SDF

Ir. SARAH LERY MBOEIK - ANGGOTA DPD RI ASAL NTT - KOMITE 4, PANITIA PERANCANG UNDANG UNDANG(PPUU), PANITIA AKUNTABILITAS PUBLIK DPD RI TIMEX | POS KUPANG | KURSOR | NTT ON LINE | MEDIA INDONESIA | SUARA PEMBARUAN | KOMPAS | KORAN SINDO | BOLA | METRO TV | TV ON LINE | HUMOR
Sarah Lery Mboeik Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch
widgeo.net

Rabu, 04 Desember 2013

Siaran Pers Bersama



Siaran Pers Bersama
Pemerintah Harus Serius Membela Wilfrida Soik dari Ancaman Hukuman Mati Di Malaysia!!!!
Masalah ancaman hukuman mati terhadap buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri hingga hari ini masih merupakan masalah krusial yang yang belum diselesaikan secara sistematik dalam mekanisme perlindungan buruh migran Indonesia, padahal sejak 12 April 2012 pemerintah Indonesia telah meratifikasi International Convention on The Rights of All Migrant Workers and Their Families. Hal ini sebenarnya merupakan kemajuan bagi komitmen perlindungan untuk buruh migran.
Wilfrida Soik, PRT migran asal Kolon Ulun, Ratu Fika, Raimanuk, Belu NTT, saat ini tengah menghadapi ancaman hukuman mati atas tuduhan pembunuhan terhadap majikannya, Yeap Seok Pen (60 tahun). Pada 7 Desember 2010, Wilfrida ditangkap polisi Daerah Pasir Mas di sekitar kampung Chabang Empat, Tok Uban, Kelantan.  Ia dituduh melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap majikan yang dijaganya, seorang perempuan tua Yeap Seok Pen (60). Wilfrida terancam hukuman mati atas dakwaan pembunuhan dan melanggar pasal 302 Penal Code (Kanun Keseksaan) Malaysia dengan hukuman maksimal hukuman mati.

Wilfrida  diberangkatkan ke Malaysia pada 23 Oktober 2010 melalui jalur Jakarta - Batam - Johor Bahru. Dari Johor Bahru, Wilfrida Soik dibawa langsung ke Kota Bharu, Kelantan. Pada saat diberangkatkan umur Wilfrida baru 17 tahun. Namun pihak yang meberangkatkan memalsukan umur Wilfirda menjadi 21 tahun. Dalam paspor, tanggal lahir Wilfrida 8 Juni 1989, padahal berdarakan surat baptis yang dikeluarkan gereja katolik Paroki Roh Kudus Kolo Ulun, Fatu Rika, Kecamatan Raimanuk, Belu, menyebutkan Wilfrida dilahirkan 12  Oktober 1993.

Pada 7 Desember 2010, Wilfrida Soik membela diri dengan melawan dan mendorong majikannya (Yeap Seok Pen) hingga jatuh dan berakhir dengan kematian majikannya tersebut. Selama bekerja, Wilfrida sering menerima amarah dan pukulan.

Saat ini, Wilfrida Soik ditahan di Penjara Pengkalan Chepa, Kota Bharu, Kelantan. Dan telah menjalani beberapa kali persidangan di Mahkamah Tinggi Kota Bahru. Sidang pertama dilakukan pada tanggal 20 Februari 2011. Beberapa sidang yang telah dijalani: 24-27 Maret 2013, 24 Juni 2013, 5 Agustus 2013 dan 26 Agustus 2013. KBRI Kuala Lumpur telah menunjuk pengacara dari kantor pengacara Raftfizi & Rao untuk membela Wilfrida.

Berdasarkan jaminan konstitusi dan berbagai aturan hukum nasional lainnya yang menjamin hak atas hidup setiap orang, maka pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk membela dan membebaskan Wilfrida dari ancaman hukuman mati. Beberapa aturan hukum tersebut adalah:

  1. Pasal 28 UUD 1945: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
  2. Pasal 6 UU Nomor 5 tahun 2012 tentang pengesahan kovenan internasional tentang hak sipil dan politik : Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang 
  3. Pasal 9 Konvensi internasional tentang perlindungan seluruh  hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya (UU nomor 6 tahun 2012 tentang pengesahan konvensi buruh migran) :  Hak atas hidup dari buruh migran dan anggota keluarganya harus dilindungi oleh hukum.  
  4. Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. 
  5. Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 
  6. Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang ratifikasi konvensi ILO No. 138 tentang usia minimum untuk bekerja
  7. Pasal 19 UU Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri “ Negara wajib memberikan perlindungan kepada setiap warga Negara Indonesia yang ada di luar negeri


