SDF

Ir. SARAH LERY MBOEIK - ANGGOTA DPD RI ASAL NTT - KOMITE 4, PANITIA PERANCANG UNDANG UNDANG(PPUU), PANITIA AKUNTABILITAS PUBLIK DPD RI TIMEX | POS KUPANG | KURSOR | NTT ON LINE | MEDIA INDONESIA | SUARA PEMBARUAN | KOMPAS | KORAN SINDO | BOLA | METRO TV | TV ON LINE | HUMOR
Sarah Lery Mboeik Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch
widgeo.net

Senin, 28 Juni 2010

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS KOMITE IV DPD RI

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS KOMITE IV DPD RI
PADA SIDANG PARIPURNA KE-13 DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA

Senin, 15 Maret 2010
J A K A R T A 2010

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
-------
L A P O R A N
PELAKSANAAN TUGAS
KOMITE IV DPD RI
PADA SIDANG PARIPURNA KE–13
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
Senin, 15 Maret 2010
--------
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam sejahtera bagi kita semua,
Om Swasti Astu,

Yang terhormat Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah,
Yang terhormat Para Anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Hadirin yang berbahagia.
Terlebih dahulu marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah melimpahkan rahmatnya kepada kita sekalian sehingga dapat menghadiri Sidang Paripurna Ke-13 Dewan Perwakilan Daerah pada hari ini.
Atas nama Pimpinan dan segenap Anggota Komite IV Dewan Perwakilan Daerah kami sampaikan terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan.


Selanjutnya, sesuai dengan jadwal rapat hari ini, perkenankan kami menyampaikan laporan pelaksanaan tugas Komite IV DPD mengenai pertama, Hasil Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Bidang Perpajakan. Kedua, Laporan perkembangan pelaksanaan tugas Komite IV.

I. HASIL PENGAWASAN ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BIDANG PERPAJAKAN
Pajak merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara yang ditetapkan dengan undang-undang agar dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Pengawasan pajak dimuat dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 22D Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dimana disebutkan bahwa DPD RI melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, antara lain undang-undang tentang Pajak.
Menindaklanjuti amanat konstitusi tersebut, Komite IV sebagai alat kelengkapan DPD RI yang mempunyai lingkup tugas diantaranya yaitu APBN, Pajak, Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah, melakukan dan merumuskan Hasil Pengawasan DPD RI atas pelaksanaan Undang-Undang Bidang Perpajakan, sebagai bahan pertimbangan bagi DPR RI untuk ditindaklanjuti.




Pimpinan, Anggota, dan Hadirin Sidang Paripurna yang Kami Hormati,
Terhadap materi Pengawasan Pelaksanaan UU Bidang Perpajakan, Komite IV DPD RI membentuk 4 (empat) tim kunjungan kerja dalam rangka pengawasan atas pelaksanaan UU Bidang Perpajakan. Kunjungan kerja tersebut dilaksanakan di 4 (empat) daerah yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 25—29 Januari 2010, melalui pertemuan dengan Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota, DPRD, Kanwil Ditjen Pajak, Kanwil Ditjen Bea dan Cukai, serta Kadin dan pelaku usaha.
Pemerintah daerah kabupaten kota dimaksud yaitu: Pemda Kota Batam, Kota Samarinda dan Balikpapan, Kabupaten Lombok Barat, dan Kota Ambon.
Kunjungan kerja Komite IV DPD RI ini bertujuan untuk memantau pelaksanaan perpajakan meliputi aspek-aspek yang dipandang menjadi permasalahan strategis dalam pengelolaan perpajakan di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
1. Kesadaran pajak di kalangan masyarakat di daerah;
2. Kualitas pelayanan pajak oleh aparat perpajakan;
3. Optimalisasi pemanfaatan dan penggalian potensi pajak.

