SDF

Ir. SARAH LERY MBOEIK - ANGGOTA DPD RI ASAL NTT - KOMITE 4, PANITIA PERANCANG UNDANG UNDANG(PPUU), PANITIA AKUNTABILITAS PUBLIK DPD RI TIMEX | POS KUPANG | KURSOR | NTT ON LINE | MEDIA INDONESIA | SUARA PEMBARUAN | KOMPAS | KORAN SINDO | BOLA | METRO TV | TV ON LINE | HUMOR
Sarah Lery Mboeik Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch
widgeo.net

Minggu, 27 Juni 2010

KORUPSI, KEMISKINAN dan PENGABAIAN HAK DASAR DALAM MASA OTONOMI DAERAH

KORUPSI, KEMISKINAN dan PENGABAIAN HAK DASAR DALAM MASA OTONOMI DAERAH
Oleh: Sarah Lery Mboeik

I. PENDAHULUAN:
Kemiskinan merupakan persoalan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia sejak merdeka sebagai sebuah negara bangsa dan hingga kini belum mampu ditanggulangi. Ketidakmampuan untuk menanggulangi masalah kemiskinan ini disebabkan karena strategi penanggulangan kemiskinan yang ditawarkan oleh para pengambil kebijakan (Decision Makers) di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), belum menjawab akar persoalan kemiskinan dan hanya merespon dampak dari persoalan kemiskinan yang diperparah dengan cara pandang yang senantiasa bertolak dari asusmsi bahwa penyebab kemiskinan adalah berasal dari kaum miskin itu sendiri (Blamming the Victim) dan masalah ekonomi semata. Padahal realita menunjukan bahwa kemiskinan yang terjadi di Indonesia (termasuk juga NTT) lebih disebabkan oleh suatu proses pemiskinan atau yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan struktural. Gapri 1998 mendefenisikan kemiskinan struktural adalah perampasan kapabilitas atas ruang-ruang dimana orang bisa berkiprah demi pemenuhan hak dasar. Mereka miskin karena sengaja dilestarikan untuk menjadi miskin, dipaksa oleh sistim politik dan ekonomi yang tak adil
Propinsi NTT dikategorikan propinsi miskin ke tiga di Indonesia. Banyak pendapat bahwa salah satu faktor penyebab kemiskinan rakyat NTT yang sangat berpengaruh adalah perilaku para birokrat yang korup karena tingginya tingkat kebocoran hingga ratusan milyaran rupiah dari uang yang dikumpulkan dari dan atas nama rakyat miskin serta kebijakan politik yang tidak pro poor yang berpengaruh pada buruknya layanan publik
Hasil temuan ICW, Propinsi NTT termasuk propinsi terkorup ke VI diIndonesia. Kondisi ini menyebabkan beban pembiayaan Negara menjadi lebih tinggi namun misalnya pelayanan pendidikan, kesehatan segalanya terbatas dan mahal pula karena alokasi anggaran untuk sektor sosial, pendidikan serta kesehatan bukan lagi prioritas, infrastrukur yang adapun buruk dan ivestasi publik tidak tersedia sehingga tidak dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat,.
Dengan realitas pembangunan yang seperti ini, pertanyaan reflektif untuk didiskusikan pada momen ini adalah “apakah benar korupsi sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan yang berdampak pada pengabaian Hak dasar??” Sejalan dengan pertanyaan reflektif diatas dalam membedah persoalan korupsi, kemiskinan dan pengabaian hak dasar di NTT, maka tulisan ini akan diuraikan dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, Pendahuluan. Kedua, Potret Kemiskinan di NTT. Ketiga, Melacak sumber-sumber korupsi. Keempat, Mengabaikan hak : NTT tertinggal jauh. Kelima: Pembelajaran Keenam: Penutup.

