SDF

Ir. SARAH LERY MBOEIK - ANGGOTA DPD RI ASAL NTT - KOMITE 4, PANITIA PERANCANG UNDANG UNDANG(PPUU), PANITIA AKUNTABILITAS PUBLIK DPD RI TIMEX | POS KUPANG | KURSOR | NTT ON LINE | MEDIA INDONESIA | SUARA PEMBARUAN | KOMPAS | KORAN SINDO | BOLA | METRO TV | TV ON LINE | HUMOR
Sarah Lery Mboeik Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch
widgeo.net

Minggu, 27 Juni 2010

Inventarisasi Temuan Pemeriksaan BPK Tahun 2009 Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2008

Inventarisasi Temuan Pemeriksaan BPK Tahun 2009
Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2008


Pada Semester II Tahun 2009 BPK telah memeriksa Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2008 pada 189 pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota. Dengan demikian, dalam Tahun 2009 BPK telah menyelesaikan laporan hasil pemeriksaan atas 482 LKPD Tahun 2008 dari 484 pemerintah daerah yang wajib menyusun laporan keuangan Tahun 2008. BPK belum melakukan pemeriksaan atas dua LKPD yaitu Kabupaten Kepulauan Aru dan Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku. Kabupaten Kepulauan Aru telah menyerahkan laporan keuangan pada 19 November 2009 namun belum dilakukan pemeriksaan karena kondisi alam yang belum memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan di Kabupaten Kepulauan Aru. Kabupaten Seram Bagian Timur sampai akhir Tahun 2009 belum menyerahkan laporan keuangan Tahun 2008 kepada BPK.

Hasil Pemeriksaan
Hasil pemeriksaan keuangan atas LKPD disajikan dalam tiga kategori yaitu (a) opini, (b) sistem pengendalian intern (SPI), dan (c) kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan.

1. Opini
Terhadap 189 LKPD Tahun 2008, BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas 4 entitas, opini wajar dengan pengecualian (WDP) atas 107 entitas, opini tidak wajar (TW) atas 11 entitas, dan opini tidak memberikan pendapat (TMP) atas 67 entitas.
Dari grafik diketahui bahwa opini LKPD Tahun 2008 yang dalam persentase, menunjukkan :
• kenaikan dalam opini WTP dibandingkan opini LKPD Tahun 2007 maupun opini LKPD Tahun 2006 sekitar 2%;
• kenaikan dalam opini WDP dibandingkan opini LKPD Tahun 2007 sekitar 7%, dan terdapat penurunan sekitar 3% dibanding opini LKPD Tahun 2006;
• penurunan dalam opini TW dibandingkan opini LKPD Tahun 2007 sekitar 7% dan tidak terdapat peningkatan maupun penurunan dibandingkan opini LKPD Tahun 2006; dan
• penurunan dalam opini TMP dibandingkan opini LKPD 2007 sekitar 2% dan terdapat peningkatan 1% dibandingkan opini LKPD Tahun 2006.

Hal ini secara umum menggambarkan adanya perbaikan yang dicapai oleh entitas pemerintahan daerah dalam menyajikan suatu laporan keuangan yang wajar. Selanjutnya, penyajian suatu laporan keuangan yang wajar merupakan gambaran dan hasil dari pengelolaan keuangan yang lebih baik.

2. Hasil Evaluasi SPI
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa LKPD yang memperoleh opini WTP dan WDP pada umumnya pengendalian intern telah memadai. Sedangkan LKPD yang memperoleh opini TMP dan TW memerlukan perbaikan pengendalian intern dalam hal keandalan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.
Hasil evaluasi SPI menunjukkan kasus-kasus kelemahan SPI yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
• kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan;
• kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja; serta
• kelemahan struktur pengendalian intern.
Hasil evaluasi atas 189 LKPD terdapat 1.649 kasus kelemahan SPI yang terdiri dari 825 kasus kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, 522 kasus kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, serta 302 kasus kelemahan struktur pengendalian intern. Rincian jenis temuan pada lampiran 2, rincian temuan berdasarkan pemerintah daerah disajikan dalam lampiran 4.
Sebanyak 825 kasus kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, terdiri atas:
• sebanyak 473 kasus pencatatan tidak/belum dilakukan atau tidak akurat;
• sebanyak 206 kasus proses penyusunan laporan tidak sesuai ketentuan;
• sebanyak 20 kasus entitas terlambat menyampaikan laporan;
• sebanyak 105 kasus sistem informasi akuntansi dan pelaporan tidak memadai;
• sebanyak 17 kasus sistem informasi akuntansi dan pelaporan belum didukung SDM yang memadai; dan
• sebanyak 4 kasus lain-lain kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan.
Penyebab Kelemahan SPI
Kasus-kasus kelemahan SPI pada umumnya terjadi karena pejabat yang bertanggung jawab belum optimal dan kurang cermat dalam melaksanakan tugas. Pejabat yang bertanggung jawab lemah dalam melakukan pengawasan maupun pengendalian kegiatan dan belum sepenuhnya memahami ketentuan. Selain itu, kelemahan SPI terjadi karena belum adanya koordinasi antara pihak-pihak terkait.

Rekomendasi atas Kelemahan SPI
Atas kasus-kasus kelemahan SPI, BPK telah merekomendasikan antara lain kepada kepala daerah agar memberi sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada pejabat yang bertanggung jawab, meningkatkan pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan kegiatan serta meningkatkan koordinasi dengan pihak terkait. Selain itu, BPK juga merekomendasikan kepada pejabat yang bertanggung jawab agar melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai ketentuan yang berlaku.

3. Kepatuhan Terhadap Ketentuan Perundang-Undangan
Selain opini dan temuan-temuan SPI, hasil pemeriksaan atas 189 LKPD Tahun 2008 juga menemukan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan sebanyak 2.983 kasus senilai Rp2,89 triliun sebagaimana disajikan dalam tabel 7. Rincian jenis temuan pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada lampiran 3 dan rincian temuan berdasarkan pemerintah daerah disajikan dalam lampiran 4.

Tabel 7: Kelompok Temuan Pemeriksaan
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2008

No Kelompok Temuan Jumlah Kasus Nilai
(juta Rp)
Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Perundang-Undangan
yang Mengakibatkan:
1. Kerugian Daerah 870 677.244,63
2. Potensi Kerugian Daerah 233 911.911,20
3. Kekurangan Penerimaan 572 806.111,04
4. Administrasi 981 -
5. Ketidakhematan/Pemborosan 121 86.217,85
6. Ketidakefektifan 206 409.753,39
Jumlah 2.983 2.891.238,11

