SDF

Ir. SARAH LERY MBOEIK - ANGGOTA DPD RI ASAL NTT - KOMITE 4, PANITIA PERANCANG UNDANG UNDANG(PPUU), PANITIA AKUNTABILITAS PUBLIK DPD RI TIMEX | POS KUPANG | KURSOR | NTT ON LINE | MEDIA INDONESIA | SUARA PEMBARUAN | KOMPAS | KORAN SINDO | BOLA | METRO TV | TV ON LINE | HUMOR
Sarah Lery Mboeik Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch
widgeo.net

Minggu, 27 Juni 2010

51 Tahun NTT, Mau ke Mana?

Ir. Sarah Lery Mboeik
Anggota DPD RI 2009-2014


Pendahuluan

Provinsi paling tenggara Indonesia ini pada 15 Desember 2009 sudah berusia 51 tahun. Sudah cukup dewasa sebagai bagian dari Republik yang belum terlalu tua ini. Tetapi di sana-sini sepertinya tanah Flobamora ini makin renta, didera lingkaran kemiskinan (dan pemiskinan) yang sepertinya tidak berujung, korupsi, degradasi ekologis, kerawanan pangan yang berkelanjutan, di samping tentunya model-model pemerintahan yang silih berganti tetapi tidak pernah benar-benar bisa menyelesaikan persoalan rakyat.

Dengan Indeks Pembangunan Manusia 64,8 pada tahun 2007 NTT berada pada urutan ke 31 dari 33 provinsi di Indonesia. Pendapatan per kapita penduduknya adalah sebesar 3,6 juta rupiah pada tahun 2007, hanya sepertiga dari pendapatan per kapita nasional. Indeks Persepsi Korupsi kota Kupang adalah 2,97 (0 = sangat korup dan 10 = sangat bersih), terburuk dari seluruh 33 ibukota provinsi di Indonesia. Kalau kita telisik lagi terdapat skor 1,98 sebagai tingkat persepsi terhadap diperlukannya suap untuk mempercepat kerja birokrasi di kota Kupang (juga sebagai representasi propinsi). Tentu keinginan untuk melakukan reformasi birokrasi di NTT adalah sebuah perjalanan yang masih sangat panjang.

Sebagai salah satu propinsi paling kering di Indonesia dengan ekosistem semi aridnya, NTT sejatinya rawan terhadap berbagai ancaman kekeringan maupun ancaman iklim lainnya. Di sisi lain provinsi ini masihlah sangat agraris, 70% dari penduduknya adalah petani, di mana 50 % diantaranya adalah petani miskin dengan lahan garapan kurang dari 0,5 ha. Sayangnya hal ini tampaknya tidak disadari oleh berbagai rejim pemerintahan provinsi dan kabupaten di NTT yang memerintah selama 50 tahun terakhir. Dalam 30 tahun terakhir ini sumbangan sektor pertanian pangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto NTT telah merosot dari 53,7 % pada tahun 1967-68 menjadi 21% pada tahun 2006. Artinya NTT adalah propinsi yang tampak luarnya agraris, mayoritas rakyatnya petani tapi telah meminggirkan secara sistematik kaum taninya dalam konfigurasi ekonomi daerahnya.

Dalam konteks persoalan pengelolaan sumber daya alam inilah penting untuk mengingat bahwa soal Perubahan Iklim sudah di depan mata. Para Kepala Negara saat ini sedang berusaha mencapai kesepakatan yang substantif di Konferensi Para Pihak di Copenhagen untuk menyelamatkan bumi dari potensi kenaikan suhu 2 derajat Celcius secara permanen – yang akan secara permanen pula merusakkan bumi dan membawa implikasi yang belum ada presedennya bagi bumi kita ini. Kembali kepada bumi Flobamora yang kering ini – tanpa mencapai kenaikan suhu permanen 2 derajat Celcius pun pulau-pulau di NTT sudah harus berhadapan dengan siklus El Nino dan kekeringan serta kelaparan yang menyertainya dengan frekuensi yang makin sering dan makin berdampak buruk pada kehidupan dan penghidupan rakyat kecil. Kekeringan dan kelaparan parah pada tahun 1997-1998 hanyalah awalnya saja. NTT sudah harus menghadapi berbagai ‘bencana’ pertanian dan rawan pangan selama satu dekade terakhir, dengan hampir tidak ada penanganan komprehensif yang bisa dilakukan. Bahkan bukan tidak mungkin kita sudah sedang mengalami proses penggurunan atau desertifikasi di Pulau Sumba, dengan merosotnya luas tutupan hutan dari lebih dari 50% pada tahun 1927 menjadi hanya tinggal 6,5% pada tahun 2000 (sementara idealnya luas tutupan hutan minimum adalah 30%).

