SDF

Ir. SARAH LERY MBOEIK - ANGGOTA DPD RI ASAL NTT - KOMITE 4, PANITIA PERANCANG UNDANG UNDANG(PPUU), PANITIA AKUNTABILITAS PUBLIK DPD RI TIMEX | POS KUPANG | KURSOR | NTT ON LINE | MEDIA INDONESIA | SUARA PEMBARUAN | KOMPAS | KORAN SINDO | BOLA | METRO TV | TV ON LINE | HUMOR
Sarah Lery Mboeik Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch
widgeo.net

Minggu, 27 Juni 2010

Rekomendasi Spesifik berdasarkan hasil Kunjungan Kerja

Laporan

Anggota DPD RI B-76 Ir. Sarah Lery Mboeik

Ke NTT, tanggal 11-30 Desember 2009

1. Penguatan mekanisme akuntabilitas publik anggota DPD RI di daerah sangat diperlukan untuk memperkuat legitimasi, posisi dan peran anggota DPD RI dalam kancah politik nasional maupun daerah, khususnya berkaitan dengan proses konsolidasi demokrasi, di mana kualitas demokrasi di daerah-daerah yang notabene menjadi fokus dan locus fungsi representasi para anggota DPD juga akan sangat menentukan. Sebab itu Kantor Konstituensi adalah sebuah perangkat kerja yang perlu diwujudkan secepatnya. Adanya Kantor Konstituensi, baik itu bersifat individual setiap anggota DPD ataupun kolektif, dapat memfasilitasi relasi yang lebih sehat dan konstruktif antara anggota DPD RI dengan konstituennya. Kantor Konstituensi ini akan perlu dilengkapi dengan sistem dan mekanisme yang jelas, juga personil (staf ataupun relawan) yang kapabel dan berintegritas, agar mampu mengembangkan hubungan Anggota Legislatif dan konstituen yang sehat, responsif dan produktif, serta bersih dari praktek-praktek politik yang melanggar hukum seperti pembelian suara, dll.

Rekomendasi: Para anggota DPD RI menyusun usulan yang jelas (termasuk anggarannya) dengan kerangka logis yang kuat untuk mendukung usulan pendirian Kantor Konsitituensi ini. Di sisi substansi para anggota DPD, khususnya anggota Badan Akuntabilitas Publik melakukan penjajagan kerjasama dengan beberapa lembaga internasional seperti UNDP, AusAID, USAID, The Asia Foundation, NDI, IRI untuk mengembangkan kerangka kerja yang dapat mendukung operasionalisasi Kantor Konstituen ini. Selain itu karena ide ini belum terlalu dikenal di Indonesia perlu ada studi untuk mempelajari kegiatan kantor konstituensi seorang Senator (anggota Majelis Tinggi) parlemen yang sudah punya tradisi yang panjang di kawasan ini seperti di Australia atau New Zealand. Selain itu perlu juga dipelajari hasil-hasil pembelajaran/evaluasi dari inisiatif Rumah Aspirasi yang didukung oleh Bank Dunia beberapa tahun lalu yang saat ini sudah dihentikan.