II. POTRET KEMISKINAN di NTT

Propinsi NTT dikategorikan sebagai propinsi miskin ke III di Indonesia. NTT dikenal karena identik dengan kemiskinan dan kemelaratan. Data BPS NTT sampai dengan 17 Januari 2006, menunjukan bahwa di NTT terdapat 952.508 RT yang mana 75,45% adalah RT miskin atau dengan kata lain di NTT terdapat 718.640 RT miskin. Data BAPPEDA NTT Juga menunjukan bahwa
orang miskin diNTT masih sangat tinggi dari Tahun ke Ke tahun. Tahun 2005, dengan jumlah penduduk NTT sebanyak 4.260.294 jiwa terdapat 1.189.900 penduduk yang dikategorikan miskin. Di tahun 2006, terdapat 1.208.200 penduduk miskin dari total jumlah penduduk NTT sebanyak 4.355.100 jiwa sedangkan untuk tahun 2007, dari total jumlah penduduk NTT sebanyak 4.448.873 dan 2.260.618 Jiwa (50,81%) diantaranya adalah perempuan sedangkan 49,29 %, adalah laki-laki.
Penduduk yang dikategorikan miskin sebanyak 1.166.600 jiwa, dan sekitar 85 % dari penduduk miskin adalah perempuan . Lain lagi data Bappeda Prop. NTTpada sep 2007 presentase jumlah keluarga miskin 65,42 % dengan kondisi angka kematian ibu = 330/100.000 kelahiran, angka kematian bayi = 72/1000 kelahiran. (NB: data BAPPEDA NTT tahun 2007 ini berbeda dengan data Kementerian Daerah Tertinggal pada tahun 2007, yang menyatakan bahwa dari 4.355.100 penduduk NTT 2,8 juta (66,6%) penduduknya adalah orang miskin) . Data yang berbeda ini memberi pelajaran bahwa, realitas kemiskinan ternyata bisa saja sangat potensial menjadi “komoditi politik” bagi kekuatan politik strategis
Disamping itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa NTT juga merupakan salah satu propinsi yang masuk dalam kategori daerah dengan kasus gizi buruk dan busung lapar yang menduduki prosentase sangat tinggi (lihat tabel). Menurut data di Dinas Kesehatan NTT, jumlah anak balita yang menderita gangguan gizi buruk telah meningkat menjadi 10.000 pada tahun 2004. Jumlah itu meningkat lebih dari 60 persen jika dibandingkan dengan tahun 2003 yang hanya berkisar 3.500 anak.Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT mengatakan, balita di NTT tahun 2005 tergolong bermasalah dalam gizi sekitar 22,4 persen. Dirincikan, 89.241 anak kategori gizi kurang, sebanyak 559 anak gizi buruk tanpa kelainan klinis yang disebut sebagai penderita busung lapar dan 68 orang anak yang meninggal. Tahun 2006 (Keadaan 7 Juni) menunjukan bahwa dari 477.829 jiwa jumlah balita di NTT, terdapat 106.971 (22,4%)dimana balita yang mengalami kurang gizi sebanyak 85.251 jiwa, balita yang mengalami gizi buruk tanpa kelainan klinis sebanyak 17.161 jiwa dan balita yang mengalami gizi buruk dengan kelainan klinis sebanyak 559 jiwa.
Sungguh memprihatinkan jika melihat Pelayanan kesehatan Di NTT. Hingga kini pada 20 Kabupaten kota hanya terdapat 15 unit RSUD dengan total kapasitas 1.307 tempat tidur. Artinya setiap 1 ranjang diperuntukan untuk 3404 jiwa. Tak mengherankan setiap terjadi KLB diare pasien tidak tertampung dan mendapatkan perawatan tak layak dilorong/gang rumah sakit. Dari 2738 desa/kelurahan (BPS 2007) sebanyak 1582 diantaranya tidak memiliki puskesmas/ atau puskesmas pembantu. Kalaupun sudah ada puskesmas, seringkali tidak ada tenaga bidan, perawat apalagi dokter yang melayani. Tentu saja rakyat miskin yang sebagian besar tinggal dipedesaan harus menanggung dampak dari segala keterbatasan .
Kondisi masyarakat yang ditunjukkan data di atas justru sangat kontras dengan semangat dan substansi Perda Propinsi NTT No.4 tahun 2006 tentang retribusi pelayanan kesehatan di RSUD Kupang. Karena mahalnya retribusi pelayanan kesehatan akan berdampak langsung terhadap rakyat miskin dan peluang rakyat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUD Kupang semakin kecil. Selain disebabkan oleh mahalnya retribusi pelayanan kesehatan yang harus di bayar, sumber pendapatan masyarakat miskin untuk memenuhi tuntutan retribusi tersebut akan sangat sulit terjangkau oleh kemampuan mereka. Perda No.4/2006“dimaksudkan untuk menutupi biaya penyelenggaraan Pelayanan”;
Rumusan prinsip dan sasaran ini, menunjukkan pemerintah telah secara langsung membebani masyarakat (wajib retribusi) melaui penetapan tarif retribusi yang mencekik; prinsip dan sasaran ini juga, selain akan semakin meminggirkan posisi dan hak rakyat miskin dari akses pelayanan kesehatan yang memadai, negara (pemerintah) juga tengah melakukan eksploitasi terhadap rakyat miskin melalui beban tarif retribusi yang sangat mahal ini tentunya;
Hitungan yang coba dikembangkan :Dalam APBD Prop. TA 2006 ditemukan PAD dari RSUD W. Z. Johannes Kupang yang sebagian besarnya didapat dari retribusi dan pajak adalah sebesar Rp. 15.472.500.000,- dengan BIAYA PENYELENGGARAAN di RSUD di butuhkan sebesar Rp. 59.238.645.425,- angka ini otomatis RSUD W. Z. Johannes Kupang mengalami DEFISITanggaran Rp. 43.766.145.425,- namun sumber pendapatan untuk RSUD W. Z. Johannes Kupang bukan hanya didapat dari PAD saja tetapi ada juga sumber pendapatan lain seperti DAU (Dana Alokasi Umum) sebesar Rp. 48.892.795.050. Jadi sebenarnya, defisit PAD (Pendapatan Asli Daerah) sudah ditutupi oleh DAU dari Pemerintah Pusat. Bahkan alokasi DAU melebihi defisit PAD sebesar Rp. 5.126.649.625,-
Selain DAU, RSUD juga sementara tercatat sebagai instansi yang terlibat korupsi ALAT KESEHATAN (SARKES) yang diindikasikan merugikan keuangan negara sebesar Rp. 3.380.000.000,- dan KASUS KORUPSI PENGADAAN ALAT TRANSFUSI DARAH di RSUD W. Z. Johannes Kupang yang diindikasikan merugikan keuangan negara sebesar Rp. 126.665.000,- belum dituntaskan. Para KORUPTOR TIDAK dituntut TANGGUNGJAWABNYA terhadap uang rakyat, tetapi RAKYAT yang DITAMBAH BEBAN biaya kesehatannya.
Permasalahan tentang angka pengangguran yang tinggi, pendapatan perkapita yang rendah, pembangunan pendidikan yang belum memadai, kurangnya perumahan yang layak huni, gizi buruk, tingginya angka kematian anak dan ibu, dan fasilitas kesehatan dan pelayanan publik yang minim, jauh dan tidak memadai masih merupakan masalah utama pembangunan di NTT hingga sekarang ini. Minimnya lapangan kerja telah melahirkan kantong-kantong kemiskinan baru yang mengakibatkan sebagian orang tak mampu membeli kebutuhan paling dasar yaitu makanan bergizi. Dari perspektif "kebutuhan dasar" mendesak banyak TKW mencari kerja keluar negeri (6453 orang) dari total TKI 7656 dan yang paling tinggi adalah dari Kabupaten Kupang 1979 TKW
Terlepas dari perdebatan kebenaran data dari yang dikeluarkan instansi negara diatas, Data-data tsb memberi gambaran adanya peningkatan angka kemiskinan sebanyak 900.289 jiwa atau naik 16,48 % (tahun 2005-2006) dan pada 2007 menjadi 1.166.600 (26,22%) atau pertambahan orang miskin 266.311. Sedangkan data BPS dari hasil PSE tahun 2005 jumlah KK miskin sebanyak 623.137 KK miskin (lebih besar dari data BKKBN) disertai pelayanan kesehatan yang buruk, kwalitas dan sarana pendidikan yang minim dan sulit diakses oleh rakyat miskin dll
Keseluruhan data kemiskinan, sarana prasarana ini mengartikan bahwa banyak upaya penanggula ngan kemiskinan belum tepat sasaran, dan indikator yang digunakan tidak berbasis masyarakat miskin. Menjustifikasi potret kemiskinan di NTT yang tidak menentu dapat dilihat juga secara kualitatif, yang tidak tampak banyak perubahan signifikan di tingkat kesejahteraan hidup penduduk miskin di NTT. Misalnya pada tingkatan nasional, persentase penduduk miskin di NTT masih menempati posisi ke–26 dari 30 provinsi di Indonesia (angka proyeksi BPS tahun 2005). Sedangkan Indeks Pembangunan Manusia (HDI: Human Development Index) berada pada ranking ke-28 dari 30 provinsi pada tahun 2002 dan Indeks Pembangunan terkait Gender (GDI: Gender Related Development Index) yang berada pada angka 56.3% (ranking 20 nasional).
Dilihat dari sumber pendapatan, ternyata di NTT/Kabupaten salah satu sumber PAD terbesar adalah retribusi RSUD melalui peningkatan harga rawat inap RSUD. Sungguh prihatin karena Rumah Sakit/orang sakit/orang miskin sebagai dijadikan sebagai pundi amal APBD baik di Propinsi maupun di Kabupaten-kabupaten di NTT. Hasil analisis PIAR 1999 – 2005 tentang kebijakan publik, ditemukan bahwa ada 59 perda dan kebijakan yang dihasilkan oleh Pemerintah Propinsi di NTT, 74,58 % = 43 perda diantaranya adalah perda pundi-pundi, 18,63%=12 adalah perda/kebijakan untuk pemutihan aset dan 6,79 %=4 adalah perda pelayanan publik
Rupanya otonomi daerah juga diterjemahkan sebagai otomoney yang kemudian mempengaruhi kebanyakan kebijakan public pemerintah daerah untuk seenaknya melakukan pemborosan anggaran publik bahkan sampai pada praktek korupsi dan kebijakan yang menambah beban rakyat miskin .