Ketiga aspek tersebut perlu ditinjau dengan melibatkan berbagai undang-undang pajak, sehingga konstruksi dari hasil pengawasan ini yaitu suatu Hasil Pengawasan terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan sebagai satu kesatuan yang komprehensif, tidak terbatas pada satu undang-undang saja. Peraturan perundang-undangan tersebut meliputi:
(1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
(2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
(3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; serta
(4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dalam pengawasan ini, substansi peraturan perundang-undangan bidang perpajakan tersebut termasuk mengenai bea masuk, bea keluar, dan cukai, serta berkaitan dengan target penerimaan negara dalam Undang-Undang APBN TA 2010 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan, seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Selain kunjungan kerja ke daerah, Komite IV DPD RI juga mengadakan Dengar Pendapat dengan Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, serta Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI. Dengar Pendapat dengan Dirjen Pajak dilaksanakan sebanyak 2 kali yaitu sebelum dan sesudah kunjungan kerja ke daerah dilaksanakan.

Pimpinan, Anggota, dan Hadirin Sidang Paripurna yang Kami Hormati,

Hasil pengawasan tersebut dibuat dengan sistematika sebagai berikut:
I. Pendahuluan: memuat latar belakang dan dasar hukum pengawasan
II. Metode Pengawasan : memuat metode pengawasan atas pelaksanaan UU Bidang Perpajakan
III. Undang-undang Bidang Perpajakan : memuat meliputi ruang lingkup dan konteks Undang-Undang Bidang Perpajakan.
IV. Hasil Pengawasan : memuat Hasil Pengawasan DPD RI, yang dirinci dalam Ketentuan Umum, Pajak, serta Bea dan Cukai;
V. Rekomendasi DPD RI: memuat rekomendasi terhadap hasil pengawasan sebagaimana dimaksud.

Hasil Pengawasan terhadap pelaksanaan UU Perpajakan yaitu sebagai berikut.

A. KEBIJAKAN UMUM
1. Penerimaan pajak merupakan primadona dalam rangka pembiayaan APBN dan penerimaan pajak telah mendominasi penerimaan APBN. Kebijakan perpajakan tidak hanya ditujukan pada peningkatan penerimaan negara untuk membangun, tetapi juga berfungsi sebagai fasilitator arah pembangunan ekonomi ke arah yang tepat, benar, adil, dan merata. Kebijakan perpajakan yang baik dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mantap, dan adil yang pada gilirannya dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dan dunia usaha untuk membayar pajak.
2. Dalam perkembangan upaya desentralisasi pemerintahan, pemerintah daerah telah diberi kewenangan untuk menjalankan kebijakan perpajakan dan retribusi daerah sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
3. Pelayanan oleh petugas pajak serta petugas bea dan cukai di wilayah Indonesia bagian timur kurang optimal karena kurangnya petugas pajak serta petugas bea dan cukai jika dibandingkan dengan luas dan sulitnya daerah yang dilayani.
B. PAJAK
1. Penerimaan pajak pada tahun 2009 mengalami penurunan karena sebagian masyarakat dan pengusaha masih belum memahami pentingnya membayar pajak untuk membangun negara. Selain itu, pada tahun 2009 terjadi perlambatan perekonomian yang berdampak pada krisis global yang mengakibatkan kemampuan masyarakat dan pengusaha untuk membayar pajak menjadi menurun.
2. Pelayanan pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) di bank yang kurang memuaskan menjadi permasalahan bersama. Wajib pajak dalam membayar PBB terkadang berhadapan dengan aparat pemungut kelurahan, kemudian aparat tersebut membayar ke bank. Hal ini yang menjadi peluang korupsi bagi aparat pemungut PBB di kelurahan.
3. Pengetahuan mengenai pajak disosialisasikan kepada wajib pajak lama dan calon wajib pajak. Saat ini sudah ada program yang bernama pajak masuk kampus (tax goes to campus) yang sasarannya ialah calon wajib pajak pelajar dan mahasiswa. Sosialisasi hasil law enforcement juga dilakukan dengan cara memublikasikan lewat media massa.
4. Ditjen Pajak sudah memiliki laman (website) agar publik dapat mengakses info mengenai pajak dan dana bagi hasil per provinsi. Apabila yang diperlukan tidak ada di laman, data dapat dikonfirmasikan kepada Ditjen Pajak.
5. Daerah beranggapan bahwa pengusaha besar yang memiliki proyek di daerah membayar PPh ke pusat dan daerah hanya mendapatkan bagian yang sedikit. Pemerintah daerah mengharapkan agar PPh dari pegawai perusahaan yang berdomisili di daerah dipungut di daerah. Perlu dipahami bahwa PPh badan/perusahaan memang dikelola oleh pusat dan pegawai yang ditempatkan di daerah-daerah juga merupakan pegawai pusat. Di sini letak fungsi dan tugas pemerintah, yaitu menjaga perimbangan antardaerah.
6. Mulai tahun 2013 pajak daerah dan retribusi daerah untuk pajak bumi dan bangunan di perkotaan dan perdesaan akan diserahkan ke daerah. Daerah memiliki kekuasaan dalam menentukan nilai jual objek pajak (NJOP). Diharapkan keputusan NJOP daerah masing-masing tidak berbeda-beda karena akan berdampak pada kompetisi daerah yang akan merugikan masyarakat.
7. Terkait dengan permasalahan double tax pada Free Trade Zone, telah dilakukan upaya penanggulangannya oleh Menteri Keuangan. Yang mendorong terjadinya transfer pricing yaitu praktik tax heaven country dan untuk menanggulanginya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45, 46, dan 47 Tahun 2009 direvisi menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240, 241, dan 242 Tahun 2009.

