SDF

Ir. SARAH LERY MBOEIK - ANGGOTA DPD RI ASAL NTT - KOMITE 4, PANITIA PERANCANG UNDANG UNDANG(PPUU), PANITIA AKUNTABILITAS PUBLIK DPD RI TIMEX | POS KUPANG | KURSOR | NTT ON LINE | MEDIA INDONESIA | SUARA PEMBARUAN | KOMPAS | KORAN SINDO | BOLA | METRO TV | TV ON LINE | HUMOR
Sarah Lery Mboeik Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch
widgeo.net

Minggu, 12 Januari 2014

UU DESA




 UU DESA 
  
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR...TAHUN 2013
TENTANG
DESA
                                               

I.             UMUM

1.     Dasar Pemikiran

Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaanya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai  susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keberagaman karakteristik dan jenis Desa, atau yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa (founding fathers) ini untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.

Dalam kaitan susunan dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan Desa atau disebut dengan nama lain dari segi pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang menegaskan bahwa “Susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam Undang-undang. Hal itu berarti bahwa Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membuka kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas melalui ketentuan dalam Pasal 18B Ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Sejalan dengan amanat konstitusi tersebut, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang  Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,  Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor  22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  

Dalam pelaksanaannya, pengaturan mengenai Desa belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang ini disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan.

2.     Tujuan dan Asas Pengaturan

a.     Tujuan Pengaturan

Pemerintah negara Republik Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia. Desa yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kukuh dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Dengan demikian, tujuan ditetapkannya pengaturan Desa dalam Undang-Undang ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
1)        memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2)        memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
3)        melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
4)        mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
5)        membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
6)        meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
7)        meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
8)        memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan             
9)        memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.

b.     Asas Pengaturan

Asas pengaturan dalam Undang-Undang ini adalah:
1)        rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;
2)        subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala  lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa;
3)        keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai  yang berlaku di masyarakat Desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
4)        kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat Desa dan unsur masyarakat Desa dalam membangun Desa;             
5)        kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun Desa;
6)        kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat Desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat Desa;
7)        musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan  yang menyangkut kepentingan masyarakat Desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan;
8)        demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat Desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan masyarakat Desa  serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin;
9)        kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;
10)    partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan;
11)    kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran;
12)    pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat Desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa; dan
13)    keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan  program pembangunan Desa.

3.     Materi Muatan

Dalam Undang-Undang ini untuk penyebutan “Desa” digunakan 3 (tiga) terminologi. Apabila dalam Undang-Undang ini ditemukan penulisan dengan kata Desa (D huruf kapital) berarti pengaturan yang berlaku untuk  desa dan desa adat. Untuk penulisan yang mengatur “desa” (d huruf kecil) dan untuk penulisan yang mengatur kesatuan masyarakat hukum adat digunakan kata “desa adat” (d dan a huruf kecil). Meskipun demikian,  dalam hal tata cara penulisan, untuk penulisan judul Undang-Undang ini dan judul bab menggunakan huruf kapital seluruhnya. Sementara itu, penulisan kata “desa” di awal kata dan dalam kalimat menjadi “Desa”  (D huruf kapital). Demikian juga, penulisan desa adat pada awal kata dan kalimat menggunakan huruf kapital sehingga penulisannya menjadi “Desa Adat”.

Undang-Undang ini menegaskan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan Pancasila,  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Undang-Undang ini mengatur materi mengenai Asas Pengaturan, Kedudukan dan Jenis Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat sebagaimana diatur dalam Bab XIII.

4.     Desa dan Desa Adat

Desa atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa.

Desa Adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara turun- temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat Desa Adat agar dapat berfungsi mengembangkan  kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa Adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul Desa sejak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat. Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.

Pada dasarnya kesatuan masyarakat hukum adat terbentuk berdasarkan tiga prinsip dasar, yaitu genealogis, teritorial, dan/ atau gabungan genealogis dengan teritorial. Yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan  teritorial. Dalam kaitan itu, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum  adat beserta hak  tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari kesatuan masyarakat hukum adat tersebut telah ada dan hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik  Indonesia, seperti huta/nagori di Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku.