III. MELACAK SUMBER-SUMBER KORUPSI :
1. ”NTT bukan busung lapar tapi Busung rupiah”

Masyarakat NTT dikejutkan dengan temuan ICW di tahun 2005 dimana NTT termasuk Propinsi terkorup ke VI. Penyelenggara negara di NTT seperti tidak peduli dan prihatian atas kondisi kemiskinan yang ada bahkan tidak malu dengan predikat daerah korup. Berita korupsi selalu menghiasi halaman depan media massa local tiap hari. Meski demikian, tidak banyak koruptor yang ditangkap, ditahan atau mengembalikan keuangan negara yang telah dikorupsinya. Korupsi seolah menjadi trend baru di NTT dan kebanggaan tersendiri karena tak pernah disentuh hukum. Ada muncul komentar bernada sinis, "Paling enak korupsi di NTT", karena hampir 100 persen dijamin lolos (opini kris Bheda :Menyoal Akar Kemiskinan Masyarakat Flores Sabtu, 28-07-2007 19:09:36
Menyimak Penjelasan tertulis Gubernur NTT Piet A Tallo kepada DPRD NTT di Kupang, (10/6) 2005 menyebutkan, alokasi anggaran yang bersumber dari APBD, APBN dan Bantuan Luar Negeri (BLN) untuk pembangunan bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan di NTT selama tahun anggaran 2004 mencapai Rp1,525 tryliun. Dana yang bersumber dari APBD NTT, dalam tanggapan Gubernur adalah dalam menjawab pertanyaan DPRD seperti tabel dibawah ini:
LKPJ Gubernur NTT tentang pelaksanaan APBD 2004 sbb:
ALOKASI APBD NTT
Rp.467,142 APBN
Rp.938,344 BLN
Rp.119,715
EKONOMI 98,416 M 21,06 % 560,070 M 59,68 % 48,741 M 40,71 %
PENDIDIKAN 16,448 M 3,52 % 156,366 M 16,66 % 2,090 M 1,74 %
KESEHATAN 21,010 M 4,49 % 126,100 M 13,43 % 39,560 M 33,04 %

Realisasi penggunaan anggaran sbb:
REALISASI APBD NTT APBN BLN
EKONOMI 53,370 M 13,70 % 521,126 M 65,72 48,741 M 40,71
PENDIDIKAN 14,531 M 3,73 % 148,585 M 18,71 2,090 M 1,74
KESEHATAN 18,923 M 4,85 % 37,724 M 4,75 39,560 M 33,04

Profil keseluruhan anggaran tersebut memberi gambaran bahwa Propinsi NTT mengalami kekeringan air tetapi tidak mengalami kekeringan rupiah. Demikian juga, anggaran untuk pembangunan di bidang ekonomi yang total seluruhnya mencapai Rp.625,259 miliar (dari APBD, APBN dan BLN). sangat tidak mungkin membuat anak-anak rakyat NTT jadi busung lapar dan kurang gizi. Sedang, alokasi anggaran untuk bidang kesehatan yang bersumber dari APBD, APBN dan BLN sejumlah Rp.186,670 miliar, seharusnya tidak menciptakan anak-anak NTT yang busung lapar dan kurang gizi. Catatan diatas belum memasukan alokasi APBN tahun 2005 untuk PKPS-BBM bidang kesehatan Rp. 29.645.824.501, infrastruktur Rp. 229.055.781.000 dan Pendidikan Rp. 114.595.061.000Tapi, kbarat air disiram dipadang pasir, hilang tak berbekas

2. Kepantasan Hidup Ditengah Kemiskinan:

Bukti lain NTT kelebihan uang itu kelihatan dimana-mana. Bila dulu hanya Bupati dan Ketua DPRD yang memiliki mobil dinas, tapi saat ini hampir semua pejabat eselon dua dan tiga juga hampir semua anggota DPRD mengemudikan kendaraan plat merah yang tidak cukup dengan bermerk kijang, tapi para pejabat merasa lebih cocok bolak-balik rumah, kantor, bandara dan hotel di atas FORD atau NISSAN TERANO. (bisa kita lihat berbagai alokasi biaya pengadaan barang dan jasa serta perjalanan dinas yang cukup tinggi dan boros, kasus dugaan korupsi sppd fiktif, Nakertrans Prop NTT, DPRD Rote Ndao dan SK Bupati Ende ttg perjalanan Dinas dll )
Misalnya, Bupati Ende menumpang mobil dinas seharga sekitar Rp 1 miliar untuk turun ke desa-desa. Tidak mengatakan itu sebagai korupsi, tetapi soal kepantasan hidup di tengah masyarakat miskin. Belum lagi rumah-rumah pejabat. Di Manggarai, rumah pribadi Bupati Anton Bagul Dagur yang diakuinya dibangun dengan uang sendiri senilai lebih dari Rp 2 miliar dan berdiri megah di tengah wajah kota yang kumuh, disoroti warga. Di Kupang Rumah Jabatan Gubernur Rp.15 Milyard, rumah jabatan Walikota yang dibangun tahun 2007 seharga Rp.14 Milyar dilengkapi dengan lapangan tenis yang luas dan kolam renang (padahal sulitnya air bersih di Kota Kupang), sekali lagi bukan karena ia terbukti melakukan korupsi, tetapi lebih dari sisi kepantasan hidup di tengah rakyat miskin.