C. BEA DAN CUKAI
1. Penyelundupan merupakan tindak pidana di bidang kepabeanan. Penyidikan menjadi kewenangan Ditjen Bea dan Cukai, setelah itu diserahkan kepada jaksa untuk penuntutan. Ditjen Bea dan Cukai menyerahkan berkas, tersangka, dan barang bukti ke Kejaksaan. Ditjen Bea dan Cukai tidak dapat memusnahkan barang bukti penyelundupan karena kekuasaan terhadap barang bukti ada pada kejaksaan. Dalam melakukan pengawasan terhadap penyelundupan narkotika, Ditjen Bea dan Cukai bekerja sama dengan Polri dan TNI Angkatan Laut.
2. Ditjen Bea dan Cukai memiliki 38 buah kapal patroli. Tiga puluh lima buah di antaranya hanya dapat beroperasi di perairan pantai (berukuran panjang 28 meter). Saat ini sudah ada penambahan 3 armada kapal yang berukuran lebih besar (berukuran panjang 38 meter). Sejak kapal tersebut dioperasikan, banyak ditemukan penangkapan ilegal (illegal fishing). Untuk ke depan, Ditjen Bea dan Cukai mengharapkan kapal berukuran panjang 56 meter untuk perairan laut Provinsi Maluku dan Maluku Utara serta perairan laut Cina Selatan.
3. Permasalahan sekitar 5.000 buah kendaraan bermotor yang masuk melalui Batam tanpa dokumen tidak bisa diselesaikan oleh bea dan cukai sendiri, tetapi memerlukan koordinasi dengan instansi penegak hukum. Koordinasi juga diperlukan dengan Pelindo yang menangani barang masuk melalui pelabuhan. Adapun Ditjen Bea dan Cukai menangani tugas yang berkaitan dengan custom clearance.
4. Ditjen Bea dan Cukai mengalami penurunan jumlah pegawai. Jumlah penerimaan pegawai baru tidak sebanding dengan pegawai yang pensiun. Rekruitmen pegawai Ditjen Bea dan Cukai tersentralisasi di Kementerian Keuangan. Adapun seleksi dilakukan di daerah masing-masing secara merata. Mengenai kesejahteraan pegawai, Ditjen Bea dan Cukai sudah mulai memperhatikan kesejahteraan personel kapal patroli dengan memberikan penghasilan yang cukup tinggi. Selain gaji pokok disediakan uang fungsional, uang berlayar, uang makan, dan asuransi kesehatan.
5. Dalam free trade area (FTA) biaya yang dibebaskan yaitu bea masuk dan pajak, sedangkan dalam Cina-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) yang dibebaskan hanya bea masuk. Selain itu, barang masuk tetap dikenai PPh dan PPn barang mewah. Dari sisi penerimaan total, bea masuk akan berkurang, tetapi penerimaan pajak akan meningkat.
6. Pada FTA, barang yang diimpor ke Indonesia tidak dikenakan bea masuk. Namun, ketika barang diekspor akan dikenakan bea keluar. Ditjen Bea dan Cukai mempunyai kewajiban pengawasan pada saat barang itu diekspor. Dalam mengantisipasi kebijakan FTA, Ditjen Bea dan Cukai melakukan pengawasan administratif dan pengawasan fisik untuk memastikan bahwa yang memanfaatkan fasilitas FTA hanyalah pihak-pihak yang berhak.
7. Ditjen Bea dan Cukai memiliki kewenangan memungut bea masuk di FTA serta mengawasi ekspor dan impor terhadap barang umum, barang pembatasan, dan barang larangan. Ditjen Bea dan Cukai melakukan operasi terhadap barang narkotika secara tertutup. Dalam menyikapi manfaat multiaspek terhadap rokok, Ditjen Bea dan Cukai sudah melakukan roadmap cukai industri rokok. Finalisasi diharapkan dapat direalisasikan pada tahun 2015. Tujuan penyusunan roadmap adalah untuk menciptakan kompetisi yang sehat di industri rokok nasional serta transparansi kebijakan cukai hasil tembakau dan optimalisasi penerimaan cukai. Setelah tahun 2015, cukai rokok akan lebih mengedepankan aspek kesehatan.
8. Terkait regulasi cukai tembakau, dalam undang-undang cukai, tembakau akan dikenai cukai pada produk tahap akhir. Jika diekspor masih merupakan tembakau, akan dibebaskan cukainya. Saat ini perusahaan rokok masih terbebani oleh pajak ganda (double tax).
9. Ditjen Bea dan Cukai melaksanakan berbagai strategi dan kebijakan untuk mengamankan penerimaan negara yang bersumber dari bea masuk, bea keluar, dan cukai, termasuk reformasi birokrasi. Meskipun demikian, dengan asumsi krisis ekonomi global yang berlanjut pada tahun 2010, implementasi kerja sama perdagangan internasional melalui skema user specific duty free schema IJEPA dan fasilitas pembebasan BKPM berpotensi mengakibatkan pencapaian target bea masuk tidak tercapai pada tahun 2010.
10. Demikian pula dengan perkembangan harga CPO internasional yang masih di bawah ambang batas serta ratifikasi terhadap Framework Control Tobacco Convention (FCTC) dikhawatirkan dapat menghambat pencapaian target penerimaan negara dari bea keluar dan cukai pada tahun 2010.
11. Ditjen Bea dan Cukai telah melakukan berbagai upaya dalam pengawasan ekspor dan impor dalam kaitan tindak penyelundupan. Dalam menghadapi potensi penyelundupan dengan modus yang semakin canggih, diperlukan koordinasi dan kerja sama Ditjen Bea dan Cukai dengan berbagai institusi terkait, antara lain, PELINDO, Pemda, dan aparat penegak hukum. DPD RI mengharapkan agar sinergi dari institusi tersebut semakin ditingkatkan dari waktu ke waktu.
12. Penerimaan pajak serta bea dan cukai di daerah Indonesia bagian timur berpotensi rendah karena kurangnya dukungan infrastruktur, terutama listrik bagi para investor.

Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana tersebut di atas, DPD RI merekomendasikan hal-hal sebagai berikut.

A. KEBIJAKAN UMUM

1. Konsistensi antara berbagai peraturan perundang-undangan tentang perpajakan, termasuk bea dan cukai, perlu ditingkatkan. Demikian juga peraturan pelaksanaannya agar lebih diserasikan sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan kesimpangsiuran yang menimbulkan celah untuk korupsi. Pelaksanaan peraturan perpajakan di pusat dan daerah agar lebih ditingkatkan dan lebih diefektifkan.
2. Perselisihan antara pembayar pajak dan pemungut pajak menimbulkan berbagai masalah, terutama bagi pembayar pajak yang kedudukannya dilemahkan oleh pemungut pajak yang arogan. Untuk menanggulangi masalah itu, Menteri Keuangan agar segera membentuk komite pengawas perpajakan yang profesional dan bermutu sesuai dengan Pasal 36C UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Di samping itu, komisi sejenis untuk daerah agar segera dibuat.
3. Untuk memberikan pelayanan pajak serta bea dan cukai yang memadai di wilayah Indonesia bagian timur yang luas diperlukan peningkatan kemampuan petugas pajak, baik jumlah petugas, peralatan, maupun kedekatan kantor pelayanan dengan masyarakat. Pemekaran kantor Ditjen Pajak, serta Ditjen Bea dan Cukai di wilayah ini patut dipertimbangkan.