Berdasarkan landasan tersebut, kami mendesak pemerintah Indonesia Malaysia dan untuk:


  1. Pemerintah Indonesia harus lebih serius melakukan upaya pembelaan hukum terhadap Wilfrida Soik yang pada saat peristiwa yang disangkakan terjadi masih di bawah umur
  2. Pemerintah daerah Belu dan NTT harus lebih pro aktif melakukan upaya-upaya pembelaan baik melaui pemantauan terhadap sidang-sidang yang berlangsung, support keluarga Wilfrida untuk ke Malaysia maupun melanjutkan proses hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat pemberangkatan Wilfrida ke Malaysia yang diduga kuat menjadi korban trafficking
  3. Mendesak Mahkamah Tinggi Kota Bahru Malaysia untuk membebaskan Wilfrida Soik dari hukuman mati 
  4. Menyerukan kepada pemerintah Malaysia dan Indonesia (dimana keduanya merupakan anggota UN Human Rights Council) untuk menghentikan praktek pemidaan dengan metode hukuman mati karena merupakan pelanggaran HAM. Praktek hukuman mati sudah banyak ditinggalkan oleh Negara-negara di muka bumi.  PBB juga menegaskan urgensi penghapusan hukuman mati seperti yang tertuang dalam Second Optional Protocol to the UN International Covenant on Civil and Political Rights




Jakarta, 28 Agustus 2013

1.       Eva Kusuma Sundari (anggota DPR RI)
2.       Sarah Lerry Mboik (anggota DPD RI)
3.       Anis Hidayah (Migrant CARE)
4.       Wahyu Susilo (Migrant CARE)
5.       Alex Ong (Migrant CARE Malaysia)
6.       Magdalena Tiwu (anggota DPRD Belu NTT)
7.       Mulyadi (SARI)

Rabu, 28 Agustus 2013

Siaran Pers Bersama "SELAMATKAN WILFRIDA"



Siaran Pers Bersama
Pemerintah Harus Serius Membela Wilfrida Soik dari Ancaman Hukuman Mati Di Malaysia!!!!

Masalah ancaman hukuman mati terhadap buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri hingga hari ini masih merupakan masalah krusial yang yang belum diselesaikan secara sistematik dalam mekanisme perlindungan buruh migran Indonesia, padahal sejak 12 April 2012 pemerintah Indonesia telah meratifikasi International Convention on The Rights of All Migrant Workers and Their Families. Hal ini sebenarnya merupakan kemajuan bagi komitmen perlindungan untuk buruh migran.
Wilfrida Soik, PRT migran asal Kolon Ulun, Ratu Fika, Raimanuk, Belu NTT, saat ini tengah menghadapi ancaman hukuman mati atas tuduhan pembunuhan terhadap majikannya, Yeap Seok Pen (60 tahun). Pada 7 Desember 2010, Wilfrida ditangkap polisi Daerah Pasir Mas di sekitar kampung Chabang Empat, Tok Uban, Kelantan.  Ia dituduh melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap majikan yang dijaganya, seorang perempuan tua Yeap Seok Pen (60). Wilfrida terancam hukuman mati atas dakwaan pembunuhan dan melanggar pasal 302 Penal Code (Kanun Keseksaan) Malaysia dengan hukuman maksimal hukuman mati.

Wilfrida  diberangkatkan ke Malaysia pada 23 Oktober 2010 melalui jalur Jakarta - Batam - Johor Bahru. Dari Johor Bahru, Wilfrida Soik dibawa langsung ke Kota Bharu, Kelantan. Pada saat diberangkatkan umur Wilfrida baru 17 tahun. Namun pihak yang meberangkatkan memalsukan umur Wilfirda menjadi 21 tahun. Dalam paspor, tanggal lahir Wilfrida 8 Juni 1989, padahal berdarakan surat baptis yang dikeluarkan gereja katolik Paroki Roh Kudus Kolo Ulun, Fatu Rika, Kecamatan Raimanuk, Belu, menyebutkan Wilfrida dilahirkan 12  Oktober 1993.

Pada 7 Desember 2010, Wilfrida Soik membela diri dengan melawan dan mendorong majikannya (Yeap Seok Pen) hingga jatuh dan berakhir dengan kematian majikannya tersebut. Selama bekerja, Wilfrida sering menerima amarah dan pukulan.