3. Ambisi Para Elit Untuk Korupsi :

Kelebihan rupiah terlihat jelas dari peningkatan ambisi para elite untuk melakukan korupsi. Pertama kalinya di tahun 2006, dalam sejarah hampir semua pejabat legislatif Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Belu, Sikka berhadapan dengan polisi dan Jaksa. Hingga tahun 2004, kerugian keuangan negara di NTT, di mana kasusnya belum terselesaikan secara hukum, mencapai Rp 138,69 miliar. Sebanyak Rp 23,88 miliar di antaranya terjadi di lingkungan dinas dan instansi Pemerintah Provinsi NTT, sisanya Rp 114,81 miliar di kabupaten dan kota (Kompas 19 Maret 2005).
Data ini diperkuat oleh informasi mantan Ketua Bappeda NTT Piet Nuwa Wea, tampak bahwa total dana yang diduga disalahgunakan hingga tahun 2004 itu mencapai Rp 573,29 miliar. Tetapi, setelah ditindaklanjuti (disita dan dikembalikan) Rp 434,60 miliar selamat, sedangkan Rp 138,69 miliar, raib. Dalam pengantar nota keuangan atas RAPBD NTT Tahun 2005, Gubernur NTT dihadapan Pari purna DPRD NTT menyampaikan hasil audit beberapa lembaga pengawas internal negara.
Hasilnya mengejutkan, dalam 798 kasus, ditemukan potensi kerugian sebesar Rp 5.614.228.992, yang kembali ke kas negara baru Rp 1.172.759.390, sedangkan penyimpangan di kabupaten/kota mencapai 232 kasus dengan nilai temuan Rp 17.131.080.132 dan Rp 11.355.499.799 telah dikembalikan. Sisanya masih di kantung oknum pelaku tindak korupsi. Angka tersebut tergolong kecil dibandingkan dengan temuan BPKP Wilayah V Denpasar , auditor pemerintah menemukan, di tubuh Pemprov NTT tahun 2004 terjadi penyimpangan Rp 45,7 miliar, tetapi dana yang baru dikembalikan Rp 16,8 miliar. Lebih mencengangkan di tingkat kab.dan kota, mungkin karena demam otonomi daerah pada tahun 2004 mencapai 532,6 miliar dan yang berhasil diselamatkan Rp 417,8 miliar
Hasil temuan BPK-RI yang dipublikasikan pada tanggal 16 Mei 2006, bahwa sampai dengan semester II TA 2005 terdapat 331 kasus penggunaan dana anggaran publik yang berindikasi korupsi dan diduga dapat merugikan keuangan negara sebesar Rp. 184,54 Milyar. Dari 331 kasus ini, 40 kasus dengan dugaan kerugian negara sejumlah Rp. 84,29 M sudah ditindaklanjuti. Sedangkan 291 kasus dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp. 100,29 Milyar belum dipertanggung jawabkan sampai saat ini.
Hasil temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTT Selama periode 2003-2007, yang di publikaiskan pada tanggal 30 Mei 2007 menunjukan bahwa di NTT terdapat 1.967 kasus dugaan korupsi dengan indikasi kerugian negara Rp. 50.061.226.820,54. Dari sejumlah temuan itu yang sudah ditindak lanjuti sebanyak 1.080 kasus dengan nilai kerugian negara diduga sebesar Rp.32.437.826.139,00. Sedangkan 887 kasus dengan nilai kerugian negara sebanyak Rp.17.633.400.680,00 yang tersebar secara merata di 16 Kab/Kota di NTT maupun pada level Pemprov, belum ditindak lanjuti. (Lihat Tabel).
Untuk sektor pendidikan walaupun angka buta huruf dan putus sekolah sangat bombastis namun ada uang sejumlah Rp 27 milyar yang diduga dikorupsi dalam program pendidikan luar sekolah (PLS ), Bahkan dana pembangunan SMKN Ekoae sebesar Rp. 2 milyar. Dismping itu, ada juga kasus dugaan korupsi dalam proyek lantainisasi untuk keluaga miskin di Flotim pada tahun 2001 sebesar Rp. 85.500.000.
Catatan akhir tahun 2007 PIAR NTT tentang Korupsi dan kinerja aparat hukum di NTT menunjukan bahwa dari 80 kasus dugaan korupsi yang dipantau, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp. 215.464.750.567,- dengan sebaran yang cukup merata di setiap Kabupaten/Kota, maupun pada tingkat Provinsi. (Lih. Diagram).
Kabupaten terbanyak kasus korupsi adalah Kabupaten Rote Ndao dengan 12 kasus, diikuti Flores Timur, Kota Kupang dst. (lihat tabel) dengan usia kasus diatas 2 tahun. Sedangkan thn 2006-2007 ada 8 kasus baru dan Tahun 2008 ada 6 kasus baru. Dilihat dari sumber dana maka ada 66 kasus dari APBD, 14 dari dana APBN dan 2 kasus dari Block Grand dengan Modus paling banyak terjadi adalah Mark up 37 (47%) kasus, penyunatan 21 kasus (26 %) dan Penunjukan langsung 9 kasus (11%)
Modus korupsi yang lain misalnya alasan geograpi propinsi Kepulauan di NTT maka pada tahun 2000 manajemen ASDP di NTT mendapatkan kapal fery penyebrangan yang masih baru dari Departemen Perhubungan. Namun fasilitas yang ada hanya dibisniskan melayani masyarakat Timor leste, dan masyarakat NTT hanyalah memiliki sarana transportasi swasta yang buruk yang berakibat pada tenggelamnya kapal yang menelan korban lebih kurang 100 orang. Demikian juga pada kasus korupsi pengadaan kapal baik di kabupaten Kupang, Folres Timur dan Rote-Ndao milyaran rupiah tapi tidak berfungsi sama sekali hingga saat ini kasus tersebut mengendap ditangan aparat penegak hukum
Dilihat dari pelakunya adalah 363 pelaku bermasalah dan DPRD lah pelaku terbanyak 204 orang, diikuti oleh Bupati/Walikota 7 orang, Wakil Bupati 3 orang pejabat Pemda 54 orang dan pelaku swasta 34 orang panitia tender sebanyak 6 Orang, PIMPRO/BENPRO sebanyak 14 orang, pejabat bank 3 orang, pejabat PDAM 5 orang, anggota KPU 5 orang dan lain lain sebanyak 28 orang.
Kasus dugaan korupsi yang di pantau oleh PIAR NTT ini oleh aparat penegak hukum di Split menjadi 183 berkas perkara, dengan rincian penanganan sebagai berikut:
Pertama, KEPOLISIAN. Pihak kepolisian menangani 36 berkas perkara dengan 131 pelaku bermasalah. Dari 131 pelaku bermasalah ini, pihak kepolisian telah menentapkan 117 orang pelaku bermasalah dengan status tersangka dan 14 orang pelaku bermasalah lainnya belum ditetapkan status hukumnya. (NB: Karena pelaku bermasalah yang diperikasa sebagai saksi pada kasus dugaan korupsi di NTT, dalam amatan PIAR berpeluang besar menjadi tersangka, maka dalam kajian ini yang berstatus saksi oleh PIAR dianggap belum memiliki status hukum). Dalam penuntasan kasus dugaan korupsi di NTT, pihak Kepolisian juga telah meng-SP3-kan 1 kasus dugaan korupsi, yakni: “Kasus Dugaan korupsi dana bantuan operasional DPRD Kota Kupang TA 2003-2004”.
Kedua, KEJAKSAAN. Ada 111 berkas perkara yang ditangani oleh aparat kejaksaan dengan jumlah pelaku bermasalah sebanyak 196 orang. Status hukum dari 196 pelaku bermasalah ini adalah tersangka (TSK) berjumlah 151 orang, terdakwa sebanyak 19 orang dan terdapat 26 orang pelaku bermasalah yang belum ditetapkan status hukumnya. Dalam penuntasan kasus dugaan korupsi di NTT, masih sering terjadi ”bolak-balik” berkas perkara dari para tersangka antara kepolisian dan kejaksaan. Bahkan berkas perkara dari Bupati Kupang, dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kapal ikan di Kab. Kupang, berkas perkaranya bolak-balik selama 9 kali, sejak tahun 2003. (NB: sekarang kasus ini sudah di SP3).
Ketiga, Pengadilan Negeri /Pengadilan Tinggi. Ada 36 palaku bermasalah 36 berkas perkara yang masuk dalam proses persidangan di PN/PT dengan jumlah pelaku bermasalah sebanyak 36 orang. Dalam persidangan terhadap ke 36 pelaku bermasalah ini, Hakim PN/PT telah memutuskan 18 orang atau (50 % berkas perkara) divonis bebas, 8 orang (22 % berkas perkara) di putus bersalah dan untuk yang belum divonis sebanyak 10 orang (28 % berkas perkara).
Lemahnya kinerja aparat penegak hukum menangani kasus korupsi ditingkat penanganan diduga bertujuan untuk meloloskan pelaku/pejabat tinggi, semisalnya Kasus Sarkes yang ditangani Polda NTT dg Gubernur dan Kep. Dinas sebagai TSK belum diadili sedangkan pimpro sudah divonis penjara sejak tahun 2005.
Kompas, sabtu (8/11) di Kupang, menulis "Memang korupsi terjadi juga di tempat lain, tetapi di sini (NTT), pelakunya lebih nekat, vulgar, atau main babat saja. Di tempat lain masih pakai cara," kata Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan NTT, Martinus Suwasono