Di dalam perkembangannya, Desa Adat telah berubah menjadi lebih dari 1 (satu) Desa Adat; 1 (satu) Desa Adat menjadi Desa; lebih dari 1 (satu) Desa Adat menjadi Desa; atau 1 (satu) Desa Adat yang juga berfungsi sebagai 1 (satu) Desa/kelurahan. Oleh karena itu, Undang-Undang ini memungkinkan perubahan status dari Desa atau kelurahan menjadi Desa Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia atas prakarsa masyarakat. Demikian pula, status Desa Adat dapat berubah menjadi Desa/kelurahan atas prakarsa masyarakat.

Penetapan Desa Adat untuk pertama kalinya berpedoman pada ketentuan khusus sebagaimana diatur dalam Bab XIII Undang-Undang ini. Sedangkan pembentukan Desa Adat yang baru, selanjutnya berpedoman pada  ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab III Undang-Undang ini.

5.     Kelembagaan Desa

Di dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kelembagaan Desa/Desa Adat, yaitu lembaga Pemerintahan Desa/Desa Adat yang terdiri atas Pemerintah Desa/Desa Adat dan Badan Permusyawaratan Desa/Desa Adat, Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan lembaga adat.

Kepala Desa/Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain merupakan kepala Pemerintahan Desa/Desa Adat yang memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Kepala Desa/Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai peran penting dalam kedudukannya sebagai kepanjangan tangan negara yang dekat dengan masyarakat dan sebagai pemimpin masyarakat. Dengan posisi yang demikian itu, prinsip pengaturan tentang kepala Desa/Desa Adat adalah:
a.     sebutan kepala Desa/Desa Adat disesuaikan dengan sebutan lokal;
b.     kepala Desa/Desa Adat berkedudukan sebagai kepala Pemerintah Desa/Desa Adat dan sebagai pemimpin masyarakat;
c.      kepala Desa dipilih secara demokratis dan langsung oleh masyarakat setempat, kecuali bagi Desa Adat dapat menggunakan mekanisme lokal; dan
d.     pencalonan kepala Desa dalam pemilihan langsung tidak menggunakan basis partai politik sehingga kepala Desa dilarang menjadi pengurus partai politik.
Mengingat kedudukan, kewenangan, dan Keuangan Desa yang semakin kuat, penyelenggaraan Pemerintahan Desa diharapkan lebih akuntabel yang didukung dengan sistem pengawasan dan keseimbangan antara Pemerintah Desa dan lembaga Desa. Lembaga Desa, khususnya Badan Permusyawaratan Desa yang dalam kedudukannya mempunyai fungsi penting dalam menyiapkan kebijakan Pemerintahan Desa bersama kepala Desa, harus mempunyai visi dan misi yang sama dengan kepala Desa sehingga Badan Permusyawaratan Desa tidak dapat menjatuhkan kepala Desa yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat Desa.

6.     Badan Permusyawaratan Desa

Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melakukan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

Badan Permusyawaratan Desa merupakan badan permusyawaratan di tingkat Desa yang turut membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Dalam upaya meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat Desa, memperkuat kebersamaan, serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, Pemerintah Desa dan/atau Badan Permusyawaratan Desa memfasilitasi penyelenggaraan Musyawarah Desa. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah forum musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk memusyawarahkan dan menyepakati hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Hasil Musyawarah Desa dalam bentuk kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar oleh Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintah Desa dalam menetapkan kebijakan Pemerintahan Desa.

7.     Peraturan Desa

Peraturan Desa ditetapkan oleh kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa merupakan kerangka hukum dan kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Pembangunan Desa.

Penetapan Peraturan Desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki Desa mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai sebuah produk hukum, Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang   lebih  tinggi  dan  tidak  boleh   merugikan  kepentingan  umum, yaitu:
a.     terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
b.     terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c.      terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d.     terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa; dan
e.     diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta gender.    
Sebagai sebuah produk politik, Peraturan Desa diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan partisipasi masyarakat Desa. Masyarakat Desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan masukan kepada kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam proses penyusunan Peraturan Desa.