Saat ini, Wilfrida Soik ditahan di Penjara Pengkalan Chepa, Kota Bharu, Kelantan. Dan telah menjalani beberapa kali persidangan di Mahkamah Tinggi Kota Bahru. Sidang pertama dilakukan pada tanggal 20 Februari 2011. Beberapa sidang yang telah dijalani: 24-27 Maret 2013, 24 Juni 2013, 5 Agustus 2013 dan 26 Agustus 2013. KBRI Kuala Lumpur telah menunjuk pengacara dari kantor pengacara Raftfizi & Rao untuk membela Wilfrida.

Berdasarkan jaminan konstitusi dan berbagai aturan hukum nasional lainnya yang menjamin hak atas hidup setiap orang, maka pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk membela dan membebaskan Wilfrida dari ancaman hukuman mati. Beberapa aturan hukum tersebut adalah:
1.       Pasal 28 UUD 1945: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
2.       Pasal 6 UU Nomor 5 tahun 2012 tentang pengesahan kovenan internasional tentang hak sipil dan politik : Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang
3.       Pasal 9 Konvensi internasional tentang perlindungan seluruh  hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya (UU nomor 6 tahun 2012 tentang pengesahan konvensi buruh migran) :  Hak atas hidup dari buruh migran dan anggota keluarganya harus dilindungi oleh hukum.
4.       Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
5.       Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
6.       Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang ratifikasi konvensi ILO No. 138 tentang usia minimum untuk bekerja
7.       Pasal 19 UU Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri “ Negara wajib memberikan perlindungan kepada setiap warga Negara Indonesia yang ada di luar negeri

Berdasarkan landasan tersebut, kami mendesak pemerintah Indonesia Malaysia dan untuk:

1.       Pemerintah Indonesia harus lebih serius melakukan upaya pembelaan hukum terhadap Wilfrida Soik yang pada saat peristiwa yang disangkakan terjadi masih di bawah umur
2.       Pemerintah daerah Belu dan NTT harus lebih pro aktif melakukan upaya-upaya pembelaan baik melaui pemantauan terhadap sidang-sidang yang berlangsung, support keluarga Wilfrida untuk ke Malaysia maupun melanjutkan proses hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat pemberangkatan Wilfrida ke Malaysia yang diduga kuat menjadi korban trafficking
3.       Mendesak Mahkamah Tinggi Kota Bahru Malaysia untuk membebaskan Wilfrida Soik dari hukuman mati
4.       Menyerukan kepada pemerintah Malaysia dan Indonesia (dimana keduanya merupakan anggota UN Human Rights Council) untuk menghentikan praktek pemidaan dengan metode hukuman mati karena merupakan pelanggaran HAM. Praktek hukuman mati sudah banyak ditinggalkan oleh Negara-negara di muka bumi.  PBB juga menegaskan urgensi penghapusan hukuman mati seperti yang tertuang dalam Second Optional Protocol to the UN International Covenant on Civil and Political Rights.

Jakarta, 28 Agustus 2013

1.       Eva Kusuma Sundari (anggota DPR RI)
2.       Sarah Lerry Mboik (anggota DPD RI)
3.       Anis Hidayah (Migrant CARE)
4.       Wahyu Susilo (Migrant CARE)
5.       Alex Ong (Migrant CARE Malaysia)
6.       Magdalena Tiwu (anggota DPRD Belu NTT)
7.       Mulyadi (SARI)