2. Para anggota DPD RI memang sebaiknya dapat terlibat dalam proses Musrenbang. Tentunya keterlibatan secara realistis yang dapat dilakukan adalah “mengawal” proses Musrenbang di tingkat Kabupaten/Kota dan Propinsi, dan Musrenbangnas. Yang paling penting untuk dilakukan oleh anggota DPD adalah memastikan bahwa pada kedua level Musrenbang di daerah, aspirasi masyarakat tetap dipertimbangkan dalam perumusan RKPD baik di tingkat Kabupaten/Kota maupun Propinsi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memastikan bahwa ada mekanisme penyampaian aspirasi dan diskusi yang partisipatif dalam arena Musrenbangda tersebut, sehingga event tersebut tidaklah bersifat seremonial belaka, seperti umumnya terjadi selama ini. Dari sisi substansi para anggota DPD RI dapat memberikan masukan berdasar pendekatan-pendekatan yang lebih mutakhir seperti pendekatan Human Development (Pembangunan Manusia), MDGs (Millenium Development Goals), Analisis Pengeluaran Publik (PEA) dan Rights-based approach (Pendekatan Pembangunan berbasis Hak Asasi Manusia) yang dapat digunakan untuk memperkuat kerangka pembangunan daerah serta rencana kerja dan APBD yang akan dibuat sehingga tidak mengulangi praktek-praktek anggaran yang berlaku selama ini, misalnya alokasi sebagian besar APBD adalah pada belanja pegawai dan belanja rutin. Sementara itu di Musrenbangnas keterlibatan anggota DPD RI adalah untuk menjaga agar fokus-fokus strategis pembangunan daerah dengan karakteristik khas daerah menjadi pertimbangan serius desain rencana kerja pemerintah pusat.

Rekomendasi: Hal-hal yang berkaitan dengan penguatan Musrenbang ini banyak berkaitan dengan hal-hal teknis di mana para anggota DPD RI perlu mendapat penguatan terlebih dahulu. Untuk itu diperlukan eksposure dari para anggota DPD RI kepada inisiatif-inisiatif baru yang sedang berkembang tersebut, terutama kepada lembaga-lembaga internasional dan nasional yang saat ini atau selama ini mengembangkannya seperti UNDP, Bank Dunia, USAID, dan yang lainnya. Para anggota DPD kemudian dapat menjadi fasilitator agar metoda-metoda baru tersebut dapat “diadopsi” oleh Pemerintah Daerah dan juga DPRD. Hal seperti ini akan memperkuat legitimasi substantif maupun politis para anggota DPD RI, khususnya terhadap pemerintah daerahnya dan juga terhadap pra konstituennya.

3. Persoalan Pertambangan dengan berbagai karakteristik destruktifnya diangkat lagi secara intensif oleh Harian Kompas dalam beberapa hari terakhir ini. Gambaran kerusakan ekologis yang terjadi begitu meluas, bahkan dalam konteks pulau besar seperti Kalimantan, apalagi bila kegiatan-kegiatan pertambangan tersebut terjadi pada pulau-pulau yang relatif lebih kecil seperti di gugusan kepulauan Nusa Tenggara. Demikian pula tesis yang menyatakan bahwa usaha-usaha tambang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi lokal yang akhirnya akan membawa kesejahteraan kepada masyarakat lokal tampaknya sudah terpatahkan karena pada kenyataannya tambang-tambang yang beroperasi di berbagai sudut Nusantara ini hampir selalu berdampingan dengan fenomena kemiskinan bahkan pemiskinan, selain dengan kerusakan lingkungan. Selain itu mudahnya Departemen ESDM dan para pemimpin daerah memberikan ijin konsesi tambang yang kerap kali melanggar batas-batas peruntukan wilayah konservasi. Di hampir semua kasus kegiatan pertambangan tidak melakukan perundingan terlebih dahulu dengan masyarakat lokal/asli sehingga konflik antara masyarakat dan industry tambang tidak terelakkan.