Berdasarkan tabel di atas, temuan atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian daerah, potensi kerugian daerah, kekurangan penerimaan, administrasi, ketidakhematan/pemborosan, dan ketidakefektifan.
Masing-masing kelompok temuan beserta contohnya diuraikan sebagai berikut.
a. Kerugian Daerah
Pada umumnya kasus-kasus kerugian daerah yaitu belanja atau pengadaan barang/jasa fiktif, rekanan pengadaan barang/jasa tidak menyelesaikan pekerjaan, kekurangan volume pekerjaan, kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan, pemahalan harga (mark up), penggunaan uang/barang untuk kepentingan pribadi, pembayaran honorarium dan/atau perjalanan dinas ganda, spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak dan pembebanan biaya tidak sesuai atau melebihi ketentuan.
Kasus kerugian daerah lain yang sering terjadi yaitu adanya pengembalian pinjaman/piutang atau dana bergulir macet dan penjualan/pertukaran aset daerah tidak sesuai ketentuan dan merugikan daerah.
Hasil pemeriksaan atas LKPD menunjukkan adanya kerugian daerah sebanyak 870 kasus senilai Rp677,24 miliar terdiri dari:
• sebanyak 97 kasus belanja atau pengadaan barang/jasa fiktif senilai Rp93,10 miliar;
• sebanyak 19 kasus rekanan pengadaan barang/jasa tidak menyelesaikan pekerjaan senilai Rp5,38 miliar;
• sebanyak 182 kasus kekurangan volume pekerjaan senilai Rp74,96 miliar;
• sebanyak 96 kasus kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan senilai 19,16 miliar;
• sebanyak 45 kasus pemahalan harga (mark up) senilai Rp12,51 miliar;
• sebanyak 61 kasus penggunaan uang/barang untuk kepentingan pribadi senilai Rp270,34 miliar;
• sebanyak 46 kasus pembayaran honorarium dan/atau biaya perjalanan dinas ganda senilai Rp6,36 miliar;
• sebanyak 31 kasus spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak senilai Rp12,41 miliar;
• sebanyak 262 kasus pembebanan biaya tidak sesuai atau melebihi ketentuan senilai Rp149,37 miliar;
• sebanyak 7 kasus pengembalian pinjaman/piutang atau dana bergulir macet senilai Rp2,06 miliar;
• sebanyak 1 kasus penjualan/pertukaran/penghapusan aset daerah tidak sesuai ketentuan dan merugikan daerah senilai Rp14,65 miliar; dan
• sebanyak 23 kasus lain-lain senilai Rp16,89 miliar diantaranya adanya tuntutan ganti rugi dan tuntutan perbendaharaan.
Kasus-kasus kerugian daerah tersebut diantaranya:
• Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, terjadi pemalsuan warkat deposito Pemerintah Kabupaten Aceh Utara pada PT Bank Mandiri senilai Rp220 miliar sehingga Pemerintah Kabupaten Aceh Utara mengalami kerugian. Dalam perkembangannya kasus tersebut saat ini sedang ditangani Polda Metro Jaya;
• Provinsi Papua Barat, kerugian daerah atas pembagian uang secara tunai kepada pimpinan dan anggota DPRD senilai Rp6,70 miliar yang tidak ada bukti pertanggungjawabannya;
• Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, kerugian daerah atas kekurangan volume pekerjaan senilai Rp5,26 miliar dibandingkan dengan kontrak yang telah disepakati sehingga terjadi kelebihan pembayaran senilai Rp5,26 miliar;
• Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, kerugian daerah atas pembayaran belanja penunjang operasional kepala daerah/wakil kepala daerah yang tidak sesuai ketentuan sehingga terdapat kelebihan pembayaran senilai Rp4,60 miliar;
• Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, realisasi belanja makan dan minum pada sekretariat daerah berindikasi fiktif sehingga merugikan keuangan daerah senilai Rp3,52 miliar; dan
• Kabupaten Siak, Provinsi Riau, pengeluaran belanja perjalanan dinas yang tidak dilaksanakan dan menimbulkan kerugian keuangan daerah senilai Rp2,55 miliar.
Dari 870 kasus kerugian daerah senilai Rp677,24 miliar telah ditindaklanjuti dengan penyetoran uang ke kas daerah atau penyerahan aset sebanyak 61 kasus senilai Rp7,69 miliar, seperti disajikan pada lampiran 4.
Penyebab Kerugian Daerah
Kasus-kasus kerugian daerah pada umumnya terjadi karena pejabat yang bertanggungjawab lalai, tidak cermat dan belum optimal dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab.
Selain itu, kerugian daerah pada umumnya terjadi karena pejabat yang bertanggung jawab tidak menaati dan memahami ketentuan yang berlaku serta lemah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian.
Rekomendasi atas Kerugian Daerah
Atas kasus-kasus kerugian daerah, BPK telah merekomendasikan antara lain kepada kepala daerah agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada pejabat yang bertanggung jawab.
Selain itu, BPK juga telah merekomendasikan kepada kepala daerah agar memerintahkan pejabat yang bertanggung jawab untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian serta entitas yang diperiksa mempertanggung jawabkan kasus kerugian daerah dengan menyetor ke kas daerah.
b. Potensi Kerugian Daerah
Potensi kerugian daerah adalah suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian di masa yang akan datang berupa berkurangnya uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya.
Pada umumnya kasus potensi kerugian daerah yaitu adanya hasil pengadaan barang/jasa tidak sesuai atau kurang dari kontrak namun pembayaran pekerjaan belum dilakukan sebagian atau seluruhnya, rekanan belum melaksanakan kewajiban pemeliharan barang hasil pengadaan yang telah rusak selama masa pemeliharaan, dan terdapat aset dikuasai pihak lain.
Selain itu, kasus pembelian aset yang berstatus sengketa, aset tetap tidak diketahui keberadaannya; pemberian jaminan pelaksanaan dalam pelaksanaan pekerjaan, pemanfaatan barang dan pemberian fasilitas tidak sesuai ketentuan; pihak ketiga belum melaksanakan kewajiban untuk menyerahkan aset kepada daerah; piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi tidak tertagih; dan penghapusan piutang tidak sesuai ketentuan.
Hasil pemeriksaan atas LKPD menunjukkan adanya potensi kerugian daerah sebanyak 233 kasus senilai Rp911,91 miliar yang terdiri dari:
• sebanyak 11 kasus hasil pengadaan barang/jasa tidak sesuai atau kurang dari kontrak namun pembayaran pekerjaan belum dilakukan sebagian atau seluruhnya senilai Rp12,94 miliar;
• sebanyak 9 kasus rekanan belum melaksanakan kewajiban pemeliharaan barang hasil pengadaan yang telah rusak selama masa pemeliharaan senilai Rp1,27 miliar;
• sebanyak 30 kasus aset dikuasai pihak lain senilai Rp220,06 miliar;
• sebanyak 3 kasus pembelian aset yang berstatus sengketa senilai Rp2,17 miliar;
• sebanyak 7 kasus aset tetap tidak diketahui keberadaannya senilai Rp12,82 miliar;
• sebanyak 6 kasus pemberian jaminan pelaksanaan dalam pelaksanaan pekerjaan, pemanfaatan barang dan pemberian fasilitas tidak sesuai ketentuan senilai Rp5,52 miliar;
• sebanyak 15 kasus pihak ketiga belum melaksanakan kewajiban untuk menyerahkan aset kepada daerah senilai Rp39,11 miliar;
• sebanyak 68 kasus piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi tidak tertagih senilai Rp193,39 miliar; dan
• sebanyak 84 kasus lain-lain senilai Rp424,58 miliar diantaranya pertanggungjawaban belum lengkap dan sah dan entitas disarankan untuk mempertanggungjawabkan pengeluaran dan apabila tidak dapat mempertanggungjawabkan agar menyetor ke kas daerah.
Kasus-kasus potensi kerugian daerah tersebut diantaranya:
• Kabupaten Waropen, Provinsi Papua, pengeluaran uang daerah senilai Rp104,85 miliar tidak melalui mekanisme APBD yaitu tanpa melalui prosedur penerbitan surat perintah membayar yang sah dan tidak diketahui penggunaannya. Hal tersebut mengakibatkan pengeluaran keuangan daerah senilai Rp104,85 miliar berpotensi merugikan daerah;
• Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan pada Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) kurang memadai, yaitu BPKD tidak menyampaikan dokumen pertanggungjawaban keuangan kepada BPK RI dan laporan pertanggung jawaban bendahara pengeluaran BPKD tidak diverifikasi oleh Pejabat Penatausahaan Keuangan dan tidak disahkan oleh pengguna anggaran, mengakibatkan realisasi belanja senilai Rp70,45 miliar tidak dapat diyakini kewajarannya;
• Provinsi Maluku, potensi kerugian daerah atas penggunaan belanja tak terduga senilai Rp16,15 miliar yang tidak didukung bukti -bukti pertanggungjawaban sehingga pengeluaran tersebut tidak dapat diyakini kewajarannya;
• Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku, realisasi tambahan penghasilan untuk kesejahteraan PNS dan tambahan penghasilan aparat pengawas daerah (TPAPD) senilai Rp12,70 miliar tidak dapat dipertang-gungjawabkan kewajaran dan kebenarannya sehingga berpotensi merugikan keuangan daerah;
• Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, kas bon senilai Rp8,50 miliar yang berpeluang disalahgunakan sehingga berpotensi merugikan keuangan daerah; dan
• Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tunggakan kredit penguatan modal usaha kecil dan rumah tangga, kredit pemberdayaan ekonomi rakyat senilai Rp7,49 miliar yang berpotensi menimbulkan kerugian daerah apabil tunggakan tersebut tidak dapat ditagih.

Dari 233 kasus potensi kerugian daerah senilai Rp911,91 miliar telah ditindaklanjuti dengan penyetoran uang ke kas daerah atau penyerahan aset sebanyak satu kasus senilai Rp6,19 miliar pada Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau seperti disajikan pada lampiran 4.
Penyebab Potensi Kerugian Daerah
Kasus-kasus potensi kerugian daerah pada umumnya terjadi karena pejabat yang bertanggung jawab lalai, tidak cermat dan belum optimal dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab.
Selain itu, potensi kerugian daerah pada umumnya terjadi karena pejabat yang bertanggung jawab tidak menaati dan memahami ketentuan yang berlaku serta lemah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian.
Rekomendasi atas Potensi Kerugian Daerah
Atas kasus-kasus potensi kerugian daerah, BPK antara lain telah merekomendasikan kepada kepala daerah agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada pejabat yang bertanggungjawab.
Selain itu, BPK juga telah merekomendasikan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab agar mengupayakan penagihan dan mempertanggung jawabkan kasus potensi kerugian daerah dan bila tidak dapat mempertanggung jawabkan agar menyetor ke kas daerah atau melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kerugian daerah.