4. PEMBANGUNAN KESEHATAN PARADIGMA ORANG SAKIT: SUDAH LANGKAH, MAHAL PULA

Walaupun indikator Indonesia Sehat 2010 mencantumkan target sebesar 15 % dari total anggaran untuk anggaran kesehatan, tapi dalam prakteknya, hanya mencapai sekitar 4,33 %. Hal ini terbaca dalam tabel berikut ini, yaitu :
Tahun 2004
Jumlah anggaran dinas kesehatan 3,704,206,527
Jumlah belanja Puskesmas 7,943,782,490
Total Anggaran kesehatan 11,647,989,017
Total Belanja APBD 268,954,369,571
Persentase angg kesehatan thd APBD 4,33 %
Mengacu kepada Kepmendagri 29/2002, di mana ada dua kategori belanja yaitu anggaran aparatur dan anggaran pelayanan publik, anggaran kesehatan Kupang ternyata keseluruhannya dikategorikan dalam anggaran pelayanan publik. Jadi, Rp 11,6 Miliar total belanja kesehatan di atas, semuanya dimasukkan dalam kategori anggaran pelayanan publik. Namun, perlu di catat di sini, bahwa di belanja dinas kesehatan sebesar Rp 3,7 Miliar, sebanyak 2/3 nya sebetulnya di peruntukkan untuk belanja gaji dan tunjangan pegawai. Demikian juga halnya dengan anggaran belanja Puskesmas, yang mana 70% diantaranya habis untuk belanja gaji dan tunjangan pegawai.
Walaupun anggaran kesehatan kesemuanya masuk dalam kategori pelayanan publik, lebih dari 2/3 bagiannya justru habis untuk belanja gaji dan tunjangan pegawai. Karena itu, belanja yang langsung ke publik sebetulnya sangatlah sedikit. Minimnya anggaran kesehatan apalagi yang berkaitan langsung dengan pelayanan publik, ternyata bukan hanya disebabkan oleh keterbatasan dana daerah. Mengapa? Karena pada saat yang bersamaan, terjadi banyak pemborosan anggaran dan pemborosan ini yang paling gampang dikorupsi sehingga mengurangi porsi bagi kepentingan pembangunan kesehatan.
Salah satunya adalah pemborosan di pos anggaran DPRD. Sebagai gambaran di anggaran tahun 2004, anggaran DPRD Kab.Kupang seluruhnya berjumah sebanyak Rp 8.583.127.770,00. Jumlah ini cukup mencolok karena pada saat yang bersamaan, anggaran DPRD di beberapa daerah lain berkisar antara 2-3 Miliar. Alokasi sebesar ini, yang banyak menyita anggaran Rp 2,9 M adalah pos penunjang kegiatan DPRD . Salah satu pos dalam alokasi penunjang kegiatan DPRD ini, yaitu bantuan lain-lain yang tidak jelas peruntukannya, justru mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 2 Miliar.
Pos lain yang jelas peruntukannya tapi cukup boros adalah sewa rumah dinas sebesar Rp 544 juta, dan perjalanan dinas sebesar Rp 1 Miliar. Pos yang sama juga terdapat di bupati dan wakil bupati yaitu perjalanan dinas yang mencapai Rp 715 juta. Pos lain yang juga tidak jelas dan boros adalah alokasi pengurusan dana pusat sebesar Rp 400 juta, bantuan pemerintah lainnya sebesar Rp 2,6 Miliar dan bantuan pemerintah teritorial sebesar Rp 5,2 Miliar. Tidak ada penjelesan yang memadai dalam dokumen SK Bupati tentang alokasi pengurusan dana pusat misalnya, padahal dananya mencapai Rp 0,4 Miliar.
Pos yang sama juga terdapat di Rote-Ndao sebesar Rp.795 Juta dan beberapa daerah lain, dan kata beberapa sumber, dana ini memang di pakai untuk “memperlancar” dana perimbangan dari pusat. Pos lainnya lagi adalah pos bantuan pemerintah lainnya yang menyerap alokasi angagran Rp 2,6 Miliar,dan bantuan pemerintah teritorial sebesar Rp 5,2 Miliar. Pada tahun 2004, terdapat Rp 925 juta untuk pos “Bantuan Penyelenggaraan Tugas-Tugas Pemerintahan”. Pos yang sama dalam APBD 2005 juga muncul lagi sebesar Rp 500 juta.
Dana-dana tidak jelas, di mana ada alokasi anggaran tanpa peruntukan dan penerima manfaat yang jelas ini, menyerap dana yang sangat besar. Bandingkan misalnya dengan alokasi untuk pengadaan obat yang hanya Rp 423 juta, atau minimnya anggaran untuk kepentingan promosi kesehatan yang menjelaskan alokasi anggaran yang berangkat dari paradigma sehat, bukannya paradigma sakit. Pos yang juga besar adalah pos jasa pihak ketiga untuk pengelolaan tata ruang dan pengembangan kawasan, yang total dananya mencapai Rp 1,527 Miliar.
Dana ini antara lain diperuntukkan bagi jasa pihak ketiga untuk review tata ruang wilayah kabupaten Kupang sebesar Rp 550 juta, jasa pihak ketiga untuk tata ruang Pulau Sabu sebesar Rp 450 juta dan konsultan tata ruang pulau Raijua sebesar Rp 225 juta. Dari alokasi anggaran diatas ditemukan sejumlah kasus korupsi pada pos-pos yang dikategorikan pos pemborosan. Analisis korupsi di Kabupaten Kupang TA 2004 ditemukan Kasus Korupsi dana Penunjang kegiatan DPRD Kab. Kupangdan Kasus Penyimpangan Dana Pembangunan RSU Naibonat, kasus Rumpon, sewa rumah dinas di rumah pribadinya wakil bupati yang tak sesuai prosedural, kasus Sarkes serta sejumlah kasus lainnya.