B. PAJAK
1. DPD RI mengharapkan agar upaya yang dilakukan oleh Ditjen Pajak dapat semakin dioptimalkan dari waktu ke waktu, termasuk pengoptimalan pemanfaaatan dan penggalian potensi pajak dari orang pribadi dan badan/korporasi. Mengingat fungsi pajak untuk mengatur perekonomian masyarakat, kebijakan perpajakan juga diharapkan dapat efektif menstimulir perekonomian nasional sehingga dapat dirasakan hasilnya oleh masyarakat di daerah.
2. Penerimaan pajak merupakan primadona dalam rangka pembiayaan APBN dan penerimaan pajak telah mendominasi penerimaan APBN. Sebagai institusi yang ditugasi oleh undang-undang untuk mengamankan penerimaan pajak, Ditjen Pajak telah dan sedang melakukan berbagai upaya untuk mencapai rencana penerimaan pajak yang telah ditetapkan. DPD RI mengapresiasi peningkatan penerimaan pajak dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
3. Ditjen Pajak agar mencermati dan memperhatikan beberapa hal, antara lain, (a) kendala berupa hambatan geografis yang dihadapi oleh beberapa Kanwil Ditjen Pajak di daerah, (b) tunggakan utang pajak, (c) pemanfaatan buku saku sosialisasi pajak, dan (d) penambahan aparat perpajakan sesuai dengan kompetensi.
4. DPD RI mengharapkan agar pemerintah memperhatikan hal-hal sebagai berikut (1) edukasi terhadap wajib pajak, baik yang baru maupun yang lama; (2) peningkatan law enforcement pajak; (3) implikasi Cina-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) terhadap pajak, serta bea dan cukai di daerah; (4) transparansi penghitungan pajak di daerah; (5) kemudahan dalam menangani keberatan wajib pajak; dan (6) kejelasan peraturan dalam rangka mencegah perselisihan pajak.
5. DPD RI mengapresiasi taxing empowerment kepada daerah melalui UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan mengharapkan daerah agar dapat mengimplementasikannya dengan sebaik-baiknya untuk menghindari berbagai peraturan daerah (perda) yang bermasalah. Dengan demikian, tujuannya dapat tercapai, yaitu secara efektif menstimulir perekonomian nasional dan daerah, membuka iklim bagi terciptanya lapangan kerja yang pada akhirnya berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat di daerah.
6. Pelayanan dalam sosialisasi pajak jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, seperti laman dan registrasi online. Reformasi birokrasi di tubuh Kementerian Keuangan sudah memberi hasil yang cukup signifikan. Meskipun demikian, DPD RI menyarankan agar kompetensi pajak ditingkatkan sehingga pelayanan pajak menjadi lebih baik, terutama di tingkat daerah. Perlu didorong keterbukaan pada pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah.
7. Terkait dengan kebijakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah mengenai bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan pajak bumi dan bangunan (PBB) sektor perdesaan dan perkotaan, pemerintah pusat perlu segera melengkapi peraturan pelaksanaan pelimpahan BPHTB dan PBB tersebut, termasuk sosialisasinya, agar daerah dapat menyelenggarakannya dengan lebih baik.
8. Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, besarnya insentif pungutan pajak tidak ditentukan dengan jelas. Dalam penjelasan Pasal 171 disebutkan bahwa pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan alat kelengkapan DPRD yang membidangi masalah keuangan. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya benturan antara pemda dan DPRD dalam pembahasan besaran insentif, DPD RI menyarankan agar besaran insentif ditetapkan dengan jelas dalam peraturan perundang-undangan dan besarnya bervariasi menurut kemampuan daerah agar aparat daerah dan masyarakat dapat mengetahuinya secara terbuka.
9. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tidak mengetahui jumlah penerimaan pajak setiap tahunnya sehingga pemda tidak mengetahui secara pasti pembagian hasil dari pajak tersebut. DPD RI menyarankan kepada pemda agar meminta data wajib pajak kepada Ditjen Pajak dan Badan Pusat Statistik. Dalam upaya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan undang-undang perpajakan, termasuk DBH Pajak, koordinasi antara Pemda, DPRD, dan Kanwil Ditjen Pajak perlu terus ditingkatkan dari waktu ke waktu.