Bab II

Inventarisasi Temuan Pemeriksaan BPK Tahun 2009
Atas
Pendapatan Daerah

Pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas pendapatan pada pemerintah daerah meliputi 36 entitas pemerintah provinsi/kabupaten/kota dengan cakupan pemeriksaan senilai Rp22,39 triliun dengan total temuan senilai Rp349,20 miliar atau 1,55% dari cakupan pemeriksaan.

Hasil Pemeriksaan
Sesuai dengan tujuan pemeriksaannya, hasil pemeriksaan disajikan dalam dua kategori yaitu sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Hasil pemeriksaan BPK dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan dan dinyatakan dalam sejumlah temuan. Setiap temuan dapat terdiri dari satu atau lebih kasus. Oleh karena itu, di dalam IHPS ini digunakan istilah kasus yang merupakan bagian dari temuan.

Kepatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan
Hasil pemeriksaan atas 36 entitas pemerintah daerah menunjukkan adanya 318 kasus ketidakpatuhan senilai Rp349,20 miliar yang meliputi ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian daerah, potensi kerugian daerah, kekurangan penerimaan daerah, administrasi, dan ketidakefektifan. Jumlah dan nilai masing-masing kelompok temuan disajikan dalam tabel 13.

Tabel 13: Kelompok Temuan Pemeriksaan atas Pendapatan Daerah

No Kelompok Temuan Jumlah Kasus Nilai
(juta Rp)
Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan yang Mengakibatkan
1 Kerugian Daerah 7 3.149,35
2 Potensi Daerah 11 9.786,61
3 Kekurangan Penerimaan Daerah 247 327.480,90
4 Administrasi 40 -
5 Ketidakefektifan 138 792,66
Jumlah 318 349.209,52

Berdasarkan tabel di atas, hasil pemeriksaan mengungkapkan 318 kasus senilai Rp349,20 miliar sebagai akibat adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang ditemukan dari hasil pemeriksaan atas pendapatan negara pada 36 entitas. Rincian per jenis temuan dapat dilihat pada lampiran 12 dan rincian per entitas dapat dilihat pada lampiran 13.

1. Kerugian Daerah
Kerugian daerah adalah berkurangnya kekayaan daerah berupa uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian daerah pada umumnya meliputi penggunaan uang/barang untuk kepentingan pribadi, dan pengembalian pinjaman/piutang atau dana bergulir macet.
Hasil pemeriksaan atas pendapatan daerah pada 36 entitas pemerintah daerah menunjukan bahwa terdapat 7 kasus ketidakpatuhan yang merugikan daerah senilai Rp3,14 miliar yang terdiri dari:
• sebanyak 3 kasus penggunaan uang/barang untuk kepentingan pribadi senilai Rp60,83 juta;
• sebanyak 1 kasus pengembalian pinjaman/piutang atau dana bergulir macet senilai Rp434,89 juta; dan
• sebanyak 3 kasus lain-lain kerugian daerah senilai Rp2,65 miliar, yaitu surat setoran pajak (SSP) yang dipalsukan.
Kasus-kasus tersebut diantaranya adalah :
• Provinsi Banten, enam Bendahara Pengeluaran SKPD memalsukan SSP atas pajak yang dipungut/dipotong dari realisasi belanja daerah senilai Rp1,20 miliar;
• Kota Tangerang, Provinsi Banten, Bendahara Pengeluaran Sekretariat Daerah memalsukan SSP senilai Rp825,27 juta; dan
• Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, penerimaan atas retribusi pemakaian kekayaan daerah dari kewajiban kelompok tani senilai Rp434,88 juta tidak optimal.
Sebagian dari kasus kerugian daerah telah ditindaklanjuti dengan penyetoran uang ke kas daerah senilai Rp2,10 miliar, yaitu Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur telah menindaklanjuti kasus kerugian daerah senilai Rp5,20 juta, dan Provinsi Banten senilai Rp2,09 miliar.

Penyebab Kerugian Daerah
Kasus-kasus tersebut pada umumnya disebabkan karena para pelaksana lalai dalam menjalankan tugasnya, tidak memperhatikan ketentuan yang berlaku dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, serta kurangnya pengawasan dan pengendalian.


Rekomendasi atas Kerugian Daerah
Atas kasus-kasus ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian daerah, BPK telah merekomendasikan agar entitas yang diperiksa mempertanggung jawabkan dengan cara menyetor sejumlah uang melalui kas daerah dan memberikan sanksi kepada para pelaksana yang lalai dalam menjalankan tugasnya.

2. Potensi Kerugian Daerah
Potensi kerugian daerah adalah adanya suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian di masa yang akan datang berupa berkurangnya uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya.
Ketidakpatuhan yang mengakibatkan potensi kerugian daerah pada umumnya meliputi aset dikuasai pihak lain dan piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi tidak tertagih.
Hasil pemeriksaan menunjukan adanya 11 kasus yang berpotensi merugikan daerah senilai Rp9,78 miliar yang terdiri dari:
• sebanyak 1 kasus aset dikuasai pihak lain; dan
• sebanyak 10 kasus piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi tidak tertagih senilai Rp9,78 miliar.
Kasus-kasus tersebut diantaranya adalah :
• Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, penagihan piutang pajak dan piutang retribusi tidak optimal sehingga piutang per 30 Juni 2009 senilai Rp2,40 miliar berpotensi tidak tertagih termasuk denda atas tunggakan pajak senilai Rp1,21 juta;
• Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, piutang pajak penerangan jalan non PLN senilai Rp1,52 miliar dari PT PSP tidak diakui, sehingga sulit untuk ditagih; dan
• Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, tunggakan retribusi kebersihan/persampahan minimal senilai Rp1,42 miliar.

Penyebab Potensi Kerugian Daerah
Kasus-kasus tersebut pada umumnya disebabkan karena tidak ada pengawasan yang memadai mengenai pengelolaan aset dan para pelaksana belum optimal dalam melaksanakan tugasnya melakukan penagihan pajak dan retribusi daerah, kurangnya kesadaran dari para wajib pajak dan retribusi melaksanakan kewajibannya melunasi pajak dan retribusi secara tepat waktu.



Rekomendasi atas Potensi Kerugian Daerah
Atas kasus-kasus tersebut, BPK telah merekomendasikan agar memberi teguran kepada pelaksana yang lalai dalam melakukan pengawasan aset dan meningkatkan pengawasan dan pengendalian aset, mengintensifkan penagihan pajak dan retribusi daerah tepat waktu, meningkatkan sosialisasi kepada wajib pajak dan retribusi untuk memenuhi kewajibannya.

3. Kekurangan Penerimaan Daerah
Kekurangan penerimaan daerah adalah adanya penerimaan yang sudah menjadi hak daerah tetapi tidak atau belum masuk ke kas daerah karena adanya unsur ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan.
Ketidakpatuhan yang mengakibatkan kekurangan penerimaan daerah meliputi penerimaan daerah atau denda keterlambatan pekerjaan belum/tidak ditetapkan/dipungut/diterima/disetor ke kas daerah, penggunaan langsung penerimaan daerah, dan penerimaan daerah diterima oleh instansi yang tidak berhak, pengenaan tarif pajak/PNBP lebih rendah dari ketentuan.
Hasil pemeriksaan menunjukan terdapat 247 kasus kekurangan penerimaan daerah senilai Rp327,48 miliar yang terdiri dari:
• sebanyak 209 kasus penerimaan daerah atau denda keterlambatan pekerjaan belum/tidak ditetapkan/dipungut/diterima/disetor ke kas daerah senilai Rp316,13 miliar;
• sebanyak 18 kasus penggunaan langsung penerimaan daerah senilai Rp5,29 miliar;
• sebanyak 1 kasus penerimaan daerah diterima oleh instansi yang tidak berhak senilai Rp33,09 juta;
• sebanyak 17 kasus pengenaan tarif pajak/PNBP lebih rendah dari ketentuan senilai Rp5,98 miliar; dan
• sebanyak 2 kasus lain-lain kekurangan penerimaan daerah senilai Rp34,93 juta, yaitu tunggakan retribusi surat ijin usaha jasa konstruksi.
Kasus-kasus tersebut diantaranya adalah :
• Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, pendapatan atas bagian keuntungan PDAM Tirta Musi senilai Rp5,00 miliar belum diterima;
• Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur, pajak hotel TA 2008 dan 2009 (s.d Agustus) kurang ditetapkan dan kurang diterima senilai Rp1,92 miliar; dan
• Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, retribusi Taman Wisata Wendit digunakan langsung senilai Rp880,06 juta.
• Kota Jambi, Provinsi Jambi, tunggakan pendaftaran ulang atas retribusi izin praktek dokter, bidan, ahli gizi, pengobatan tradisional, apoteker, dan asisten apoteker dan denda tunggakan penerimaan tersebut belum diterima senilai Rp758,81 juta;
Sebagian kasus kekurangan penerimaan daerah telah ditindaklanjuti dengan penyetoran uang ke kas daerah senilai Rp20,12 miliar.