Rekomendasi: Sebenarnya sudah saatnya dilakukan desain ulang industri pertambangan Indonesia dalam kaitannya dengan berbagai kegiatan pengelolaan sumber daya alam lainnya yang berlangsung secara bersamaan di pulau-pulau Indonesia. Desain ulang ini haruslah “berkiblat” pada pemahaman yang menyeluruh tentang keberadaan berbagai eko-region yang membagi-bagi Nusantara ini, serta pemahaman yang dalam tentang kapasitas dukung ekologis pulau-pulau Nusantara yang saat ini makin tergerus oleh kencangnya eksploitasi secara tidak bertanggung jawab, khususnya dalam 10 tahun terakhir era Reformasi dan Otonomi Daerah ini. Faktor global seperti fenomena Perubahan Iklim yang makin nyata, serta faktor lokal seperti kemiskinan dan kualitas hidup rendah yang masih mendominasi keberadaan masyarakat lokal/asli di wilayah-wilayah tambang (dan hutan) harus menjadi pertimbangan serius pula. Agar proses desain ulang ini berjalan dengan baik sebenarnya perlu dilakukan moratorium, dan pencabutan ijin usaha tambang, pada kegiatan-kegiatan tambang yang sudah secara ekstrim merusak lingkungan dan memiskinkan masyarakat. Para anggota DPD RI Komite II perlu mendapatkan masukan-masukan secara komprehensif sebelum memulai inisiatif desain ulang ini. Untuk itu pertemuan-pertemuan secara intensif dengan berbagai organisasi advokasi dan lembaga riset lingkungan penting untuk dilakukan dalam waktu dekat untuk pengayaan data dan pembangunan perspektif. Tentunya juga perlu diadakan diskusi-diskusi dengan asosiasi pertambangan, asosiasi pemerintah daerah selain dengan Kementerian ESDM, Kehutanan maupun Lingkungan Hidup. Sebaiknya proses-proses ini diarahkan untuk menghasilkan sebuah Kertas Posisi Komite II DPD RI ataupun bila perlu sebuah Panitia Khusus (bila mekanisme DPD memungkinkan), yang menghasilkan analisis yang cukup mendalam tentang industri pertambangan Indonesia dan rekomendasi-rekomendasi untuk desain ulang. Dapat dikemukakan pula di sini bahwa desain ulang industri pertambangan Indonesia akan berimplikasi pada revisi atau dibuatnya UU Pertambangan yang baru. Akan jauh lebih baik pula bila UU Pertambangan yang baru mengakui hak kepemilikan tanah dan sumber daya alam oleh masyarakat adat, serta menetapkan secara jelas mekanisme negosiasi yang perlu dilakukan antara negara dan masyarakat adat sebelum usaha-usah tambang dijalankan.

4. Persoalan pencapaian Millenium Development Goals adalah persoalan yang cukup kompleks. Bisa dikatakan di sini bahwa bila kecepatan pembangunan sektor-sektor kesejahteraan masih seperti ini sampai tahun 2015 maka kecil kemungkinan Indonesia akan mencapai target-target MDGs yang sudah disepakati. Bahkan untuk propinsi-propinsi miskin seperti misalnya NTT target-target MDGs tersebut bisa dipastikan tidak akan tercapai. Salah satu persoalan yang paling utama adalah desain perencanaan pembangunan di daerah, demikian pula desain budgetnya, tidak mendukung terjadinya pembiayaan publik yang progresif dan ekspansif kepada sektor-sektor kesejahteraan seperti dalam hal ini kesehatan dan pendidikan. Hal ini berdampak sangat serius pada kemampuan pemerintah nasional maupun daerah untuk membiayai penyediaan tenaga-tenaga kesehatan di lapangan, termasuk di daerah-daerah terpencil. Semua menyadari bahwa pada rejim pasar bebas yang saat ini juga sangat mempengaruhi dunia medis, insentif yang signifikan sangat dibutuhkan untuk “menarik” tenaga-tenaga kesehatan yang kapabel untuk bekerja di daerah-daerah terpencil. Sementara itu di sisi lain keberadaan sebuah Rumah Sakit pendidikan dan riset di NTT dan propinsi-propinsi lain di Indonesia Timur sudah mendesak. Dokter-dokter dan perawat-perawat lokal perlu mulai dihasilkan di Indonesia Timur. Fakultas-fakultas kedokteran perlu didirikan, dilengkapi dengan RS pendidikan dan riset yang memadai karena sudah terlalu lama Indonesia Timur bergantung pada suplai dokter-dokter lulusan Indonesia bagian barat. Sementara itu ketersediaan rumah sakit-rumah sakit dengan kemampuan teknis yang cukup memadai di wilayah-wilayah perbatasan juga perlu diperhatikan.