Tata Pemerintahan: Perlu Terobosan

Fenomena di atas sebagian besar bukanlah takdir. Kita masih bisa lakukan banyak hal untuk memperbaiki berbagai ‘kerusakan’ yang telah terjadi, dan NTT masih dan harus punya masa depan. Tentu diperlukan kerja yang sangat serius untuk membalikkan berbagai ungkapan sinis seperti “Nasib Tidak Tentu” ataupun “Nanti Tuhan Tolong” yang memberikan justifikasi pada berbagai bentuk ketergantungan pada program-program bantuan pemerintah nasional maupun bantuan internasional. Tentu kita tidak ingin NTT selamanya menjadi wilayah prioritas berbagai program bantuan internasional, dengan segala eksperimennya, yang sebagian besar hanyalah didasarkan pada analisis yang miskin kedalaman serta dilengkapi dengan berbagai skema bantuan yang ujung-ujungnya hanya menjadi lahan pekerjaan bagi para pekerja internasional maupun kaum ‘terdidik’ nasional yang tidak mengerti NTT.

Sebagian besar persoalan yang dikemukakan di atas berkaitan erat dengan kualitas tata pemerintahan yang berlaku selama ini di NTT. Dalam konteks NTT hal ini makin relevan karena pada dasarnya sampai saat ini motor ekonomi NTT adalah pemerintah dengan proyek-proyeknya. Kelas menengah terbesar di NTT masihlah kaum birokrat, sehingga perubahan-perubahan ataupun kebuntuan-kebuntuan pada birokrasi pemerintahan di NTT (provinsi dan kabupaten-kabupatennya) akan langsung berdampak pada kehidupan sosial ekonomi daerah.

Berbagai ‘eksperimen’ pemerintahan seperti Operasi Nusa Hijau, Operasi Nusa Makmur, Program Tiga Tungku sampai Anggur Merah saat ini tampaknya masih belum menyentuh berbagai akar permasalahan. Dapat dikemukakan di sini beberapa persoalan mendasar yang masih harus ditangani sebagai prasyarat terciptanya perbaikan yang signifikan dalam kualitas tata pemerintahan di NTT:

1. Soal Partisipasi Masyarakat dalam Program Pemerintah:

Ini soal kronis, karena dari pemerintah yang satu ke lainnya, berdekade-dekade, rakyat sebenarnya tidak pernah diajak bicara secara serius dalam perumusan kebijakan dan program pemerintah, baik di provinsi NTT maupun kabupaten-kabupatennya. Musrenbang demi musrenbang diselenggarakan selama bertahun-tahun, hampir sepenuhnya hanya seremonial saja, karena penentuan program-program kerja sudah dilakukan di kantor-kantor SKPD. Di lain pihak program-program pembangunan eksternal, baik itu dari Jakarta maupun dari dunia internasional, baik itu dari swasta, pemerintah maupun bantuan luar negeri, baik itu hutang ataupu hibah, selalu datang tanpa meminta ijin kepada komunitas lokal.