IV. MENGABAIKAN HAK: NTT TERTINGGAL JAUH

Fakta bahwa korupsi sudah sedemikian sistemik dan kian terstruktur sudah tidak terbantahkan lagi. Ada cukup banyak bukti yang bisa diajukan untuk memperlihatkan bahwa korupsi terjadi pada setiap waktu mulai soal pengurusan akta lahir hingga pengurusan tanah kuburan, dari sektor yang berkaitan dengan kesehatan hingga masalah pendidikan, dari mulai pedagang kaki lima hingga promosi jabatan untuk menduduki posisi tertentu di pemerintahan
Kategori korupsi dapat mencakup beberapa hal, diantaranya adalah tindakan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, tindakan yang merugikan keuangan negara, merugikan perekonomian negara, memperkaya diri sendiri, orang lain, kelompok maupun korporasi, semua aktivitas yang dilakukan oleh aparat dan pejabat Negara maupun swasta yang mana masuk kategorikan tindakan diatas dapat disebut sebagai tindak pidana koruspi
Dalam melihat korupsi dan kemiskinan di NTT sebagai suatu hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari prespektif teoritis, memang tidaklah gampang karena akan timbul perdebatan yang hasilnya dapat diprediksi seperti masalah Akbar Tanjung (baca: Akan Berakhir Tanpa Ujung), karena hasil perdebatan tersebut sangat tergantung dari latar belakang dan kepentingan dari pihak yang mengeluarkan argumen sehingga mengaburkan kondisi riil yang terjadi di NTT.
Berdasarkan pengertian korupsi yang ada, jelas sekali bahwa yang dikorupsi tentu saja adalah uang Negara yang merupakan representasi uang rakyat. Dana yang dianggarkan dalam APBN/APBD yang seyogianya untuk pembangunan (infrastruktur), pemenuhan hak-hak dasar rakyat dan pemberdayaan sumber daya manusia namun kita ketahui bahwa justru sumber-sumber dana yang ada di APBN dan APBD inilah yang menjadi sumber korupsi pula.
Makin tinggi bocoran uang negara berimplikasi meningkatnya penduduk miskin setiap tahunnya, hal ini secara sederhana disebabkan bahwa Anggaran untuk pembangunan, pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan pemberdayaan sumber daya manusia tidak untuk kelompok miskin tapi justru masuk dalam kantong-kantong para koruptor. Bahkan problem ekonomi sesungguhnya memang bukan kelangkaan (scarcity) melainkan buruknya distribusi . Fakta menunjukkan, kemiskinan terjadi bukan karena tidak ada uang tapi karena uang yang ada tidak sampai kepada orang-orang miskin. Realitas yang dapat ditunjukan yang merupakan dampak langsung dari korupsi adalah:
1. Korupsi merusak pembangunan manusia : Feminisasi Kemiskinan : Anak busung lapar dari Ibu miskin
Dampak korupsi mengakibatkan Pelayanan public menjadi mahal dan lama, karena birokrasi rente yang selalu mengutamakan siapa yang punya uang yang akan mudah mendapatkan pelayanan dan kelompok miskin yang tidak punya uang pelicin akan mendapatkan dampaknya. Dan yang miskin dalam masyarakat faktanya kelompok perempuan yang paling miskin dan kekurangan gisi. Gisi buruk dan busung lapar pada balita sangat berkaitan erat dengan kondisi ibu mereka. Angka kematian ibu dan anak yang begitu tinggi namun sulitnya akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar
Jika pembangunan memfokuskan pada hak ekosok seharusnya kebocoran diatas di alokasikan untuk pemenuhan hak dasar misalnya pembangunan kesehatan dengan paradigma orang sehat, akan dapat mengurangi angka kematian ibu dan anak ataupun memperbaiki kwalitas pendidikan.
Patut disadari, harga yang harus dibayar akibat gizi buruk pada balita adalah kedahsyatannya merampas kecerdasan anak sehingga mereka menjadi sumber generasi yang hilang di masa datang KIta bisa temukan bagaimana masyarakat miskin menemukan dirinya sendiri dikeluarkan dari sekolah atau rumah sakit-rumah sakit yang tidak dapat mereka bayar, atau diminta untuk membayar biaya 17 pungutan disekolah sederhana untuk memperoleh akses pelayanan yang telah menjadi hak mereka. Melihat semakin tingginya biaya pendidikan dan meningkatnya ‘tarikan’ kepada orang tua siswa dari tahun ketahun, jelas beban masyarakat juga semakin besar. Apabila ditelusur lebih jauh maka beban itupun akan tertumpu pada perempuan. Bagaimana tidak? Kondisi ini akan mempengaruhi wilayah Reproduktif, Produktif dan wilayah sosial kemasyarakatan perempuan terutama perempuan miskin.