Rekomendasi: Tercapainya peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat yang akhirnya dapat berkontribusi pada pencapaian target MDGs di bidang kesehatan memerlukan analisis kebijakan pembangunan dan anggaran secara cukup komprehensif untuk melihat terobosan kebijakan apa yang perlu dilakukan khususnya pada desain perencanaan pembangunan regional. Kajian mendalam ini dimaksudkan agar dapat dikeluarkan rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang kongkrit yang dapat mengatasi rendahnya tingkat pembiayaan publik pada sektor-sektor kesejahteraan, termasuk kesehatan. Kajian ini tentunya tidak dimulai dari nol, karena sudah cukup banyak kajian bahkan beberapa eksperimen tentang anggaran progresif yang dilakukan misalnya sistem asuransi kesehatan masyarakat yang diterapkan oleh Bupati Gede Winasa di Jembrana. Pembahasan dengan Departemen Kesehatan perlu juga dilakukan segera agar perhatian terhadap hal-hal yang memprihatinkan seperti di atas juga dapat segera diberikan. Tetapi kajian komprehensif yang dapat melibatkan lembaga-lembaga internasional seperti WHO, UNDP, Bank Dunia, ADB maupun lainnya tetap sangat diperlukan sehingga nantinya dapat dibangun Kertas Kerja/Kertas Posisi DPD tentang reformasi pelayanan kesehatan masyarakat.

5. Persoalan pendidikan yang kompleks mulai dari implementasi mandat konstitusi pembiayaan sektor pendidikan minimum 20% anggaran sampai pada persoalan kualifikasi guru juga memerlukan kemampuan analisis kebijakan yang komprehensif. Di satu sisi anggota DPD RI perlu mendukung agar pembiayaan 20% untuk pendidikan dapat diimplementasikan di setiap APBD yang berlaku di wilayah konstituensi masing-masing. Di sisi lain rancangan pembiayaan sektor pendidikan harus tajam dan menyentuh soal-soal riil di masyarakat. Penerapan kebijakan secara seragam seperti UAN dan sertifikasi gelar bagi para guru, tanpa memperhatikan kondisi obyektif proses ajar-mengajar di NTT ataupun wilayah lainnya, bukanlah tindakan yang bijaksana. Untuk itu dibutuhkan re-formulasi kebijakan pendidikan daerah sesuai dengan problematika lokalnya. Dalam konteks Otonomi Daerah pada dasarnya dimungkinkan bila daerah melakukan formulasi kebijakan pendidikannya sendiri. Tentu dibutuhkan dasar-dasar analitis yang kuat untuk men-justifikasi formulasi kebijakan lokal.

Rekomendasi: Penyelesaian persoalan sektor pendidikan di daerah tidak boleh diseragamkan. Sebaiknya anggota DPD RI mengusulkan dibentuknya Dewan Pendidikan Daerah di tingkat propinsi yang independen tetapi dibiayai negara, yang akan bertugas memberikan arahan-arahan kebijakan strategis untuk pelaksanaan pembangunan sektor pendidikan, sesuai dengan kondisi lokal di propinsi ini. Dewan Pendidikan Daerah ini diberi kewenangan untuk menegosiasikan hal-hal yang merupakan kebijakan nasional, kecuali hal-hal prinsipil yang menyangkut integritas Negara seperti kewarganegaraan, agama dll. Persoalan seperti apakah UAN dan sertifikasi gelar guru perlu diterapkan di NTT merupakan hal yang dapat dibahas di Dewan Pendidikan Daerah ini. Usulan tentang pembentukan Dewan Pendidikan Daerah ini dapat langsung dibicarakan dengan Depdiknas, sementara itu para anggota DPD RI juga perlu mempelajari bagaimana Dewan Pendidikan Daerah ini dapat berperan dengan baik di negara-negara lain.