Untuk soal yang satu ini, kita butuh terobosan, karena tidak mungkin begini terus. Rakyat tani NTT di pantai-pantai maupun pedalaman pulau-pulaunya tidak bisa dianggap bodoh dan malas terus menerus. Terlebih lagi para birokrat yang terbiasa memandang rendah kepada mereka kualitasnya juga sebenarnya sangat rendah. Komunitas-komunitas lokal yang akan merasakan dampak langsung berbagai program pemerintah tersebut harus diajak bicara, dan bicara yang serius. Bila program pemerintah atau swasta tersebut memerlukan tanah komunitas adat ataupun suku, ijin harus dimintakan secara baik. Dan yang paling penting proyek apapun yang mau dibawa ke tanah-tanah komunitas-komunitas lokal NTT ini, sebaiknya mempunyai dampak langsung bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka.

2. Soal Transparansi, Akuntabilitas dan Korupsi
Sama dengan soal partisipasi di atas, soal transparansi dan akuntabilitas masihlah barang yang mahal sekali dalam kehidupan masyarakat kebanyakan di NTT, khususnya dalam interaksi mereka dengan birokrasi pemerintahan. Bila di beberapa bagian Indonesia yang lain sudah bermunculan inisiatif-inisiatif Good Governance tampaknya hal tersebut masih sangatlah minim ditemui di NTT. Persepsi bahwa masyarakat bawah adalah bodoh dan malas masih sangat mengemuka di kalangan elite pimpinan daerah di NTT, baik eksekutif maupun legislatif, juga di kalangan birokratnya. Dengan pemikiran seperti ini sulitlah diharapkan bahwa soal-soal transparansi penggunaan anggaran, apalagi pertanggungjawaban penggunaannya dianggap penting. Tentu situasi semacam ini menghasilkan lahan yang sangat ‘subur’ untuk tindakan korupsi. Sebab itulah sampai saat ini NTT masih dianggap salah satu provinsi terkorup di Indonesia.

Kita juga butuh terobosan untuk soal ini karena penting dan patut bagi rakyat untuk mengetahui apa-apa yang diprogramkan ‘untuk mereka’, berapa uang yang dipakai, untuk apa saja pemakaian uang anggaran tersebut, dan siapa saja pejabat yang harus bertanggung jawab. Penting untuk rakyat mempunyai kapasitas yang lebih baik untuk memonitor secara baik penggunaan uang rakyat. Penting pula bagi pemerintah daerah, eksekutif dan legislatif, untuk mempunyai hubungan yang lebih sehat dengan komunitas-komunitas lokal ataupun konstituennya yang didasarkan pada aktualisasi prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah daerah harus menyadari bahwa korupsi yang mengemuka dan bertumpu pada lemahnya penerapan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas, pada akhirnya akan men-delegitimasi hasil-hasil maupun program-program pembangunan serta akan menjauhkan sumber daya maupun investasi nasional maupun internasional yang masih sangat diperlukan NTT saat ini.

3. Soal Otonomi Daerah dan Pelayanan Publik
NTT dan Indonesia sudah berada pada panggung Otonomi Daerah, dengan segala konsekuensinya. Keputusan politik ini sudah dibuat dan diperkirakan pendulum desentralisasi dan otonomi daerah ini tidak akan berbalik kembali ke sentralisasi, setidaknya untuk waktu yang lama. Otonomi daerah ini adalah seperti pisau bermata dua. Bisa membawa kebaikan dan bisa membawa bencana. Bisa dan sangat berpotensi untuk mensejahterakan rakyat, bisa juga jadi arena baru perampokan uang negara yang berakibat pemiskinan yang lebih kejam kepada rakyat.

Yang terjadi di NTT dengan Otonomi Daerah selama hampir sepuluh tahun terakhir tidak sesuai dengan premis yang pertama. Otonomi Daerah belum berhasil mensejahterakan rakyat NTT yang mayoritas miskin dan petani gurem tersebut. Kalaupun belum bisa dikatakan sebagai arena perampokan uang negara yang baru, otonomi daerah di NTT (provinsi maupun kabupaten-kabupatennya) jelas belum bisa menghasilkan pemerintahan yang lebih bersih, kompeten dan berwibawa. NTT tercatat dengan angka yang cukup buruk dalam survey-survey persepsi korupsi beberapa tahun terakhir. Penyelesaian kasus-kasus korupsi di NTT masih menyisakan banyak tanda tanya dan bila sekarang setelah hiruk pikuk Anggodo orang secara luas bicara mafia peradilan, hal tersebut sudah lama jadi rahasia umum di NTT, terbukti dengan skor persepsi suap untuk keputusan hukum di Kupang yang tercatat 2.0 yaitu terburuk kedua setelah suap di birokrasi.

