTT. Di propinsi yang pada dasarnya ekonomi uangnya bersandar pada proyek-proyek pemerintah dan bantuan asing, manipulasi dan korupsi adalah ibarat oksigen yang menghidupi birokrasi dan para birokratnya. Makin gemuk sektor pembangunan, seperti sektor pendidikan, makin rawan ia terhadap praktek korupsi. Kalaupun ada kasus-kasus korupsi yang terdeteksi bahkan diproses hukum, pada umumnya bila menyangkut pejabat tinggi kasus-kasus tersebut akan berhenti. Tentunya hal terakhir ini sangat berkaitan dengan keberadaan Mafia Hukum/Peradilan di NTT yang bekerja untuk memastikan bahwa kondisi status quo dapat berlangsung untuk waktu yang lama, serta dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan ekonomi dan politik. Untuk itu sudah sangat perlu diadakan shock teraphy dengan pengungkapan beberapa kasus korupsi besar. Selain itu shock teraphy yang lain adalah dengan pemaparan kepada publik pola-pola mafia hukum/peradilan di NTT.
Rekomendasi: Anggota
7. Persoalan perimbangan keuangan merupakan salah satu wilayah yang kompleks dari wajah desentralisasi fiskal
Rekomendasi: Pertama-tama sangat diperlukan pemahaman yang mendalam para anggota
8. Persoalan perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM masih diletakkan di wilayah-wilayah pinggir dalam proses pembangunan kita, baik di tingkat nasional maupun daerah. Sekalipun pelanggaran HAM sipil politik secara massif ala Orde Baru dapat dikatakan sudah tidak ada tetapi berbagai bentuk pelanggaran Hak Sosial Ekonomi Budaya, masih seringkali terjadi pada masyarakat luas. Demikian pula berbagai bentuk pelanggaran hak sipil seperti penyiksaan bahkan pembunuhan oleh aparat keamanan Negara masih kerap terjadi. Sebenarnya berbagai kerangka aplikasi pendekatan pembangunan berbasis HAM sudah tersedia, hanya sayang belum tersosialisasi dengan baik. Berbarengan dengan hal itu sebuah Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan (Access to Justice), yang diformulasikan dengan bantuan UNDP, sudah diterbitkan oleh Pemerintah pada akhir tahun 2009. Demikian pula skema-skema Keadilan untuk Orang Miskin sudah dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir ini oleh Bank Dunia. Berbagai kerangka tersebut sebenarnya sudah dalam posisi siap diaplikasikan dalam RPJMN, RPJMD, RKP, RKPD dan juga APBN dan APBD. Untuk itu diperlukan keputusan politik yang kuat di tingkat nasional maupun daerah, termasuk keputusan alokasi anggaran, untuk mewujudkan untuk pertama kalinya kerangka pembangunan berbasis HAM, di pusat maupun daerah.
Rekomendasi: Melakukan mainstreaming pendekatan HAM dalam proses pembangunan di