Di wilayah reproduktif, perempuan akan mengurangi komposisi makanan untuk mencukupkan keuangan rumah tangga. Pada saat pemasukan tetap dan pengeluaran dalam bidang pendidikan bertambah, otomatis ada wilayah yang harus dikorbankan. Salah satu pengorbanan yang banyak dilakukan oleh ibu-ibu adalah memperkecil pengeluaran untuk makanan keluarga. Hal ini juga akan berpengaruh pada gizi keluarga dan ibu itu sendiri

2. Korupsi menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan menjadi high cost, karena dana yang digunakan untuk masyarakat maupun operasional justru dikorup, Sujatmoko (Begawan Ekonom Indonesia) pernah menyatakan bahwa 30% dana APBN bocor. Dan fakta juga APBD baik provinsi dan kabupaten selalu saja bocor (berdasarkan data audit BPK) dan hasil laporan PIAR-NTT

3. Korupsi mengubah prilaku belanja – jauh dari barang-barang kebutuhan hak dasar publik utama seperti kesehatan, pendidikan dan pertanian, Infra struktur .
Ketiadaan pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan menyebabkan masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit dan rendah kompetensinya sehingga masyarakat menjadi tidak profesional dan tidak mampu berkompetisi secara dinamis dengan berbagai sumberdaya manusia dari negara lain

4. Korupsi juga menyebabkan Kualitas dan komposisi investasi publik tidak tersedia dan buruk, Rendahnya mutu infrastruktur transportasi dan komunikasi tidak hanya menyebabkan mobilitas penduduk menjadi merosot tetapi juga potensial menyebabkan kerawanan sosial lainnya (kasus sering tenggelamnya transportasi laut di NTT) Begitu juga dengan angka kemiskinan yang kian meningkat karena macetnya pertumbuhan ekonomi akan berpengaruh luas pada stabilitas sosial dan politik

5. Korupsi menciptakan keseriusan ketidakadilan dalam penegakan hukum: dan mepertontonkan ketakberdayaan negara
Dalam konteks hukum, dampak yang paling nyata adalah makin meluasnya ketidakpercayaan rakyat pada lembaga penegak hukum karena korupsi juga terjadi pada penegakan hukum ketika mengadili kasus korupsi. Karena itu tidaklah mengherankan bila penyelesaian sepihak dengan menggunakan kekerasan menjadi salah satu modus yang kerap dipakai oleh masyarakat untuk mewujudkan keadilan versi mereka (Kasus Flores Timur). Banyak aparat hukum belum mampu melayani sebagai penjamin hak asasi dan melindungi, sebaliknua mereka menjadi sumber ketakutan. Malahan dampak korupsi menciptakan pembiaran terhadap kejahatan korupsi, tidak pernah ada usaha serius dari pemerintah untuk memberantas korupsi secara serius dan sistematik,