Kalau Otonomi Daerah harus diterima saat ini sebagai ‘takdir’ atau ‘berkat’, lagi-lagi perlu ada terobosan kebijakan dan programatik yang serius agar hal tersebut benar-benar ada gunanya bagi rakyat tani NTT yang mayoritas tersebut. Kalau salah satu premis utama Otonomi Daerah adalah untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, tentunya terjemahannya bukan dengan menjadikan RSUD menjadi sumber PAD, atau menciptakan berbagai pajak dan retribusi yang mencekik rakyat kecil. Bila memang daerah ingin mengatur sektor pendidikan tentulah perlu ditemukan cara agar pembiayaannya bisa mencukupi sehingga Wajib Belajar 9 tahun benar-benar menjadi nyata, dan bukan isapan jempol belaka. Dan banyak hal lain yang perlu dibenahi dalam konteks pelayanan publik, bila memang Otonomi Daerah ini benar-benar ingin membawa berkat bagi mayoritas rakyat di NTT.

Pembangunan Ekonomi: Bagaimana Menuju Kesejahteraan?

Ekonomi NTT bagaimanapun adalah ekonomi agraris. Kalaupun kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB NTT terus menurun, mayoritas tenaga kerja produktif tetap bekerja di sektor pertanian, dan mayoritas masyarakat juga bergantung pada produksi dan pendapatan sektor pertanian. Hal ini perlu disadari oleh para pengambil kebijakan pembangunan ekonomi NTT, agar strategi pembangunan ekonomi regional yang diambil, dengan sektor-sektor unggulannya, dapat bermanfaat maksimal bagi rakyat tani yang mayoritas tersebut.

Kebijakan sektor unggulan jagung, cendana maupun ternak, tentunya perlu disambut dengan optimisme karena bila berhasil diperkirakan mampu membawa peningkatan pendapatan kepada cukup banyak masyarakat. Sayang sampai saat ini belum terdengar langkah-langkah yang cukup jelas bagaimana pemerintah NTT akan mengatasi kompleksitas persoalan-persoalan struktural, institusional dan bahkan kultural yang telah lama melingkupi ketiga sektor di atas, yang bahkan telah ‘menenggelamkannya’ menjadi sektor-sektor produksi yang tidak terlalu berarti dalam kancah ekonomi Indonesia.

Untuk kembali pada kemampuan-kemampuan produksinya yang dulu, lebih-lebih agar dapat bermanfaat bagi rakyat tani yang mayoritas tersebut, retorika tidaklah cukup. Diperlukan analisis-analisis yang dalam dan strategis, pemetaan persoalan yang dalam dan tuntas, konsultasi-konsultasi yang jujur dengan masyarakat, serta kemampuan visioning dan pemrograman strategis yang cerdas.

Sebaiknya pula strategi pembangunan ekonomi NTT yang saat ini dinamai ANGGUR MERAH tersebut dikaitkan dengan standar-standar pencapaian kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat seperti yang termaktub dalam Target-target Millenium Development Goals (MDGs). Untuk itu sangat penting pula perspektif pembangunan manusia seperti yang direpresentasikan oleh pendekatan yang memakai parameter Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di-integrasikan dalam strategi pembangunan ekonomi NTT, sehingga tidak hanya capaian-capaian ekonomi makro saja yang menjadi perhatian, tetapi capaian ekonomi riil haruslah menjadi penjuru, dan lebih penting lagi capaian-capaian indikator kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat seperti: Peningkatan Angka Harapan Hidup, Penurunan Angka Kematian Ibu, Penurunan Angka Kematian Bayi, Penurunan Prevalensi Penyakit Menular, dan yang lainnya haruslah menjadi utama.