6. Persoalan manipulasi, penyalahgunaan alokasi anggaran dan korupsi merupakan hal yang sudah berurat dan berakar di NTT. Di propinsi yang pada dasarnya ekonomi uangnya bersandar pada proyek-proyek pemerintah dan bantuan asing, manipulasi dan korupsi adalah ibarat oksigen yang menghidupi birokrasi dan para birokratnya. Makin gemuk sektor pembangunan, seperti sektor pendidikan, makin rawan ia terhadap praktek korupsi. Kalaupun ada kasus-kasus korupsi yang terdeteksi bahkan diproses hukum, pada umumnya bila menyangkut pejabat tinggi kasus-kasus tersebut akan berhenti. Tentunya hal terakhir ini sangat berkaitan dengan keberadaan Mafia Hukum/Peradilan di NTT yang bekerja untuk memastikan bahwa kondisi status quo dapat berlangsung untuk waktu yang lama, serta dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan ekonomi dan politik. Untuk itu sudah sangat perlu diadakan shock teraphy dengan pengungkapan beberapa kasus korupsi besar. Selain itu shock teraphy yang lain adalah dengan pemaparan kepada publik pola-pola mafia hukum/peradilan di NTT.

Rekomendasi: Anggota DPD RI asal NTT perlu “menggandeng” KPK dan Satgas Mafia Hukum untuk mencapai kedua obyektif di atas. Untuk pengungkapan kasus-kasus korupsi besar di NTT bisa dilakukan dengan mekanisme Gelar Perkara yang dilakukan segera setelah proses-proses Pro Justicia dilakukan. Demikian pula diperlukan semacam Public Announcement/Public Hearing oleh Satgas Mafia Hukum di NTT tentang seperti apa gambar praktek mafia hukum/peradilan di NTT. Sebelum kedua hal tersebut dapat dilakukan tentunya dibutuhkan bukti-bukti yang solid sehingga proses hukum Pro Justicia dapat dilakukan sampai tuntas, seperti dalam aturan KPK di mana SP3 tidak dapat dikeluarkan. Kedua hal di atas seharusnya tidak terlalu susah untuk dilakukan karena data-data sebenarnya tersedia dari berbagai sumber, baik dari LSM lokal maupun dari berbagai informan yang kebanyakan berasal dari dalam birokrasi.

7. Persoalan perimbangan keuangan merupakan salah satu wilayah yang kompleks dari wajah desentralisasi fiskal Indonesia. Apalagi hal ini berkait langsung dengan kemampuan daerah untuk membiayai pembangunannya. Karakteristik geografis khusus seperti wilayah perbatasan atau karakter propinsi kelautan seharusnya menjadi pertimbangan dalam formulasi Dana Alokasi Umum (DAU). Untuk mengakomodasi karakteristik kepulauan sebenarnya sudah terjadi perubahan formulasi DAU walaupun mungkin belum memuaskan. Tetapi diperkirakan belum ada konsideran secara khusus terhadap status wilayah perbatasan dalam kaitannya dengan perhitungan DAU. Diperkirakan status wilayah perbatasan ini dapat diperhatikan dengan lebih baik bila nanti Badan Penanganan Wilayah Perbatasan yang baru-baru ini ditetapkan pembentukannya sudah operasional.