6. Korupsi menyebabkan ruang partisipasi rakyat menjadi sempit : Para pengambil kebijakan selalu memperkecil bahkan meniadakan partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan perencanaan dan penganggaran maupun kebijakan lainnya, karena dikhawatirkan dengan control yang akan diberikan masyarakat akan memperkecil peluang korupsi yang akan mereka lakukan.
IV. PEMBELAJARAN : Kebutuhan rakyat yang butuh jawaban segera
Pembangunan manusia tak mungkin dilakukan secara maksimal kalau korupsi terus dibiarkan dan korupsi tidak akan selesai kalau ini menjadi gerakan bersama
Pengalaman advokasi anti korupsi di NTT, memberi banyak pelajaran berarti bahwa korupsi di NTT diibaratkan perkara ayam jual kerbau . Sering terpikirkan oleh kami mungkinkah penanganan kasus korupsi di NTT memakai sumber hukum yang beda dengan daerah lain sehingga seringkali dalam kasus yang sama, didaerah lain telah diseret ke pengadilan. Sangat beda dengan di NTT.
Pelesetkan NTT sebagai Nasib Tetap Tersangka dalam penanganan kasus korupsi, bisa benar adanya. Karna status tersangka bisa bertahun tahun lamanya dan bisa diturunkan jadi saksi kemudian di SP3 ketika statusnya saksi.
Pengalaman menarik di NTT Advokasi anti korupsi bisa berhasil jika dilakukan oleh semua elemen dengan jejaring yang kuat dan diikuti keseriusan negara memberi dukungan yang penuh. Keterlibatan media/perss sangat penting cukup menentukan keberhasilan advokasi namun seringkali pers kurang tertarik. Semisalnya : ketika semua masyarakat menolak KEJATI NTT penanganan yang tak independen sehingga melakukan SP3 pada dugaan korupsi dana kontegensi APBD Kota Kupang 2003 dan 2004, Ini cukup berhasil karena ribuan masyarakat mau melakukan aksi bersama menolak cara penanganan KEJATI.
Hal menarik lainnya dari gerakan anti korupsi di NTT adalah pengarusutamaan gender (gender mainstreaming). Mengapa ini penting, karena korupsi telah mengakibatkan kemiskinan dan itu artinya perempuan yang paling dirugikan, mengingat jumlah perempuan lebih banyak. Lebih dari itu, dalam kondisi miskin kebutuhan dan kepentingan perempuan semakin dikesampingkan, perempuan yang paling banyak menjadi korban dari tindakan korupsi. Pengalaman advokasi antikorupsi di NTT tak terkecuali keterlibatan perempuan memiliki potensi yang sangat besar, Perempuan memiliki kecenderungan lebih peka terhadap korupsi dan cenderung untuk menghindari tindakan yang korup melalui pola hidup yang sederhana, mematuhi aturan dan profesionalisme kerja.
Di beberapa kabupaten, pengarusutamaan gender masih minim dimana upaya untuk perempuan terlibat lebih aktif dalam gerakan anti korupsi karena isu korupsi masih terasa sangat maskulin sehingga perempuan tidak dianggap penting untuk terlibat. Kalaupun perempuan terlibat, itu hanya di pinggiran bukan sebagai tokoh utama. Sebenarnya kelompok perempuan miskin telah merasakan persoalan korupsi secara riil hanya saja informasi ini belum terorganisir dengan baik menjadi sebuah alasan untuk bergerak.
Hal ini juga yang menyebabkan sepertinya korupsi dianggap jauh dari dunia perempuan, justru yang ada adalah fikiran menyesatkan yang hadir yang mengatakan bahwa perempuan menjadi penyebab terjadinya korupsi. Ini cara fikir yang sesat, karena kita tahu bahwa korupsi justru sebagai persoalan struktur dan system bernegara, justru perempuan yang nyata-nyata menjadi korban dari aktivitas korupsi. Kondisi riil ini pula yang kurang terekspresikan oleh perempuan.
Selain tindakan kuratif, penting juga dilakukan tindakan preventif. Beberapa waktu lalu bersama pemkab dan Pemkot di empat kabupaten kota di NTT melakukan Participatory Proverty Assesment (PPA). Esensi Pendekatan PPA adalah perubahan institusional mendasar yang dikuatkan dengan cara pandang dan pemahaman soal meanstream gender, berbasis HAK dan anti pemiskinan merupakan tindakan pencegahan. Tujuan PPA adalah kebijakan anggaran dan kebijakan publik lainnya ataupun sumberdaya berpihak pada kelompok miskin yang kurang mendapat akses/keuntungan dari suatu kebijakan/program. Pengalaman ini memunculkan inovasi-inovasi pemerintah daerah untuk mendesign program pembangunan yang pro poor dan sensitip gender
V. PENUTUP
Membaca penanganan penangan kasus korupsi di NTT adalah menyaksikan drama lemahnya pemerintah kita. Pemerintah seolah tahu apa yang harus dikerjakan, tetapi tak punya kekuatan memobilisasi sumber daya dan mengatasi masalah secara sigap, tertata, terukur, saksama, dan efektif . Dalam kerangka ini, proses hukum yang sekarang berlangsung adalah upaya membunuh gajah menggunakan raket pembunuh nyamuk. Di tengah ketersediaan aturan yang bisa digunakan, mau tak mau fakta itu menggarisbawahi bahwa yang lemah bukanlah hukum, melainkan kemampuan pemerintah menegakkannya. Ini adalah fenomena pemerintah yang tak berkemauan dan berkemampuan menggunakan hukum sebagai alat pertanggungjawaban publik dan pemeliharaan kepentingan publik.
Berdasarkan fakta yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik suatu titik simpul bahwa Kemiskinan dan korupsi dan pengabaian hak dasar sesungguhnya merupakan issue mandiri. Masing-masing mempunyai substansi yang berbeda. Walaupun demikian, issue-issue ini kalau dikaji secara kritis memiliki keterkaitan yang sulit dipisahkan. Issue ini memeiliki hubungan kausalitas (sebab-akibat) dan harus diakui bahwa pada konteks Nusa Tenggara Timur (NTT) korupsilah yang merupakan salah satu penyebab kemiskinan yang secara sengaja mengabaikan hak kaum miskin. Untuk itu apabila ingin mengatasi persoaalan kemiskinan di NTT dengan tujuan pemenuhan hak dasar, otomatis pemberantasan korupsi adalah sesuatu yang mutlak dilakukan dan tidak dapat di tunda-tunda lagi karena korupsi, masyarakat harus membayar mahal pelayanan yang menjadi haknya, karena korupsi, pemerintah tidak mampu menyelenggarakan pelayanan publik dengan baik yang menjadi tugasnya, karena korupsi kebutuhan dasar rakyat tidak terpenuhi.
Indonesia akan tetap pada peringkat terburuk dan terancam gagal mencapai target MDGs tahun 2015 bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina jika masalah korupsi ini tak ditangani secara serius dan bertanggung jawab, untuk itu tinggalkan wacana hadapi fakta.


Tidaklah mengherankan bila kemiskinan, yang akrab dengan NTT sejak zaman
Belanda hingga sekarang, membuat banyak anekdot tentang provinsi ini. NTT
dijadikan singkatan "Nasib Tak Tentu, Nanti Tuhan Tolong, Nasib Tambah
Terang, Ngalor-ngidul Tidak Tentu, Numpang Tanda Tangan, Negeri Tidak Tentram",
dan masih banyak lagi bentuk pelesetan yang akhirnya hanya memberi kesan begitu
kental tentang betapa terbelakangnya daerah ini dalam hampir semua aspek kehidupan