Penyebab Kekurangan Penerimaan Daerah
Kasus-kasus tersebut pada umumnya disebabkan Kepala Bidang Pendataan dan Penyuluhan Dinas Pendapatan Daerah tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan perundangan, dan kesengajaan pihak wajib pajak yang tidak menyampaikan data pajak yang sebenarnya .

Rekomendasi atas Kekurangan Penerimaan Daerah
Atas kasus-kasus tersebut, BPK telah merekomendasikan kepada entitas yang diperiksa agar membina bawahannya lebih intensif, serta lebih aktif memberikan penyuluhan pajak kepada para wajib pajak dan menindak tegas wajib pajak yang tidak jujur dalam melakukan kewajibannya.























Bab III

Inventarisasi Temuan Pemeriksaan BPK Tahun 2009
Atas
Belanja Daerah

Pada Semester II Tahun 2009, BPK memeriksa belanja atau pengadaan barang/jasa pemerintah daerah. Pemeriksaan tersebut meliputi pengadaan barang dan jasa pemerintah daerah (belanja daerah) dan belanja dalam rangka pemilihan kepala daerah (pilkada). Pemeriksaan dilakukan pada 128 entitas pemerintahan provinsi/kabupaten/kota, yaitu pemeriksaan atas pengadaan barang dan jasa pada 127 entitas dan pemeriksaan atas belanja dalam rangka pilkada pada satu entitas.
Cakupan pemeriksaan belanja daerah pada 128 entitas adalah senilai Rp22,49 triliun dari realisasi anggaran senilai Rp45,93 triliun. Sedangkan temuan pemeriksaan senilai Rp858,87 miliar atau 3,81% dari cakupan pemeriksaan.

Kepatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan
Hasil pemeriksaan atas 128 entitas pemerintah daerah menunjukkan adanya 1.702 kasus ketidakpatuhan senilai Rp858,87 miliar yang meliputi ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian daerah, potensi kerugian daerah, kekurangan penerimaan daerah, administrasi, ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan seperti disajikan pada tabel 16. Rincian per jenis temuan disajikan pada lampiran 21 dan rincian menurut entitas disajikan pada lampiran 22.

Tabel 16. Kelompok Temuan Pemeriksaan atas Belanja Daerah
No Kelompok Temuan Jumlah Kasus Nilai
(juta Rp)
Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan yang Mengakibatkan
1 Kerugian Daerah 801 273.385,10
2 Potensi Daerah 230 194.476,59
3 Kekurangan Penerimaan Daerah 279 52.312,35
4 Administrasi 222 -
5 Ketidakhematan 87 45.685,02
6 Ketidakefisienan 1 2.150,00
7 Ketidakefektifan 82 290.862,88
Jumlah 1.702 858.871,94

1. Kerugian Daerah
Kerugian daerah adalah berkurangnya kekayaan daerah berupa uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian daerah pada umumnya meliputi belanja atau pengadaan barang/jasa fiktif, rekanan pengadaan barang/jasa tidak menyelesaikan pekerjaan, kekurangan volume pekerjaan, kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan, pemahalan harga (mark up), dan penggunaan uang/barang untuk kepentingan pribadi.
Selain itu juga meliputi pembayaran honorarium dan/atau biaya perjalanan dinas ganda, spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak, dan pembebanan biaya tidak sesuai atau melebihi ketentuan.
Hasil pemeriksaan atas belanja daerah menunjukkan terdapat 801 kasus ketidakpatuhan yang merugikan daerah senilai Rp273,38 miliar yang terdiri dari:
• sebanyak 28 kasus belanja atau pengadaan barang/jasa fiktif senilai Rp8,40 miliar;
• sebanyak 18 kasus rekanan tidak menyelesaikan pekerjaan senilai Rp7,98 miliar;
• sebanyak 346 kasus kekurangan volume pekerjaan senilai Rp82,28 miliar;
• sebanyak 179 kasus kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan senilai Rp41,34 miliar;
• sebanyak 72 kasus pemahalan harga (mark up) senilai Rp10,03 miliar;
• sebanyak 23 kasus penggunaan uang/barang untuk kepentingan pribadi senilai Rp55,07 miliar;
• sebanyak 7 kasus pembayaran honorarium dan/atau biaya perjalanan dinas ganda senilai Rp631,16 juta;
• sebanyak 48 kasus spefikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak senilai Rp18,23 miliar;
• sebanyak 72 kasus pembebanan biaya tidak sesuai atau melebihi ketentuan senilai Rp47,18 miliar; dan
• sebanyak 8 kasus lain-lain kerugian daerah senilai Rp2,19 miliar.

Kasus-kasus tersebut diantaranya:
• Kabupaten Waropen, Provinsi Papua, kekurangan volume pada pekerjaan pengaspalan ruas jalan Waren-Urei Faisei senilai Rp7,03 miliar;
• Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur, pelaksanaan pekerjaan peningkatan daya guna Waduk Benanga tidak sesuai kontrak mengakibatkan terjadi kelebihan pembayaran senilai Rp6,99 miliar; dan
• Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur, terdapat kelebihan bayar senilai Rp3,54 miliar atas 23 paket pekerjaan yang telah direalisasi pembayarannya 100%.
Atas kasus-kasus yang mengakibatkan kerugian daerah tersebut, sebanyak 100 kasus senilai Rp12,87 miliar telah ditindaklanjuti pemerintah daerah dengan penyerahan aset atau penyetoran ke kas daerah.