Selasa, 09 Juli 2013

SIKAP POLITI DPD RI TERHADAP RAPBN 2014



I.         PENDAHULUAN
1.    Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007, telah ditetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005—2025) sebagai kerangka pencapaian sasaran pembangunan hingga akhir tahun 2025. Sasaran umum tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata secara material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berkedaulan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan damai.  
2.    Sasaran pembangunan jangka panjang tersebut dituangkan ke dalam rencana pembangunan lima tahunan yang disebut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Berkaitan dengan RPJPN dan RPJMN, setiap daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, mempunyai sasaran pembangunan daerah yang dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Lembaga legislatif, baik DPR RI, DPD RI, maupun DPRD memiliki peran sentral dalam penetapan sasaran kebijakan pembangunan jangka panjang tersebut.
3.    RPJMN 2010—2014 telah menetapkan sasaran-sasaran indikatif berupa sasaran pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan angka kemiskinan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Tahun 2014 merupakan tahun terakhir RPJMN 2010—2014 yang memberi kesempatan bagi usaha pencapaian sasaran pembangunan selama 5 tahun dalam RPJMN 2010—2014.
4.    Seluruh asumsi yang mendasari penyusunan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2014 harus ditetapkan secara terukur dan realistik terutama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta memacu percepatan pembangunan daerah sesuai dengan sasaran RPJMN        2010—2014.
5.    Gejolak ekonomi global masih mewarnai perekonomian nasional. Oleh karena itu, penyusunan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2014 harus dapat memberi landasan kekuatan untuk mengatasi dampak negatif dari gejolak ekonomi global tersebut. 
6.    Salah satu harapan pembangunan otonomi daerah dan desentralisasi adalah pelayanan publik yang maju untuk memperkuat kemampuan daerah dan masyarakat menghadapi tantangan perubahan. Tujuan ini masih harus dikembangan dalam berbagai kebijakan pengelolaan pembangunan termasuk kebijakan fiskal yang tepat dan adil dengan merubah dan membangun format RAPBN yang baru yang memasukan kebijakan fiskal untuk daerah.

II.    PERTIMBANGAN TERHADAP ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO
A.     Asumsi Dasar Ekonomi Makro
1.    Dengan pertimbangan bahwa perekonomian nasional merupakan agregasi atau totalitas dari perekonomian daerah provinsi dan kabupaten/kota, dan menyadari adanya keterkaitan antar sektor dan antar daerah, serta memperhatikan perkiraan perkembangan ekonomi global, DPD RI mengusulkan kerangka ekonomi makro dalam penyusunan RAPBN Tahun 2014 sebagai berikut:
a.    pertumbuhan ekonomi 6,40%—6,60%;
b.      inflasi kisaran 5,00%—6,50%;
c.      nilai tukar Rp9.250,00—Rp9.850,00 per US$;
d.      tingkat suku bunga SPN 5,5%—6,5%;
e.      rata-rata harga minyak US$105—US$110 per barel;
f.       lifting minyak 910 ribu—940 ribu barel per hari;
g.      lifting gas tetap 1.250—1.340 mboepd;
h.      tingkat kemiskinan 11,16%;
i.        tingkat pengangguran terbuka 5,75%; dan
j.       indeks gini 0,40.
2.    Penyusunan kerangka ekonomi makro RAPBN TA 2014 selain memberikan pemihakan yang jelas dan tegas kepada daerah-daerah yang relatif tertinggal dan rentan terhadap gejolak perekonomian nasional dan global, juga harus ada upaya penajaman kebijakan dan program pembangunan untuk menjaga momentum percepatan pertumbuhan ekonomi.
B.     Pertumbuhan Ekonomi
1.    Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan mencapai 3,9%—4,1% pada tahun 2014. Pada tahun yang sama tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,6%. Hal ini sejalan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi yang diusulkan untuk RAPBN Tahun 2014, yakni sekitar 6,4%—6,6%. Ini lebih realistis dari target RPJMN.
2.    DPD RI berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi nasional dalam tahun 2014 yang diperkirakan sekitar 6,4%—6,6% cukup realistik. Pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tetap kuat, peningkatan investasi, serta peningkatan ekspor. Sektor yang diperkirakan akan menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi tersebut adalah sektor pertanian; sektor industri pengolahan; sektor perdagangan, hotel dan restoran; serta sektor transportasi dan komunikasi.
3.    Penetapan asumsi pertumbuhan ekonomi tahun 2014 tersebut juga perlu didukung dengan peningkatan daya saing perekonomian daerah melalui peningkatan belanja modal untuk infrastruktur di daerah, peningkatan daya saing produk unggulan masing-masing daerah, dan peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik.