C. BEA DAN CUKAI
1. Ditjen Bea dan Cukai agar mencermati dan memperhatikan berbagai hal, antara lain, (a) kesejahteraan pegawai Ditjen Bea dan Cukai, (b) pengawasan terhadap aktivitas pelabuhan rakyat, (c) antisipasi dampak kebijakan free trade area, (d) pengembangan kawasan perdagangan bebas di daerah, (e) kajian multiaspek terhadap manfaat cukai rokok, (f) regulasi terkait cukai tembakau, dan (g) pemekaran Kanwil Ditjen Bea dan Cukai. Sistim perpajakan yang berupa bea serta cukai ekspor dan impor perlu segera disusun oleh pemerintah untuk menghadapi Cina-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA).
2. Perkembangan harga CPO internasional yang masih di bawah ambang batas serta ratifikasi terhadap Framework Control Tobacco Convention (FCTC) dikhawatirkan dapat menghambat pencapaian target penerimaan negara dari bea keluar dan cukai pada tahun 2010. DPD RI mengharapkan permasalahan tersebut menjadi perhatian Pemerintah.
3. Pada Cina-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA), Indonesia perlu segera merespons sistim perpajakan dalam mengantisipasi kebijakan tersebut di daerah untuk meningkatkan daya saing produk daerah di pasaran ASEAN dan Cina.
4. Koordinasi dan kerja sama Ditjen Bea dan Cukai dengan berbagai institusi terkait, antara lain PELINDO, Pemda, dan aparat penegak hukum sangat diperlukan dalam upaya pengawasan ekspor dan impor berkaitan dengan tindak penyelundupan.
5. Untuk meningkatkan potensi penerimaan pajak serta bea dan cukai di daerah, terutama di kawasan timur Indonesia, DPD RI menyarankan agar pelayanan infrastruktur bagi investor segera ditingkatkan, terutama penyediaan listrik.

Demikian hasil pembahasan Komite IV atas pengawasan pelaksanaan Perpajakan yang dapat kami sampaikan untuk dapat diambil putusan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah yang Terhormat ini sebagai:
Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Bidang Perpajakan.


II. PERKEMBANGAN PELAKSANAAN TUGAS KOMITE IV

Pimpinan, Anggota, dan Hadirin Sidang Paripurna yang Kami Hormati,
Pada tanggal 8-12 Maret 2010, Komite IV DPD RI telah melaksanakan Semiloka Nasional tentang Permasalahan dan Pelaksanaan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Minyak dan Gas di Provinsi Riau, bekerja sama dengan Pemda Provinsi Riau dan Universitas Riau, yang menghadirkan Menteri Keuangan RI, serta berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) DBH migas, yaitu kepala daerah penghasil migas.

Semiloka ini menggali berbagai permasalahan DBH migas dan sekaligus memberikan masukan yang berharga bagi pelaksanaan DBH migas, termasuk penyempurnaan mekanisme penghitungan dan pencairan DBH migas, dalam kerangka pembahasan materi RAPBN TA 2011 dan perimbangan keuangan pusat daerah.

Hasil Semiloka Nasional merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Formula pembagian dana bagi hasil masih dirasakan belum adil diterima oleh daerah pengahsil
2. Proses pencairan DBH kerapkali direalisasikan tidak sesuai jadwal sehingga berpengaruh terhadap pelaksanaan APBD.
3. UU Nomor 22 Tahun 2001 menghambat masuknya investor karena prosedur investasi memebratkan investor, sehingga potensi eksplorasi migas tidak termanfaatkan secara optimal
4. Pengelolaan sektor industri migas oleh negara belum berorientasi bisnis.