Penyebab Kerugian Daerah
Kasus-kasus tersebut pada umumnya disebabkan karena para pelaksana lalai dalam menjalankan tugasnya, tidak cermat dalam perencanaan, serta kurangnya pengawasan dan pengendalian pelaksanaan proyek.
Rekomendasi atas Kerugian Daerah
Atas kasus-kasus ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian daerah, BPK telah merekomendasikan kepada entitas yang diperiksa agar mempertanggungjawabkan dengan cara menyetor sejumlah uang melalui kas daerah, melengkapi pekerjaan atau menyerahkan aset, dan memberikan sanksi kepada para pelaksana yang lalai dalam menjalankan tugasnya.
2. Potensi Kerugian Daerah
Potensi kerugian daerah adalah adanya suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian di masa yang akan datang berupa berkurangnya uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya.
Ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan potensi kerugian negara pada umumnya meliputi hasil pengadaan barang dan jasa tidak sesuai atau kurang dari kontrak namun pembayaran pekerjaan belum dilakukan sebagian atau seluruhnya, dan rekanan belum melaksanakan kewajiban pemeliharaan barang hasil pengadaan yang telah rusak selama masa pemeliharaan.
Selain itu, potensi kerugian daerah juga meliputi aset dikuasai pihak lain, pembelian aset yang berstatus sengketa, aset tetap tidak diketahui keberadaannya, pemberian jaminan dalam pelaksanaan pekerjaan, pemanfaatan barang dan pemberian fasilitas tidak sesuai ketentuan, pihak ketiga belum melaksanakan kewajiban untuk menyerahkan aset kepada daerah, dan piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi tidak tertagih.
Hasil pemeriksaan menunjukan terdapat 230 kasus yang berpotensi merugikan daerah senilai Rp194,47 miliar yang terdiri dari:
• sebanyak 168 kasus hasil pengadaan barang/jasa tidak sesuai/kurang dari kontrak namun pembayaran belum dilakukan sebagian atau seluruhnya senilai Rp101,73 miliar;
• sebanyak 9 kasus rekanan belum melaksanakan kewajiban pemeliharaan barang dan hasil pengadaan yang telah rusak selama masa pemeliharaan senilai Rp2,96 miliar;
• sebanyak 2 kasus aset dikuasai pihak lain senilai Rp153,03 juta;
• sebanyak 1 kasus pembelian aset yang berstatus sengketa senilai Rp454,06 juta;
• sebanyak 3 kasus aset tetap tidak diketahui keberadaannya senilai Rp1,15 miliar;
• sebanyak 11 kasus pemberian jaminan dalam pelaksanaan pekerjaan, pemanfaatan barang dan pemberian fasilitas tidak sesuai ketentuan senilai Rp2,96 miliar;
• sebanyak 7 kasus pihak ketiga belum melakaksanakan kewajiban untuk menyerahkan aset kepada daerah senilai Rp3,50 miliar;
• sebanyak 2 kasus piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi tidak tertagih senilai 39,97 miliar; dan
• sebanyak 27 kasus potensi kerugian daerah lain-lain senilai Rp41,56 miliar.
Kasus-kasus tersebut diantaranya:
• Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah, pelaksanaan pekerjaan pencetakan sawah tidak sesuai surat perjanjian dan berpotensi merugikan negara Rp7,89 miliar;
• Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, pembayaran uang muka peningkatan Jalan Duri - Sei Pakning B TA 2008 melebihi prestasi pekerjaan kontraktor dan berpotensi merugikan keuangan daerah senilai Rp5,17 miliar; dan
• Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat, barang milik daerah pada empat SKPD senilai Rp5,05 miliar tidak dikuasai pemerintah daerah.
Sebanyak 6 kasus potensi kerugian daerah senilai Rp544,52 juta telah ditindaklanjuti dengan penyetoran ke kas daerah, antara lain Provinsi Jambi, telah menindaklanjuti 1 kasus senilai Rp439,35 juta, Provinsi DKI menindaklanjuti 2 kasus senilai Rp61,97 juta, dan Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat telah menindaklanjuti 3 kasus senilai Rp43,20 juta.
Penyebab Potensi Kerugian Daerah
Kasus-kasus tersebut pada umumnya disebabkan karena kontraktor tidak menyelesaikan pekerjaan sesuai waktu yang direncanakan, para pelaksana lalai dalam menjalankan tugasnya, serta lemahnya pengawasan dan pengendalian pelaksanaan proyek.
Rekomendasi atas Potensi Kerugian Daerah
Atas kasus-kasus tersebut, BPK telah merekomendasikan kepada entitas yang diperiksa agar memberikan sanksi kepada kontraktor sesuai ketentuan, memberi sanksi kepada pelaksana dan mempertanggung jawabkan uang/barang yang berpotensi hilang, serta meningkatkan pengawasan dan pengendalian.










Bab IV
Inventarisasi Temuan BPK Tahun 2009
Atas
Manajemen Aset Daerah


Aset tetap daerah merupakan salah satu faktor yang paling strategis dalam pengelolaan keuangan daerah. Pada umumnya, nilai aset tetap daerah merupakan nilai yang paling besar dibandingkan dengan akun lain pada laporan keuangan. Keberadaan aset tetap sangat memengaruhi kelancaran roda pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu, sistem pengendalian intern atas manajemen/pengelolaan aset tetap daerah harus handal untuk mencegah penyimpangan yang dapat merugikan keuangan daerah.
Pada Semester II Tahun 2009, BPK melakukan pemeriksaan atas manajemen aset atau pengelolaan barang milik daerah (BMD) pada lima entitas, yaitu Provinsi Bengkulu, Kota Bengkulu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Pemeriksaan atas manajemen aset pada pemerintah daerah mencakup aset pemerintah daerah yang dikuasai oleh pengelola barang (Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah) dan pengguna barang (Satuan Kerja Perangkat Daerah), serta pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan aset pemerintah daerah.

Hasil Pemeriksaan
Sesuai dengan tujuan pemeriksaannya, hasil pemeriksaan disajikan dalam dua kategori yaitu sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Hasil pemeriksaan BPK dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan dan dinyatakan dalam sejumlah temuan. Setiap temuan dapat terdiri dari satu atau lebih kasus. Oleh karena itu, di dalam IHPS ini digunakan istilah kasus yang merupakan bagian dari temuan.

Kepatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan
Hasil pemeriksaan atas lima entitas pemerintah daerah menunjukkan adanya 57 kasus ketidakpatuhan senilai Rp30,67 miliar yang meliputi ketidakpatuhan yang mengakibatkan potensi kerugian daerah, kekurangan penerimaan daerah, administrasi, dan ketidakefektifan seperti disajikan pada tabel 17 di bawah ini. Rincian per jenis temuan disajikan pada lampiran 24 dan rincian menurut entitas disajikan pada lampiran 25.




Tabel 17: Kelompok Temuan Pemeriksaan atas Manajemen Aset

No Kelompok Temuan Jumlah Kasus Nilai (juta Rp)
Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan yang Mengakibatkan
1 Potensi Kerugian Daerah 13 12.902,24
2 Kekurangan Penerimaan Daerah 3 406,34
3 Administrasi 34 -
4 Ketidakefektifan 7 17.364,74
Jumlah 57 30.673,32

Potensi Kerugian Daerah
Potensi kerugian daerah adalah adanya suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian di masa yang akan datang berupa berkurangnya uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya.
Ketidakpatuhan yang mengakibatkan potensi kerugian daerah pada umumnya meliputi aset dikuasai pihak lain, pembelian aset yang berstatus sengketa, dan aset tetap tidak diketahui keberadaannya.
Hasil pemeriksaan pada lima entitas pemda menunjukkan terdapat 13 kasus yang berpotensi merugikan daerah senilai Rp12,90 miliar yang terdiri dari:
• sebanyak 7 kasus aset dikuasai pihak lain senilai Rp5,29 miliar;
• sebanyak 1 kasus pembelian aset yang berstatus sengketa senilai Rp249,60 juta; dan
• sebanyak 5 kasus aset tetap tidak diketahui keberadaannya senilai Rp7,35 miliar.
Kasus-kasus tersebut diantaranya adalah:
• Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebanyak 194 unit kendaraan dinas minimal senilai Rp4,50 miliar dan sebanyak 123 unit kendaraan bermotor di Provinsi Bengkulu minimal senilai Rp2,22 miliar tidak diketahui keberadaannya; dan
• Provinsi Nusa Tenggara Timur, pengawasan dan pengendalian aset tetap berupa tanah belum optimal, yaitu terdapat bagian tanah yang dikuasai oleh pihak yang tidak berhak sehingga kepemilikan aset daerah berkurang minimal senilai Rp4,09 miliar.


Penyebab Potensi Kerugian Daerah
Kasus-kasus tersebut pada umumnya disebabkan oleh kurangnya perhatian pengguna/kuasa pengguna barang pada masing-masing SKPD dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian atas barang milik daerah.

Rekomendasi atas Potensi Kerugian Daerah
Atas kasus-kasus tersebut, BPK telah merekomendasikan agar kepala daerah memberikan teguran dan sanksi kepada pengguna barang dan memerintahkan untuk menginventarisasi ulang penggunaan dan keberadaan aset untuk selanjutnya melaporkan kepada kepala daerah melalui pengelola barang daerah.



























Bab V
Inventarisasi Temuan BPK Tahun 2009
Atas
Dana Dekonsentrasi Dan Tugas Pembantuan

Dana dekonsentrasi (DD) merupakan dana yang berasal dari anggaran kementerian yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah, sedangkan dana tugas pembantuan merupakan dana yang berasal dari anggaran kementerian yang dilaksanakan oleh daerah dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan (TP). Pada dasarnya, DDTP merupakan instrumen pendanaan pemerintah pusat yang digunakan untuk mendanai pembangunan di daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintah pusat di daerah.
Penganggaran DDTP dilakukan oleh kementerian sesuai dengan bidang kegiatannya. Pelaksanaan DDTP dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang mendapat alokasi anggaran dari masing-masing kementerian. Tahapan pengelolaan DDTP meliputi: perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan penyaluran, pertanggungjawaban dan pelaporan, serta pengelolaan barang milik negara (BMN).
Anggaran DDTP TA 2007 senilai Rp27,50 triliun dengan realisasi penggunaan senilai Rp25,18 triliun (91,56%), terdiri dari dana dekonsentrasi senilai Rp19,28 triliun dan dana tugas pembantuan senilai Rp5,90 triliun. Pada TA 2008, anggaran DDTP senilai Rp28,09 triliun dengan realisasi penggunaan senilai Rp26,65 triliun (94,87%), yang terdiri dari dana dekonsentrasi senilai Rp21,59 triliun dan dana tugas pembantuan senilai Rp5,06 triliun.
Pada Semester II Tahun 2009, BPK melakukan pemeriksaan atas DDTP. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai apakah kebijakan dan pelaksanaan DDTP terkait:
• penganggaran telah sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan dan ketentuan yang berlaku;
• penggunaan dana telah sesuai dengan rencana semula;
• pertanggungjawaban telah sesuai dengan ketentuan; dan
• pengelolaan aset telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pemeriksaan DDTP dilakukan pada tujuh kementerian yaitu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pekerjaan Umum, sembilan pemerintah provinsi, serta 51 pemerintah kabupaten/kota.