C.     Inflasi
1.    Pada dasarnya inflasi pada tingkat yang wajar antara 3%5% akan mendorong hasrat berinvestasi, tetapi inflasi yang tinggi akan mengurangi daya beli masyarakat di daerah dan berdampak pada rendahnya tingkat kesejahteraan.
2.    Inflasi pada tahun 2014 diperkirakan akan berada pada kisaran 6,00%—6,50%. Proyeksi tersebut didasarkan kepada dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM, dan perkiraan masih tingginya harga bahan pangan dan energi di pasar internasional pada tahun mendatang. Untuk itu, Pemerintah perlu terus menjaga stabilitas harga dan mengurangi potensi kenaikan inflasi sebagai akibat kenaikan harga pangan, lambatnya pasokan bahan bakar minyak di beberapa daerah, kenaikan biaya transportasi antardaerah dan kenaikan tarif layanan publik lainnya.
D.     Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$1)
1.    Dengan memperhitungkan perkembangan pasar uang nasional dan global, nilai tukar rupiah pada tahun 2014 pada kisaran Rp9.650,00Rp9.850,00 per US$. Dalam upaya menjaga keseimbangan pasar valuta asing, Bank Indonesia harus terus mengambil langkah-langkah untuk menjaga kecukupan likuiditas pasar yang didukung dengan penguatan operasi moneter melalui pengembangan instrumen moneter valuta asing.
2.    Namun yang terpenting, nilai tukar rupiah diharapkan memberikan insentif yang cukup bagi para pelaku dalam kegiatan ekspor, dan memberikan daya tarik investasi di dalam negeri. Di sisi lain, pengendalian nilai tukar rupiah dilakukan dengan memperhitungkan jaminan kebutuhan impor bahan baku dan barang modal bagi para pelaku usaha di dalam negeri.
E.     Tingkat Suku Bunga SPN-3 Bulan
1.    Berdasarkan perkembangan beberapa indikator ekonomi, dan mencermati kondisi faktor-faktor yang akan berpengaruh pada tahun 2014, tingkat suku bunga SPN tahun 2014 diperkirakan sebesar 5,5%6,5%. Hal ini dianggap cukup kompetitif, dan Pemerintah perlu fokus pada penurunan suku bunga perbankan. Upaya ini hanya dapat dilakukan dengan mendorong efisiensi perbankan untuk mengurangi biaya intermediasi.
2.    Penyaluran kredit perbankan lebih rendah dibanding mobilisasi dana masyarakat. Kondisi ini tidak kondusif bagi pengembangan UMKMK dan percepatan pembangunan daerah. Untuk itu, Pemerintah perlu mendorong pemerataan penyaluran kredit perbankan antar daerah terutama untuk mendukung pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKMK) dan percepatan pembangunan daerah. Dan yang terpenting perlu pengembangan kelembagaan ekonomi berbasis komunitas.
F.      Harga Minyak
1.    Harga minyak dalam tahun 2014 diperkirakan pada kisaran US$105—US$110 per barel. Proyeksi tersebut didasarkan kepada perkembangan harga di pasar minyak internasional pada dua tahun terakhir.
2.    Penetapan harga minyak tahun 2014 cukup realistis, namun Pemerintah harus tetap menyiapkan suatu pengaman untuk mengurangi dampak fluktuasi harga minyak di pasar internasional termasuk penetapan subsidi. Pemerintah perlu memperhatikan kebutuhan pasokan BBM di wilayah yang terpencil agar tidak terjadi kelangkaan BBM di daerah tersebut.