Adapun Solusi yang diusulkan dalam Semiloka Nasional tersebut, yaitu:
1. Diperlukan mekanisme yang dapat membuat pencairan DBH Migas tidak terlambat, meliputi Kementerian Keuangan, ESDM dan BP Migas.
2. Perlu ada keselarasan DBH dengan penyusunan APBD. Formula DBH dapat dikaji ulang melalui Revisi UU 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dengan memperhatikan konteks kekinian, resiko lingkungan dan sosial.
3. Diperlukan sekretariat khusus yang melibatkan semua institusi yangterlibat dalam mekanisme DBH Migas.
4. Pemanfaatan teknologi baru untuk meningkatkan produksi sumur minyak yang sudah tua
5. Menyerahkan pengelolaan industri migas pada BUMN yang professional
6. Penyempurnaan UU Migas dan peraturan terkait lainnya yang lebih kondusif bagi iklim investasi di industri migas.

Menindaklanjuti semiloka ini, dilakukan kunjungan kerja ke kabupaten/kota dan tinjauan ke perusahaan pengelola migas di Riau, yaitu Kabupaten Siak dan Kota Dumai.

Dalam kunjungan ke kabupaten Siak, diperoleh beberapa simpulan kunjungan kerja yaitu:
1. Pemda mengharapkan agar DAU Kabupaten yang sekarang dihapus, dikembalikan untuk membiayai pembangunan yang diperlukan.
2. DAU adalah instrumen untuk pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana daerah yang kaya membantu daerah yang miskin:--konsep keseimbangan fiskal antara pusat-daerah dan antardaerah. Diskusi yang muncul yang mempertanyakan mengenai hak otonomi daerah yang luas melebihi ketentuan UUD 1945 menunjukkan diperlukannya sosialisasi yang lebih luas dari UUD 1945 kepada masyarakat. Tidak ada pertentangan antara otonomi daerah dengan negara kesatuan dalam konteks UUD 1945.
3. Pemerintah daerah menganggap DAU digunakan untuk pembayaran gaji PNS yang harus ada sejak awal tahun, sehingga menurunkan atau menghilangkan DAU bagi daerah menjadi suatu masalah pelayanan publik oleh aparat pemda. Sementara itu, PAD sangat kecil, tidak dapat menggantikan DAU yang hilang tersebut.
4. Persentasi produksi minyak di Siak dikelola Pemda dan BOB PT Pertamina tetapi tingkat produktivitasnya semakin menurun karena banyak sumur yang sudah mati dan tidak ada penemuan sumur baru. Masuknya Pemda dalam pengelolaan lapangan migas merupakan pengalaman baru untuk meningkatkan kemampuan Pemda.
5. Dengan menurunnya produktivitas minyak, perlu dipertanyakan penyebabnya: Ladang minyak tidak lagi produktif (kadar air mendekati seratus persen), atau peralatan dan teknologi sudah tua.
6. UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas perlu dipertanyakan dampak negatifnya terhadap upaya penemuan ladang baru berkaitan dengan insentif/disinsentif bagi investor dalam sektor migas.
7. Pemda memandang penting transparansi informasi lifting migas melalui pembentukan sekretariat khusus yang melibatkan semua institusi yang terlibat dalam mekanisme DBH Migas.
8. Sisa kurang salur DBH Migas Kabupaten Siak TA 2008 agar dapat direalisasikan secepatnya terutama pada APBN-P TA 2010.

Sedangkan pertemuan dengan Pemda Kota Dumai, diperoleh simpulan sebagai berikut.
1. DPD RI akan mencermati dan memperhatikan berbagai masukan dari Pemerintah Kota Dumai, antara lain:
• indikator daerah pengolah migas agar dimasukkan dalam kriteria daerah yang mendapatkan dana bagi hasil migas;
• perbaikan infrastruktur jalan yang rusak akibat dilalui kendaraan/alat berat pengangkut hasil olahan migas;
• kejelasan dari pemerintah pusat terkait dengan kekurangan bayar DBH Migas tahun 2008; dan
• Dumai sebagai daerah pengolah CPO agar dapat memperoleh dana bagi hasil.
2. DPD RI mengharapkan dapat dilakukan dengar pendapat dengan Forum Komunikasi Daerah Pengolah Migas untuk membahas berbagai aspirasi daerah terkait dengan dana bagi hasil.