Hasil Pemeriksaan

Kebijakan pemerintah dalam penganggaran DDTP tidak sepenuhnya memperhatikan pembagian urusan pemerintahan. DDTP yang seharusnya digunakan untuk membiayai urusan pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh daerah ternyata justru digunakan untuk membiayai urusan pemerintah daerah. Sementara itu, PP No. 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum sepenuhnya dapat dijadikan acuan dalam penganggaran DDTP.
Hasil pemeriksaan DDTP menunjukkan masih adanya kelemahan-kelemahan kebijakan terkait perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan penyaluran, pertanggungjawaban dan pelaporan, serta pengelolaan barang milik negara hasil DDTP. Rincian temuan hasil pemeriksaan DDTP adalah sebagai berikut:
• belum ada penjabaran lebih lanjut atas PP No. 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya terhadap urusan yang sifatnya concurrent (urusan bersama);
• proses perencanaan dan penganggaran program dan kegiatan DDTP kurang memperhatikan pola pembagian urusan pemerintahan;
• perencanaan penetapan alokasi dan lokasi DDTP belum transparan dan akuntabel;
• belum semua kementerian menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya;
• proses sinkronisasi antara DDTP dengan dana desentralisasi masih menemui kendala;
• kementerian masih melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang sudah jelas merupakan urusan daerah melalui dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, atau dana DIPA Satker Non Vertikal Tertentu (SNVT);
• penggunaan jenis belanja bantuan sosial pada pelaksanaan DDTP tidak sepenuhnya tepat;
• terdapat DDTP yang pelaksanaanya dilimpahkan kepada pemda lainnya;
• keterlambatan penerimaan DIPA oleh SKPD DDTP menimbulkan beberapa permasalahan dalam pelaksanaan program dan kegiatan DDTP;
• terdapat dana pendamping (cost sharing) antara kelembagaan dan pemda dalam pelaksanaan DDTP;
• pelaporan dan pertanggungjawaban DDTP belum dilaksanakan sesuai ketentuan;
• terjadi pengulangan informasi dalam penyusunan laporan pertanggungjawaban atas penggunaan DDTP karena tidak adanya sinkronisasi antar ketentuan yang mengatur pertanggungjawaban DDTP;
• barang milik negara yang bersumber dari DDTP belum sepenuhnya dipertanggungjawabkan oleh SKPD sesuai ketentuan; dan
• barang milik negara yang bersumber dari DDTP di Kementerian Pendidikan Nasional belum sepenuhnya di administrasikan secara tertib.

Penyebab
1. Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dituangkan dalam lampiran PP No. 38 Tahun 2007 implementasinya menimbulkan multi interpretasi, karena pembagian urusan pemerintahan didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang tergantung bagaimana kementerian dan pemda menginterpretasikan kriteria tersebut.
2. Meskipun pembagian urusan sebagaimana dimaksud dalam lampiran PP No. 38 Tahun 2007 belum jelas, terdapat beberapa urusan pemerintahan yang dapat diidentifikasikan secara jelas sebagai urusan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, antara lain bidang pendidikan, bidang pekerjaan umum dan subbidang bina marga, serta bidang pertanian dan ketahanan pangan, namun demikian urusan pemerintahan tersebut masih dilaksanakan oleh pemerintah pusat dengan menggunakan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
3. Belum ada kementerian yang berperan dalam menilai kesesuaian antara program/kegiatan yang dibiayai dari DDTP dengan pola pembagian urusan pemerintahan dan dokumen perencanaan lima tahunan, yaitu rencana strategi (renstra) kementerian dan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) kurang memperhatikan aspek pembagian urusan pemerintahan.

Rekomendasi
Atas permasalahan tersebut, BPK telah merekomendasikan agar pemerintah:
• mengkaji untuk menjabarkan lebih lanjut lampiran PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota, agar dapat dijadikan acuan bagi kementerian dalam merencanakan dan menganggarkan program serta kegiatan yang layak dibiayai dari DDTP;
• melaksanakan pendanaan DDTP sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan secara bertahap mengalihkannya ke dana alokasi khusus (DAK) sebagaimana diatur dalam UU No.33 Tahun 2004 Pasal 108;
• meninjau kembali kebijakan penggunaan jenis belanja bantuan sosial dalam penganggaran program dan kegiatan yang dibiayai dari DDTP;
• meninjau kembali kebijakan dalam pelaporan dan pertanggung jawaban DDTP oleh SKPD, agar tidak terjadi tumpang tindih informasi, penerapannya dapat lebih efektif; dan
• mengambil langkah-langkah kebijakan untuk mempercepat proses penghibahan BMN eks DDTP.








Bab VI
Inventarisasi Temuan BPKTahun 2009
Atas
Pelaksanaan Belanja Bidang Infrastruktur Jalan Dan Jembatan



Pada Semester II Tahun 2009, BPK memeriksa pelaksanaan belanja bidang infrastruktur jalan dan jembatan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota TA 2007, 2008, dan TA 2009 pada Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum, 13 Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT) di lingkungan Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat.
Selain itu, pemeriksaan juga dilakukan di 18 Dinas PU Bina Marga Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua Barat. Pemeriksaan jugadilakukan di 26 Dinas PU Bina Marga kabupaten/kota pada 14 provinsi yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku, dan Papua Barat.
Cakupan pemeriksaan atas pelaksanaan belanja bidang infrastruktur jalan dan jembatan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota pada Ditjen Bina Marga Kementerian PU, 13 SNVT di lingkungan Ditjen Bina Marga, 18 Dinas PU Bina Marga Provinsi, dan 26 Dinas PU Bina Marga kabupaten/kota adalah senilai Rp6,92 triliun dari realisasi belanja modal jalan dan jembatan Rp55,07 triliun atau 12,56%, sedangkan total temuan senilai Rp314,98 miliar atau 4,55% dari cakupan pemeriksaan.

Hasil Pemeriksaan
Sesuai dengan tujuan pemeriksaannya, hasil pemeriksaan disajikan dalam dua kategori yaitu sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Hasil pemeriksaan BPK dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan dan dinyatakan dalam sejumlah temuan. Setiap temuan dapat terdiri dari satu atau lebih kasus. Oleh karena itu, di dalam IHPS ini digunakan istilah kasus yang merupakan bagian dari temuan.

Kepatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan
Ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan terjadi pada kegiatan rancangan dan implementasi SPI atas pelaksanaan belanja bidang infrastruktur jalan dan jembatan nasional, provinsi dan kabupaten/kota TA 2007, 2008 dan TA 2009 pada Ditjen Bina Marga Kementerian PU, 13 SNVT di lingkungan Ditjen Bina Marga, 18 Dinas PU Bina Marga Provinsi, dan 26 Dinas PU Bina Marga kabupaten/kota, ternyata belum mampu secara efektif menjamin pencapaian tujuan dan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan.

Tabel 18: Kelompok Temuan Pemeriksaan atas Pelaksanaan Belanja Bidang Infrastruktur Jalan dan Jembatan

No Kelompok Temuan Jumlah Kasus Nilai (juta Rp)
Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan yang Mengakibatkan
1 Kerugian Negara/Daerah 199 149.065,52
2 Potensi Kerugian Negara/Daerah 65 45.150,69
3 Kekurangan Penerimaan Negara/Daerah 42 25.106,72
4 Administrasi 89 -
5 Ketidakhematan 30 62.916,51
6 Ketidakefektifan 26 32.742,26
Jumlah 451 314.981,70

Berdasarkan tabel di atas, hasil pemeriksaan mengungkapkan 451 kasus senilai Rp314,98 miliar sebagai akibat adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang ditemukan dari hasil pemeriksaan pelaksanaan belanja bidang infrasruktur jalan dan jembatan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota pada Ditjen Bina Marga Kementerian PU, 13 SNVT di lingkungan Ditjen Bina Marga, 8 Dinas PU Bina Marga Provinsi, dan 26 Dinas PU Bina Marga kabupaten/kota. Rincian per jenis temuan dapat dilihat pada lampiran 27 dan rincian per obyek pemeriksaan dapat dilihat pada lampiran 28.