G.    Lifting Minyak
1.    DPD RI memperkirakan lifting minyak dalam tahun 2014 pada kisaran 860 ribu— 900 ribu barel per hari. Untuk itu perlu optimalisasi perolehan dari sumur minyak yang sudah ada, serta percepatan produksi di sumur-sumur minyak yang baru.
2.    Dalam pengelolaan penerimaan migas, Pemerintah perlu melakukan reformasi dan perubahan secara mendasar. Pemerintah harus secara tegas melakukan renegosiasi kontrak karya perusahaan migas yang tidak adil dan merugikan kepentingan bangsa.
3.    Untuk menjamin ketahanan energi dalam jangka panjang, Pemerintah perlu merumuskan strategi dan kebijakan ketahanan energi dan melaksanakannya secara konsisten sebagai dasar pengembangan sumber energi alternatif dan terbarukan.
H.    Tingkat Kemiskinan
1.    Dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8% pada tahun 2014, angka kemiskinan diperkirakan 9,0%10,0%. Target ini kemungkinan tidak akan tercapai tanpa upaya yang sinergi dalam mengatasi akar masalah kemiskinan. Faktor utama penyebabnya adalah perkembangan tenaga kerja tidak terampil di sektor perdesaan tidak bisa berpindah ke sektor nonpertanian akibatnya penguasaan lahan per petani menjadi semakin sempit yang berarti dengan tingkat teknologi tetap, produktivitas per petani menurun, jumlah orang miskin meningkat.
2.    Terkait dengan kemiskinan, perlu reformulasi ukuran kemiskinan, bukan hanya dilihat dari basic needs saja, melainkan secara keseluruhan termasuk dari aspek sosial seperti kesehatan dan pendidikan, termasuk askes dalam mendapatkan pelayanan umum.
3.    Berbagai kebijakan, program dan kegiatan pengurangan kemiskinan yang dilakukan oleh kementerian/lembaga seringkali tidak terkoordinasikan dengan baik sehingga tidak efektif dalam mengatasi kemiskinan struktural di daerah. Upaya pengurangan kemiskinan di beberapa daerah perlu pemahaman terhadap akar masalah kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat.
I.       Tingkat Pengangguran Terbuka
1.    Target penurunan tingkat pengangguran terbuka dalam RAPBN TA 2014 sebesar 5,6%5,9%. Komposisi penyerapan tenaga kerja pada sektor-sektor ekonomi masih tetap didominasi sektor pertanian, walaupun terus mengalami tren penurunan.
2.    Target penurunan pengangguran tahun 2014 akan sulit tercapai karena adanya kemungkinan perlambatan laju pertumbuhan ekonomi. Langkah yang harus dilakukan Pemerintah adalah mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa Bali untuk menciptakan kesempatan kerja baru melaui perbaikan infrastruktur dan peningkatan pelayanan perijinan untuk meningkatkan investasi.
3.    Di beberapa provinsi tingkat penganggurannya masih tergolong tinggi. Diperlukan upaya khusus dari Pemerintah untuk memperluas kesempatan kerja melalui fasilitasi pengembangan kegiatan usaha lokal, disertai kebijakan relokasi tenaga kerja dan modal  antardaerah.
4.    Kebijakan yang terkait dengan upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan memerlukan efisiensi birokrasi yang lebih baik, sehingga dana yang dialokasikan untuk keperluan tersebut lebih efisien dan efektif dalam pelaksanaannya.
J.      Tingkat Kesenjangan
1.    Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu menurunkan tingkat kesenjangan pendapatan. Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan kebijakan yang terukur, nyata dan sistematik untuk mengurangi kesenjangan pendapatan, sehingga optimis tingkat kesenjangan dapat diturunkan menjadi 0,40 dengan prioritas daerah-daerah dengan tingkat kesenjangan tinggi. 
2.    Langkah yang harus dilakukan oleh Pemerintah, selain mendorong percepatan pembangunan daerah-daerah yang relatif tertinggal adalah mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi yang lebih inklusif dan padat karya dengan melibatkan sebesar mungkin penduduk miskin. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi dapat berdampak pada pengurangan kesenjangan antardaerah dan antarkelompok masyarakat.
3.    Untuk mengatasi kesenjangan yang semakin besar, diperlukan kebijakan fiskal yang terarah kepada perhatian yang lebih besar kepada peningkatan kinerja daerah yang tertinggal.

II.        PERTIMBANGAN TERHADAP PENDAPATAN NEGARA TAHUN 2014
1.      Perkembangan realisasi pendapatan negara tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang signifikan, dengan sumber utama pendapatan negara berasal dari penerimaan dalam negeri, baik dari penerimaan perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak.
2.      Pemerintah harus bekerja keras untuk mempertahankan dan meningkatkan penerimaan perpajakan sehingga tax ratio secara bertahap akan meningkat sekurang-kurangnya 15% dari PDB.
3.      Dalam hal penerimaan negara bukan pajak (PNBP), Pemerintah perlu                   (a) mengoptimalkan penerimaan deviden dan pajak dari BUMN, serta optimalisasi penerimaan dari minyak dan gas; (b) mendorong investasi perusahaan minyak dan gas atas dasar kerja sama yang solid dan saling menguntungkan dengan pemerintah daerah; (c) memperbaiki distribusi minyak dan gas antardaerah; dan (d) mendorong kontrak karya pertambangan yang lebih menguntungkan bagi peningkatan PNBP.
4.      Rencana kenaikan tarif dasar listrik akan mendorong kenaikan harga barang dan jasa dan membawa dampak menurunnya daya beli rakyat, terutama rakyat miskin. Pemerintah perlu melakukan perbaikan layanan penyediaan listrik dan mempertimbangkan penerapan tarif dengan tingkat efisiensi yang tinggi dengan kondisi profit.
III.     PERTIMBANGAN TERHADAP BELANJA NEGARA TAHUN 2014
1.    Persentase belanja Pemerintah Pusat cenderung lebih besar dari pada dana transfer ke daerah, tidak sejalan dengan distribusi kewenangan antara pusat dan daerah, yang berarti distribusi belanja negara belum sejalan dengan semangat otonomi daerah. Dengan demikian peningkatan pesentase dana alokasi umum terhadap total APBN menjadi sangat tepat.
2.    Berkaitan dengan alokasi belanja Pemerintah Pusat, kenaikan belanja pelayanan umum harus diimbangi dengan reformasi birokrasi menyeluruh dan berdampak langsung bagi peningkatan pelayanan publik yang lebih optimal.
3.    Alokasi subsidi energi dianggap tidak adil, karena sebagian besar subsidi, baik subsidi BBM maupun subsidi listrik dinikmati oleh kelompok penduduk berpendapatan menengah ke atas, kebijakan Pemerintah mengurangi subsidi sudah tepat, dan dananya dialihkan secara bertahap mendukung percepatan pembangunan infrastruktur di daerah.
4.    Peran Pemerintah dalam mendukung pembangunan pertanian, kelautan, dan perikanan selama ini masih belum optimal dalam memajukan pertanian, kelautan, dan perikanan. Pemerintah perlu lebih fokus mendukung penyediaan subsidi yang tepat sasaran dan langkah-langkah afirmatif untuk melindungi dan sekaligus mengembangkan pertanian, perikanan, dan kelautan; 
5.    Dalam upaya mempercepat pembangunan daerah dan mendorong pemerataan pembangunan antardaerah, format RAPBN perlu diubah sehingga mencerminkan pola alokasi dana menurut kementerian/lembaga dan pola alokasi dana menurut wilayah.
6.    Kebijakan fiskal harus tetap mempertahankan prioritas belanja modal untuk pembangunan infrastruktur di berbagai daerah dan mempertahankan prioritas belanja untuk peningkatan pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.