Peraturan Desa yang mengatur kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal Desa pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan Peraturan Desa senantiasa dapat diawasi secara berkelanjutan oleh warga masyarakat Desa setempat mengingat Peraturan Desa ditetapkan untuk kepentingan masyarakat Desa.

Apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan Peraturan Desa yang telah ditetapkan, Badan Permusyawaratan Desa berkewajiban  mengingatkan dan menindaklanjuti pelanggaran dimaksud sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Itulah salah satu fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Badan Permusyawaratan Desa. Selain Badan Permusyawaratan Desa, masyarakat Desa juga mempunyai hak untuk melakukan pengawasan dan evaluasi secara partisipatif terhadap pelaksanaan Peraturan Desa.

Jenis peraturan yang ada di Desa, selain Peraturan Desa adalah Peraturan Kepala Desa dan Peraturan Bersama Kepala Desa.

8.     Pemilihan Kepala Desa

Kepala Desa dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk Desa warga negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan dengan masa jabatan 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat dipilih kembali hanya untuk 2 (dua) kali masa jabatan berikutnya. Pengisian jabatan dan masa jabatan kepala Desa Adat  berlaku ketentuan hukum adat di Desa Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah kabupaten/kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Khusus mengenai pemilihan kepala Desa dalam Undang-Undang ini diatur agar dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah kabupaten/kota dengan maksud untuk menghindari hal negatif dalam pelaksanaannya.

Pemilihan kepala Desa secara serentak mempertimbangkan jumlah Desa dan kemampuan biaya pemilihan yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota sehingga dimungkinkan pelaksanaannya secara bergelombang sepanjang diatur dalam Peraturan Daerah kabupaten/kota.

Sebagai akibat dilaksanakannya kebijakan pemilihan kepala Desa secara serentak, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pengisian jabatan kepala Desa yang berhenti dan diberhentikan sebelum habis masa jabatan.

Jabatan kepala Desa Adat diisi berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi Desa Adat. Dalam hal terjadi kekosongan jabatan kepala Desa Adat, Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat menetapkan penjabat yang berasal dari masyarakat Desa Adat yang bersangkutan.

9.     Sumber Pendapatan Desa

Desa mempunyai sumber pendapatan Desa yang terdiri atas pendapatan asli Desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, alokasi anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota, serta hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.

Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota kepada Desa diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Bantuan tersebut diarahkan untuk percepatan Pembangunan Desa. Sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh Desa berasal dari Badan Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar Desa, pengelolaan kawasan wisata skala Desa, pengelolaan tambang mineral bukan logam dan tambang batuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber lainnya dan tidak untuk dijualbelikan.

Bagian dari dana perimbangan yang diterima  Pemerintah Daerah kabupaten/kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa.

Besaran alokasi anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditentukan setiap tahun sesuai dengan kemampuan keuangan negara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

10.      Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan

Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Untuk itu, Undang-Undang ini menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu ‘Desa membangun’ dan ‘membangun Desa’ yang diintegrasikan dalam perencanaan Pembangunan Desa.

Sebagai konsekuensinya, Desa menyusun perencanaan pembangunan sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Dokumen rencana Pembangunan Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa dan sebagai dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Perencanaan Pembangunan Desa diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat Desa melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat Desa. Pembangunan Desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dengan semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa. Pelaksanaan program sektor yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa dan diintegrasikan dengan rencana Pembangunan Desa. Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi dan melakukan pemantauan mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa.

Sejalan dengan tuntutan dan dinamika pembangunan bangsa, perlu dilakukan pembangunan Kawasan Perdesaan. Pembangunan Kawasan Perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar-Desa dalam satu kabupaten/kota sebagai upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Oleh karena itu, rancangan pembangunan Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, dan Pemerintah Desa.
     
11. Lembaga Kemasyarakatan Desa

Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa, seperti rukun tetangga, rukun warga, pembinaan kesejahteraan keluarga, karang taruna, dan lembaga pemberdayaan masyarakat atau yang disebut dengan nama lain. Lembaga kemasyarakatan Desa bertugas membantu Pemerintah Desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat Desa.