1. Kerugian Negara/Daerah
Kerugian negara/daerah adalah berkurangnya kekayaan negara/daerah berupa uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian negara/daerah pada umumnya meliputi belanja atau pengadaan barang/jasa fiktif, rekanan pengadaan barang/jasa tidak menyelesaikan pekerjaan, kekurangan volume pekerjaan, dan kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan.
Selain itu juga meliputi pemahalan harga (mark up), spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak, dan pembebanan biaya tidak sesuai atau melebihi ketentuan.
Hasil pemeriksaan atas pelaksanaan belanja bidang infrastruktur jalan dan jembatan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota menunjukkan bahwa terdapat ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian negara/daerah sebanyak 199 kasus senilai Rp149,06 miliar yang terdiri dari:
• sebanyak 1 kasus belanja atau pengadaan barang/jasa fiktif senilai Rp52,05 juta;
• sebanyak 6 kasus rekanan pengadaan barang/jasa tidak menyelesaikan pekerjaan senilai Rp4,06 miliar;
• sebanyak 93 kasus kekurangan volume pekerjaan senilai Rp90,47 miliar;
• sebanyak 57 kasus kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjan senilai Rp26,68 miliar;
• sebanyak 4 kasus pemahalan harga (mark up) senilai Rp3,62 miliar;
• sebanyak 20 kasus spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak senilai Rp21,61 miliar;
• sebanyak 16 kasus pembebanan biaya tidak sesuai atau melebihi ketentuan senilai Rp2,28 miliar;
• sebanyak 1 kasus penjualan/pertukaran/penghapusan aset negara/ daerah tidak sesuai ketentuan dan merugikan negara/daerah senilai Rp273,36 juta; dan
• sebanyak 1 kasus lain-lain kerugian negara, yaitu pembangunan Jalan Nanga Danau-Nanga Bunut Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat TA 2008 dan 2009 menggunakan kayu di kawasan hutan samping kanan jalan dengan tidak memiliki izin pemanfaatan kayu (IPK). Berdasarkan modus operandi penyimpangan yang terjadi diduga adanya unsur perbuatan melawan hukum yang nilai kerugiannya belum dapat ditentukan. Oleh karena itu temuan ini dilimpahkan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti.

Kasus-kasus tersebut diantaranya:
• SNVT Pembangunan Jalan dan Jembatan (PJJ) Provinsi Jawa Tengah dan SNVT Preservasi dan Pembangunan Jalan dan Jembatan (PPJJ) Metropolitan Semarang, pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai kontrak sehingga merugikan keuangan negara masing-masing senilai Rp4,43 miliar dan Rp3,87 miliar;
• Provinsi Papua Barat, pelaksanaan pekerjaan pembangunan Jalan Ayawasi-Kebar TA 2008 dan TA 2009 tidak sesuai kontrak dan merugikan keuangan daerah senilai Rp24,72 miliar;
• Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, paket pekerjaan pembangunan jalan dan jembatan berkala TA 2008 dan TA 2009 tidak sesuai kontrak yang berakibat kelebihan pembayaran dan berindikasi melawan hukumyang merugikan keuangan daerah senilai Rp7,58 miliar; dan
• Provinsi Banten, pelaksanaan pekerjaan konstruksi pembangunan jalan TA 2008 dan TA 2009 tidak sesuai kontrak dan merugikan keuangan daerah senilai Rp4,81 miliar.
Sebagian dari kasus-kasus yang merugikan negara/daerah tersebut telah ditindaklanjuti dengan penyetoran ke kas negara senilai Rp11,11 miliar.


Penyebab Kerugian Negara/Daerah
Permasalahan-permasalahan tersebut pada umumnya terjadi karena para pelaksana lalai dan tidak cermat dalam melakukan pengendalian atas kewajaran tagihan, serta lemahnya pengawasan pekerjaan fisik di lapangan.
Rekomendasi atas Kerugian Negara/Daerah
Atas permasalahan-permasalahan tersebut, BPK telah merekomendasikan kepada entitas yang diperiksa agar mempertanggungjawabkan kerugian negara/ daerah dengan menyetorkan ke kas negara/daerah dan bukti setor disampaikan kepada BPK.

2. Potensi Kerugian Negara/Daerah
Potensi kerugian negara/daerah adalah adanya suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian di masa yang akan datang berupa berkurangnya uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya.
Ketidakpatuhan yang mengakibatkan potensi kerugian negara/daerah pada umumnya meliputi hasil pengadaan barang jasa tidak sesuai atau kurang dari kontrak namun pembayaran belum dilakukan sebagian atau seluruhnya, rekanan belum melaksanakan kewajiban pemeliharaan barang hasil pengadaan yang telah rusak selama masa pemeliharaan, pemberian jaminan dalam pelaksanaan pekerjaan, pemanfaatan barang dan pemberian fasilitas tidak sesuai ketentuan.
Hasil pemeriksaan atas pelaksanaan belanja bidang infrastruktur jalan dan jembatan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota menunjukkan bahwa terdapat ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan potensi kerugian negara/daerah sebanyak 65 kasus senilai Rp45,15 miliar terdiri dari:
• sebanyak 53 kasus hasil pengadaan barang jasa tidak sesuai atau kurang dari kontrak namun pembayaran belum dilakukan sebagian atau seluruhnya senilai Rp32,13 miliar;
• sebanyak 4 kasus rekanan belum melaksanakan kewajiban pemeliharaan barang hasil pengadaan yang telah rusak selama masa pemeliharaan senilai Rp6,74 miliar;
• sebanyak 3 kasus pemberian jaminan dalam pelaksanaan pekerjaan, pemanfaatan barang dan pemberian fasilitas tidak sesuai ketentuan senilai Rp5,30 miliar; dan
• sebanyak 5 kasus lain-lain potensi kerugian negara/daerah senilai Rp963,10 juta.
Kasus-kasus tersebut diantaranya:
• pelaksanaan pekerjaan pada SNVT PJJ Provinsi Jawa Tengah tidak sesuai kontrak sehingga berpotensi merugikan keuangan negara senilai Rp2,67 miliar;
• Provinsi Sumatera Utara, pelaksanaan pekerjaan pembangunan jalan dan pemeliharaan berkala TA 2008 dan TA 2009 tidak sesuai kontrak sehingga berpotensi merugikan keuangan daerah senilai Rp11,22 miliar;
• sebanyak 4 kasus rekanan belum melaksanakan kewajiban pemeliharaan barang hasil pengadaan yang telah rusak selama masa pemeliharaan senilai Rp6,74 miliar;
• sebanyak 3 kasus pemberian jaminan dalam pelaksanaan pekerjaan, pemanfaatan barang dan pemberian fasilitas tidak sesuai ketentuan senilai Rp5,30 miliar; dan
• sebanyak 5 kasus lain-lain potensi kerugian negara/daerah senilai Rp963,10 juta.
• Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, pelaksanaan pekerjaan lapis permukaan Asphalt Treated Base (ATB) pada paket pekerjaan peningkatan jalan dalam kota TA 2008 berpotensi merugikan keuangan daerah senilai Rp5,69 miliar apabila kontraktor yang telah melakukan wanprestasi tidak melakukan kegiatan overlay seperti yang telah dispakati.
Sebagian dari kasus-kasus potensi kerugian negara/daerah tersebut telah ditindaklanjuti dengan penyetoran ke kas negara/daerah senilai Rp660,39 juta.

Penyebab Potensi Kerugian Negara/Daerah
Permasalahan-permasalahan tersebut pada umumnya terjadi karena para pelaksana lalai dan lemahnya pengawasan pekerjaan fisik di lapangan.

Rekomendasi atas Potensi Kerugian Negara/Daerah
Atas permasalahan-permasalahan tersebut, BPK telah merekomendasikan kepada entitas yang diperiksa agar mempertanggungjawabkan dengan melakukan penyetoran ke kas negara/daerah atau melengkapi/memperbaiki pekerjaan.
