IV.     PERTIMBANGAN TERHADAP KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TAHUN 2014
1.      Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui anggaran transfer ke daerah merupakan salah satu instrumen fiskal yang harus dikelola secara optimal untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat, peningkatan produktivitas dan penguatan daya saing daerah, percepatan pembangunan daerah serta untuk mendorong pemerataan pembangunan di seluruh wilayah.
2.      Rasio dana transfer daerah terhadap APBN cenderung tidak tetap, bahkan menurun, yang seharusnya lebih besar dari kenaikan belanja kementerian/lembaga. Hal itu sejalan dengan semangat otonomi daerah. Mengingat dampak terbesar dari perlambatan pertumbuhan ekonomi dan menurunnya kegiatan ekonomi adalah rakyat yang tinggal di daerah. DPD RI menganggap penting untuk mengalihkan penambahan belanja kementerian/lembaga menjadi penambahan dana transfer ke daerah.
3.      Berkaitan dengan dana transfer ke daerah, berbagai kebijakan yang ditempuh Pemerintah dalam pengelolaan dana transfer ke daerah masih belum optimal dalam memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan dana transfer ke daerah adalah (1) terlambatnya penerbitan petunjuk teknis;         (2) kurang tertatanya manajemen pengelolaan DAK; (3) terlambatnya penerbitan pedoman dan petunjuk teknis; dan (4) kurang efektifnya penggunaan DAK sebagai akumulasi permasalahan sebelumnya.
4.      Penataan pengelolaan dana transfer ke daerah perlu diperbaiki sehingga mempunyai dampak nyata dan terukur bagi pengurangan kesenjangan fiskal; peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah; peningkatan daya saing daerah; perluasan kesempatan kerja; pengurangan kemiskinan; peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan daerah; dan peningkatan penerapan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.