Pimpinan, Anggota, dan Hadirin Sidang Paripurna yang Kami Hormati,
Hasil dari Semiloka Nasional dan kunjungan kerja ini akan ditelaah lebih mendalam pada Masa Sidang III Tahun Sidang 2009-2010. Pada Masa Sidang yang akan datang, Komite IV mengagendakan pembahasan beberapa materi berdasarkan prioritas, sebagai berikut :
1. RAPBN-P TA 2010
2. RAPBN TA 2011
3. RUU Dana Transfer ke Daerah
4. Revisi UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Sehubungan dengan materi tersebut, pada masa kegiatan di daerah nanti, Anggota Komite IV DPD RI akan melakukan penyerapan Asmasda untuk RAPBN TA 2011, utamanya mengenai Dana Transfer ke Daerah.
Dalam rangka pertimbangan RAPBN 2011, Komite IV mengawali kerja dengan meminta Budget Office untuk melakukan kajian makro ekonomi melalui Focus Group Discussion, yang diagendakan pada masa kegiatan di daerah, di antara tanggal 16 Maret – 4 April 2010. Selanjutnya, menyusul dengan kajian Budget Office mengenai dana transfer ke daerah.
Perlu kami sampaikan bahwa Budget Office adalah suatu unit kajian yang mendukung fungsi konstitusional DPD RI, khususnya dalam hal anggaran, dengan tugas dan fungsinya antara lain:
1. Melakukan economic forecast ;
2. Menyajikan analisis kerangka ekonomi makro sebagai salah satu dasar menyusun RAPBN;
3. Membantu DPD RI fungsi budgeting-nya;
4. Meningkatkan sinergi pembangunan pusat dan daerah, dalam hal ini mendiskripsikan kebutuhan daerah yang beranekaragam;
5. Mengadakan kajian terhadap produk legislatif yang berkaitan dengan APBN.


Dengan demikian, Komite I, Komite II, dan Komite III diharapkan juga dapat memanfaatkan unit kerja ini sesuai dengan fungsi dan tugas Budget Office, atau dikenal dengan: “Pusat Pengkaji dan Pengawasan Anggaran Pusat dan Daerah”.
Dengan memanfaatkan salah satu lembaga- kajian ini, diharapkan produk-produk budgeting dan legislasi yang dihasilkan DPD RI semakin akurat, khususnya dari aspek akademis.

Dimohonkan juga kepada Yth Bapak/Ibu pada saat kegiatan di daerah ini untuk memperkenalkan Budget Office kepada masing-masing pemerintah daerah, terutama dimaksudkan untuk membuka jaringan kerjasama informasi dengan Bappeda.

Pimpinan, Anggota, dan Hadirin Sidang Paripurna yang Kami Hormati,
Demikian laporan pelaksanaan tugas Komite IV yang dapat kami sampaikan dalam Sidang Paripurna yang terhormat ini. Kami atas nama Pimpinan dan Anggota Komite IV DPD RI mengucapkan terimakasih atas partisipasi dan dukungan Yang Terhormat Pimpinan, Anggota, dan Sekretariat Jenderal DPD RI, serta rekan-rekan insan media, dalam pelaksanaan tugas Komite IV DPD RI. Kami juga mengucapkan Selamat Hari Raya Nyepi bagi Yang Terhormat Bapak dan Ibu sekalian yang merayakannya.


Akhir kata,
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam damai sejahtera bagi kita,
Om Santi Santi Santi Om.

Jakarta, 15 Maret 2010
KOMITE IV
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
PIMPINAN

Ketua,




TONNY TESAR
Wakil Ketua,


H. ABDUL GAFAR USMAN Wakil Ketua,


Hj. R. ELLA M. GIRI KOMALA