Bab VII
Inventarisasi Temuan BPK Tahun 2009
Atas
Daerah Pemekaran


Pemeriksaan kinerja daerah pemekaran dilakukan di Kementerian Dalam Negeri dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), serta tiga provinsi yaitu Bengkulu, Kepulauan Riau dan Jawa Barat. Pemeriksaan tersebut bertujuan untuk menilai pemenuhan kewajiban pemerintah daerah hasil pemekaran selama masa transisi pemerintahan dan menilai efektivitas pencapaian tujuan pemekaran daerah.
Hasil Pemeriksaan
Hasil pemeriksaan atas kinerja daerah pemekaran menunjukkan bahwa dari delapan daerah otonom baru (DOB) yang diperiksa, yaitu hanya Pemerintah Kota Cimahi dan Kota Banjar yang dianggap cukup memenuhi kewajibannya selama masa transisi pemerintahan sesuai dengan UU pembentukannya dan PP No. 6 Tahun 2008. Sedangkan beberapa indikator kinerja Daerah Induk (DI) dan DOB yaitu seluruh komponen aspek kesejahteraan, belanja modal dan jumlah ketersediaan dokter rata-rata tidak tercapai, karena masih di bawah rata-rata nasional seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Kondisi tersebut dapat dilihat dalam uraian sebagai berikut.
1. Pemenuhan Masa Transisi Pemerintahan Baru
a. Pembiayaan DOB tidak diatur secara jelas dalam UU Pembentukan DOB dan tidak didokumentasikan dengan memadai.
Hasil pemeriksaan pada DOB yang diuji petik menunjukkan bahwa tidak ditemukan dokumen sumber yang memadai mengenai komitmen pembiayaan dari pemerintah provinsi dan daerah induk. UU Pembentukan DOB tidak secara tegas menyebutkan kapan (batas waktu) dan jumlah komitmen bantuan kepada DOB. Pada Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang tidak ditemukan adanya bukti bantuan keuangan dari provinsi. Sedangkan pada Kabupaten Karimun tidak ditemukan adanya bukti bantuan keuangan dari daerah induk. Sementara di Kabupaten Natuna diperoleh informasi adanya bantuan keuangan, namun demikian tidak terdapat bukti yang valid mengenai jumlah dan sumber bantuan keuangan tersebut apakah dari provinsi atau dari daerah induk.
b. Pengalihan fisik aset tidak didukung dengan berita acara pelimpahan dan dokumentasi yang memadai.
Hasil pemeriksaan pada DOB yang diuji petik menunjukkan bahwa pengalihan fisik aset yang dimiliki oleh DI tidak berjalan lancar karena belum adanya kesepakatan jumlah dan nilai aset yang diserahkan, ketidaklengkapan berita acara pelimpahan aset, serta dokumen pendukungnya dari daerah induk. Akibatnya pada beberapa DOB, yaitu Kabupaten Karimun, Kota Tanjungpinang, Kota Tasikmalaya, dan Kabupaten Kepahiang timbul sengketa aset dengan daerah induknya. Khusus untuk pemekaran dimana ibukota DI berada pada wilayah geografis DOB terjadi permasalahan dalam pengalihan ibukota DI termasuk permasalahan pengalihan aset. Hal ini terjadi pada DI Kabupaten Bintan yang ibukotanya berada di DOB Kota Tanjungpinang dan DI Kabupaten Tasikmalaya yang ibukotanya berada di DOB Kota Tasikmalaya.
c. Pengaturan batas wilayah belum diatur secara tegas dan formal dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Semua DOB yang diuji belum didukung pengaturan batas-batas wilayah yang jelas karena Menteri Dalam Negeri belum mengeluarkan peraturan tentang batas wilayah DOB. Hal ini berakibat antara lain timbulnya sengketa perbatasan pada DOB Kabupaten Kepahiang dengan daerah induknya yaitu Kabupaten Rejang Lebong.
d. Belum semua DOB dilengkapi sarana dan prasarana memadai.
Sebagian besar DOB yang diuji petik masih menggunakan fasilitas sementara berupa sewa rumah penduduk, sewa rumah toko, dan pinjam dari instansi lain, serta sarana baru yang dibangun dengan jumlah sangat terbatas dibandingkan kebutuhan.
e. Penyusunan perangkat daerah.
Hasil pemeriksaan pada DOB yang diuji petik menunjukkan bahwa pengangkatan pejabat kepala daerah maupun kepala daerah definitif telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Begitu pula dengan penyusunan perangkat daerah dhi. satuan kerja perangkat daerah (SKPD) telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kecuali untuk Kabupaten Lebong.
f. Pengisian personil belum sesuai kualifikasi.
Kebutuhan pegawai pada DOB Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang belum terpenuhi. Disamping itu, kebutuhan pejabat eselon pada DOB Kota Tanjungpinang, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lebong, dan Kabupaten Kepahiang juga belum terpenuhi dengan jumlah dan kualifikasi yang memadai.
2. Pencapaian Kinerja Daerah Pemekaran
a. Aspek Keuangan
Semua daerah hasil pemekaran pada DOB memiliki tingkat kemandirian keuangan yang relatif lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional seluruh kabupaten/kota di Indonesia, kecuali pada DOB di Provinsi Bengkulu yaitu Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang. Hal ini ditunjukkan dari rasio pendapatan asli daerah (PAD) dan dana perimbangan yang diterima dari pusat dibandingkan dengan pendapatan. Alokasi belanja pegawai pada daerah hasil pemekaran di Provinsi Bengkulu dan Provinsi Jawa Barat lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional kecuali Kabupaten Lebong.
b. Aspek Pelayanan Umum
Jumlah ketersediaan dokter pada daerah hasil pemekaran pada Provinsi Bengkulu dan Provinsi Jawa Barat kecuali DOB Kota Cimahi masih di bawah rata-rata nasional. Ketersediaan sekolah SD dan SMP pada DOB di Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bengkulu, dan Provinsi Jawa Barat lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional, kecuali DOB Kabupaten Natuna, Kabupaten Lebong dan Kota Tasikmalaya.
c. Aspek Kesejahteraan Masyarakat
Seluruh aspek kesejahteraan masyarakat yang terdiri dari rata-rata pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) atas harga konstan, rata-rata PDRB atas harga berlaku, angka partisipasi murni sekolah dasar, dan angka partisipasi kasar sekolah menengah pertama pada DI Kabupaten Bintan, DI Kabupaten Karimun dan DOB Kabupaten Lebong masih lebih rendah daripada rata-rata nasional, sebaliknya pada DOB Kota Tanjungpinang sudah lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Sedangkan pada daerah pemekaran lainnya pada dasarnya sudah cukup sebanding dengan rata-rata nasional.
d. Aspek Daya Saing
Kemampuan daerah menggerakkan sektor perekonomian dalam rangka meningkatkan daya saing daerah yang ditandai pertumbuhan jumlah bank pada daerah hasil pemekaran menunjukkan nilai yang relatif kurang dibandingkan dengan rata-rata nasional seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Hampir semua DOB telah memiliki bank, namun demikian angka pertumbuhan jumlah bank belum cukup memadai jika dibandingkan dengan rata-rata nasional seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Sedangkan pada Provinsi Kepulauan Riau khususnya Kabupaten Natuna, tidak ada perkembangan jumlah bank dan ketersediaan listrik masih belum memadai. Untuk DOB di Provinsi Bengkulu, seluruh indikator baik jumlah bank, penggunaan listrik maupun air bersih relatif kurang dibandingkan dengan daerah induk maupun daerah non pemekaran.
3. Keserasian Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
a. Keserasian hubungan tersebut ditandai dengan tidak adanya perda-perda yang bertentangan dengan peraturan di atasnya. Sejak Tahun 2002 sampai dengan Maret 2009, Menteri Dalam Negeri telah membatalkan 1050 perda yang dinilai bertentangan dengan peraturan di atasnya. Pada daerah hasil pemekaran yang diuji petik terdapat 37 perda yang telah dibatalkan dengan Kepmendagri. Namun demikian, beberapa daerah tersebut yaitu Kota Banjar, Kota Cimahi, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Bandung, Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang masih memberlakukan dan melakukan pemungutan atas retribusi yang didasarkan pada perda-perda yang sudah berstatus dibatalkan.

Penyebab ketidakefektifan
Ketidakefektifan terjadi antara lain karena keterbatasan kualitas dan kuantitas SDM, kurangnya koordinasi, serta kebutuhan sarana dan prasarana yang harus tersedia tidak didukung dengan alokasi anggaran yang memadai.
Rekomendasi Hasil Pemeriksaan
Atas permasalahan tersebut, BPK telah merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri agar segera melaksanakan evaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah (EPPD) dan memanfaatkan hasilnya sebagai bahan pembinaan dan pengawasan, serta berkoordinasi dengan Kepala Daerah Induk dan Kepala Daerah Otonom Baru.