Rekomendasi: Pertama-tama sangat diperlukan pemahaman yang mendalam para anggota DPD RI dalam persoalan desentralisasi fiskal. Bukan saja soal kerangka apa yang sedang berjalan sekarang, tetapi juga opsi-opsi kebijakan apa yang dapat diambil di masa depan dengan implikasi dan konsekuensinya masing-masing. Untuk itu paparan teknis yang lebih detail tentang desentralisasi fiskal yang berlaku sekarang dari Departemen Keuangan penting sekali. Tetapi juga paparan-paparan teknis yang mewakili pandangan alternatif perlu didapatkan oleh anggota Komite IV. Hal ini bisa didapatkan dari lembaga-lembaga seperti Bank Dunia, UNDP ataupun dari lembaga-lembaga riset ekonomi independen. Setelah pengayaan data dan pemahaman ini penting untuk Komite IV mengeluarkan Kertas Posisi tentang Desentralisasi Fiskal yang akan menyampaikan analisis kritis DPD RI serta rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang perlu dihasilkan berkaitan dengan arah Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Tentunya para anggota DPD RI tidak akan membuat sendiri Kertas Posisi ini, tetapi Komite IV DPD RI dapat membentuk sebuah tim ahli Ad Hoc yang diminta untuk menuliskannya. Tentu diperlukan pembiayaan dari anggaran DPD untuk hal ini. Pembentukan tim ad hoc ini juga disarankan sebagai mekanisme kerja kongkrit untuk usulan penerbitan Kertas-kertas Posisi sebelumnya.

8. Persoalan perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM masih diletakkan di wilayah-wilayah pinggir dalam proses pembangunan kita, baik di tingkat nasional maupun daerah. Sekalipun pelanggaran HAM sipil politik secara massif ala Orde Baru dapat dikatakan sudah tidak ada tetapi berbagai bentuk pelanggaran Hak Sosial Ekonomi Budaya, masih seringkali terjadi pada masyarakat luas. Demikian pula berbagai bentuk pelanggaran hak sipil seperti penyiksaan bahkan pembunuhan oleh aparat keamanan Negara masih kerap terjadi. Sebenarnya berbagai kerangka aplikasi pendekatan pembangunan berbasis HAM sudah tersedia, hanya sayang belum tersosialisasi dengan baik. Berbarengan dengan hal itu sebuah Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan (Access to Justice), yang diformulasikan dengan bantuan UNDP, sudah diterbitkan oleh Pemerintah pada akhir tahun 2009. Demikian pula skema-skema Keadilan untuk Orang Miskin sudah dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir ini oleh Bank Dunia. Berbagai kerangka tersebut sebenarnya sudah dalam posisi siap diaplikasikan dalam RPJMN, RPJMD, RKP, RKPD dan juga APBN dan APBD. Untuk itu diperlukan keputusan politik yang kuat di tingkat nasional maupun daerah, termasuk keputusan alokasi anggaran, untuk mewujudkan untuk pertama kalinya kerangka pembangunan berbasis HAM, di pusat maupun daerah.

Rekomendasi: Melakukan mainstreaming pendekatan HAM dalam proses pembangunan di Indonesia sebenarnya bukan soal teknis lagi. Berbagai kerangka aplikasi sudah tersedia. Yang belum tersedia adalah basis politik yang cukup kuat untuk mendukung tercapainya keputusan politik yang kuat, di pusat dan daerah, untuk mengaplikasikan Perencanaan Pembangunan Berbasis HAM. Sebagai langkah awal perlu dibangun Kaukus HAM atau Kaukus Pembangunan berbasis HAM di DPD RI, yang kemudian dapat diperluas ke DPR RI. Sambil melakukan pengayaan dan pendalaman pemahaman dengan cara berdiskusi dengan berbagai lembaga internasional dan nasional yang sudah mengembangkan berbagai kerangka aplikasi yang tersebut di atas, pendekatan dengan DepkumHAM adalah hal yang penting karena DepkumHAM adalah pembuat kebijakan turunan UU seperti PP dan Permen yang dapat mengaplikasikan Kerangka Kerja Pembangunan berbasis HAM yang dibicarakan di sini. Sementara itu di daerah perlu dilakukan pembentukan aliansi dengan berbagai fraksi di DPRD, juga dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil sehingga bisa dihasilkan kerangka bersama yang kemudian bisa diusulkan sebagai RanPerda yang dapat menjadi basis hukum Pembangunan Berbasis HAM. Terakhir para anggota DPD RI diharapkan bisa terlibat dalam Musrenbang Kabupaten/Kota dan Propinsi dengan secara spesifik membawa agenda mainstreaming HAM dalam proses perencanaan pembangunan.