Perubahan Iklim dan Keberlanjutan Ekologis
NTT sudah harus menyiapkan ‘cetak biru’ mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Dan hal yang terpenting dalam soal ini adalah menghentikan proses degradasi ekologis yang berlangsung. Diperlukan kesungguhan dan kejujuran untuk melihat ulang desain dan praktek pengelolaan sumber daya alam yang berlaku saat ini. Juga perlu melihat ulang pengaturan tata ruang wilayah yang berlaku saat ini di NTT. Eksploitasi sumber daya alam ekstraktif maupun sumber daya monokultur yang berpotensi merusak secara permanen daya dukung ekologis pulau-pulau di NTT haruslah secara serius dipertimbangkan untuk dihentikan.

Tentu tidak mudah untuk mencapai konsensus publik terhadap hal yang bagi banyak orang mungkin masih dianggap abstrak ini. Tetapi bagi masyarakat tani yang dalam tahun-tahun terakhir merasakan bahwa hujan tidak pernah cukup lagi, kekeringan makin panjang, tingkat produksi makin menurun, hama makin merusak dan tidak tertangani, hal-hal yang berkaitan dengan perubahan iklim ini bukan hal-hal yang jauh. Mereka ada di depan mata, sehingga dibutuhkan segera rancangan yang komprehensif agar komunitas-komunitas tani ini bisa mencegah pemburukan situasi dan beradaptasi terhadap iklim yang sudah berubah ini beserta segala implikasinya.

Lebih penting lagi para pengambil kebijakan di NTT, baik di provinsi maupun kabupaten-kabupaten perlu mempunyai perspektif jangka panjang, termasuk di dalamnya memperhitungkan dampak-dampak jangka panjang yang dibawa oleh perubahan iklim serta kaitannya dengan strategi dan kebijakan-kebijakan pembangunan yang berlaku di NTT. Lebih khusus kemampuan untuk menghitung daya dukung ekologis pulau-pulau kering NTT mutlak harus dipunyai, sehingga analisis dampak dan resiko pembangunan jangka panjang dapat dilakukan dengan serius, dan menjadi bahan pertimbangan utama dalam keputusan-keputusan yang berkaitan dengan manajemen sumber daya alam di NTT. Tidaklah perlu ada keraguan untuk mengambil keputusan-keputusan yang berorientasi pada keberlanjutan daya dukung ekologis pulau-pulau Flobamora sekalipun harus mengorbankan keuntungan-keuntungan ekonomis jangka pendek.

Penutup

Dalam kesempatan ini penulis hendak menyerukan agar dalam konteks peringatan setengah abad Nusa Tenggara Timur ini seluruh pihak, terutama para penguasa daerah dan pengambil kebijakan, juga para kaum elite lainnya, melihat secara lebih arif keberadaan dan pencapaian NTT selama lima dekade ini. Harus dapat diakui bahwa kesejahteraan rakyat, yang seharusnya merupakan hukum yang tertinggi, belumlah tercapai di NTT dalam lima puluh tahun terakhir ini. Bahkan ditemukan indikasi kuat bahwa mandat yang telah diberikan oleh rakyat kepada rejim-rejim penguasa NTT selama ini telah banyak diselewengkan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah serius berdasarkan pemikiran kritis yang serius agar mandat rakyat tersebut dapat kembali diemban dengan bermartabat.

Situasi dan lingkungan strategis yang berpengaruh terhadap keberadaan NTT: politik, ekonomi, sosial dan ekologis, berubah secara cepat dan sangat dinamis. Diperlukan kecerdasan dan kearifan ekstra agar pemerintahan yang berlaku sekarang di NTT betul-betul tahu mau di bawa ke mana Nusa Tenggara Timur ini. Dan tentu juga diperlukan kerendahan hati untuk berkonsultasi dan berdialog secara serius dengan masyarakat tentang langkah-langkah pembangunan yang sedang dan akan diambil, sesuatu yang belum pernah terjadi secara berarti selama ini.