V.     PERTIMBANGAN TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN INVESTASI
1.      Investasi langsung dari luar negeri yang masuk ke Indonesia termasuk ke daerah sangat rendah secara umum disebabkan oleh  lingkungan bisnis yang tidak kondusif. Faktor utama penyebab permasalahannya meliputi, tapi tidak terbatas kepada:
a.       birokrasi Pemerintah yang tidak efisien;
b.      penyediaan infrastruktur tidak memadai;
c.       kebijakan yang tidak stabil;
d.      akses pembiayaan;
e.       tenaga kerja yang tidak cukup terdidik;
f.       etika kerja yang rendah;
g.       Pemerintahan yang berubah-ubah; dan
h.      tingkat pajak dan retribusi yang tidak tepat.
2.         Hambatan khusus bagi investor dalam negeri adalah lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah serta rumitnya proses persetujuan dan pelaksanaan investasi di daerah, termasuk diantaranya (a) lambatnya prosedur dan proses untuk memulai usaha, terutama menyangkut lambatnya pemberian izin usaha, tingginya biaya perizinan, dan lemahnya dukungan permodalan; (b) rumitnya urusan di bidang ketenagakerjaan, terutama menyangkut kontrak-kerja, upah minimum, jam kerja, dan jaminan pemutusan hubungan kerja; dan (c) tidak jelasnya prosedur dan proses di bidang perpajakan, termasuk jumlah jenis pajak dan proses pembayaran pajak.
3.         Investasi swasta masih terpusat di Jawa--terutama di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten--dan beberapa provinsi, Hal itu disebabkan oleh ketimpangan dalam penyediaan infrastruktur publik sebagai pendukung utama investasi swasta. DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu mengembangkan prioritas wilayah sebagai lokasi investasi swasta dengan membangun infrastruktur dan memberikan berbagai insentif fiskal bagi investasi di wilayah luar Jawa.
4.         Masalah khusus bagi pelaku usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi tidak hanya memerlukan stimulan dana bergulir, tetapi juga memerlukan peningkatan kapasitas, penguasaan teknologi produksi dan pengolahan, serta perluasan jaringan pemasaran.
5.         Umumnya industri tertentu membutuhkan pasokan tenaga listrik dan air bersih yang cukup besar. Kenyataannya banyak daerah tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam hal ini, PT PLN dan PDAM diharapkan dapat mendukung penyediaan listrik dan air bersih di seluruh wilayah.

VI.   PENUTUP
1.      Selama kurun waktu tahun 2010—2013, pertumbuhan ekonomi daerah amat bervariasi. Pertumbuhan ekonomi rata-rata selama 2010—2013 dari daerah-daerah kaya sumber daya alam amat rendah, jauh di bawah rata-rata nasional, seperti Riau (3,32%), Kalimantan Timur (2,44%), Nusa Tenggara Barat (1,75%), dan Papua (1,41%). Sementara itu, angka inflasinya dalam kurun waktu 2010—2013 jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonominya. Kenyataan ini harus menjadi perhatian dalam upaya penetapan kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal yang ditetapkan selama itu belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran serta kesenjangan antardaerah yang diakibatkan inflasi yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang rendah di daerah kaya sumber daya alam. Penyempurnaan kebijakan fiskal untuk tahun 2014 menjadi sangat penting untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan antardaerah.
2.      Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui anggaran transfer ke daerah merupakan salah satu instrumen fiskal yang harus dikelola secara optimal untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat, peningkatan produktivitas dan penguatan daya saing daerah, percepatan pembangunan daerah serta untuk mendorong pemerataan pembangunan di seluruh wilayah.
3.      Rasio dana transfer daerah terhadap APBN cenderung tidak tetap, bahkan menurun, yang seharusnya lebih besar dari kenaikan belanja kementerian/lembaga. Hal itu tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah, sehingga perlu upaya untuk mengalihkan penambahan belanja kementerian/lembaga menjadi penambahan dana transfer ke daerah.
4.      Investasi langsung dari luar negeri yang masuk ke Indonesia termasuk ke daerah sangat rendah secara umum disebabkan oleh  lingkungan bisnis yang tidak kondusif, dimana penyebab permasalahannya terutama karena birokrasi Pemerintah yang tidak efisien. Hal ini hampir sama dengan investor dalam negeri yakni lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah serta rumitnya proses persetujuan dan pelaksanaan investasi di daerah.
5.      Kesenjangan pembangunan antardaerah dan ketertinggalan daerah tertentu yang terjadi sampai saat ini harus secara bertahap diatasi dan dikurangi dengan berbagai langkah yang terencana, sistematis, konsisten, dan berkesinambungan.
6.      Pertimbangan DPD RI terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal serta Dana Transfer Daerah dalam RAPBN TA 2014 perlu menjadi perhatian Pemerintah dalam menyusun RAPBN TA 2014 sehingga memberikan stimulus bagi percepatan pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan daya saing daerah dan sekaligus daya saing nasional.
7.      Menjadi sebuah tantangan baru bagi Pemerintah karena DPD RI mengusulkan tambahan format APBN yang selama ini sudah disepakati. Format tambahan APBN adalah dengan menampilkan anggaran berdasarkan wilayah provinsi dan dengan target yang direncanakan dicapai untuk setiap tahunnya.
8.      Perlu evaluasi dalam bentuk kajian sejauh mana implementasi Pertimbangan DPD RI terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal serta Dana Transfer Daerah dalam RAPBN TA 2013.

Jakarta, 8 Juli 2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
PIMPINAN