Lembaga kemasyarakatan Desa berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat Desa dalam pembangunan, pemerintahan, kemasyarakatan, dan pemberdayaan yang mengarah terwujudnya demokratisasi dan transparansi di tingkat masyarakat serta menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif dalam kegiatan pembangunan.

12. Lembaga Adat Desa

Kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan pusat kehidupan masyarakat yang bersifat mandiri. Dalam kesatuan masyarakat hukum adat tersebut dikenal adanya lembaga adat yang telah tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam eksistensinya, masyarakat hukum adat memiliki wilayah hukum adat dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan masyarakat Desa berkaitan dengan adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Lembaga adat Desa merupakan mitra Pemerintah Desa dan lembaga Desa lainnya dalam memberdayakan masyarakat Desa.

13. Ketentuan Khusus

Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua, Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam menetapkan kebijakan mengenai pengaturan Desa di samping memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang ini juga memperhatikan:
a.      Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
b.     Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua; dan
c.      Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.




       II.    PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
          Cukup jelas.
Pasal 2
          Cukup jelas.
Pasal 3
          Cukup jelas.
Pasal 4
          Cukup jelas.
Pasal 5
Desa yang berkedudukan di wilayah kabupaten/kota dibentuk dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 6
          Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa Adat.
Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih salah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 7
          Ayat (1)
                   Cukup jelas.
          Ayat (2)
                   Cukup jelas.
          Ayat (3)
                   Cukup jelas.
          Ayat (4)
                   Huruf a
                             Cukup jelas.
                   Huruf b
                             Cukup jelas.
                   Huruf c
                             Cukup jelas.
                   Huruf d
Yang dimaksud dengan “perubahan status” adalah perubahan dari Desa menjadi kelurahan dan perubahan kelurahan menjadi Desa serta perubahan Desa Adat menjadi Desa.


                   Huruf e
Yang dimaksud dengan “penetapan Desa Adat” adalah penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dan Desa Adat yang telah ada untuk yang pertama kali oleh kabupaten/kota menjadi Desa Adat dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.
Pasal 8
          Ayat (1)
                   Pembentukan Desa dapat berupa:
a.     pemekaran dari 1 (satu) Desa menjadi 2 (dua) Desa atau lebih;
b.     penggabungan bagian Desa dari Desa yang bersanding menjadi 1 (satu) Desa; atau
c.     penggabungan beberapa Desa menjadi 1 (satu) Desa baru.
          Ayat (2)
                    Cukup jelas.
          Ayat (3)
                    Cukup jelas.
          Ayat (4)
                    Cukup jelas.
          Ayat (5)
                   Cukup jelas.
          Ayat (6)
                   Cukup jelas.
          Ayat (7)
                   Cukup jelas.
          Ayat (8)
                   Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “program nasional yang strategis“ adalah antara lain program pembuatan waduk atau bendungan yang meliputi seluruh wilayah Desa.
Pasal 10
          Cukup jelas.
Pasal 11
          Ayat (1)
                   Cukup jelas.
          Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota” adalah termasuk untuk memberikan dana purnatugas (pesangon) bagi kepala Desa dan perangkat Desa yang diberhentikan sebagai akibat  perubahan status Desa menjadi kelurahan.

          Ayat (3)
                   Pada dasarnya kelurahan melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Adapun yang membedakannya dengan Desa hanya pada fungsi pengaturan, sedangkan fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan tetap menjadi tugas pokoknya. Oleh karena itu, kelurahan juga harus mendapatkan bantuan pembiayaan sebagaimana yang diberikan kepada Desa dalam rangka pelaksanaan tugas pokoknya.
          Ayat (4)
                   Cukup jelas.
          Ayat (5)
                   Cukup jelas.
Pasal 12
          Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “mengubah status kelurahan menjadi Desa” adalah perubahan status kelurahan menjadi Desa atau  kelurahan sebagian menjadi Desa dan sebagian tetap menjadi kelurahan. Hal tersebut dilakukan dalam jangka waktu tertentu untuk menyesuaikan adanya kelurahan yang kehidupan masyarakatnya masih bersifat perdesaan.
          Ayat (2)
                   Cukup jelas.
          Ayat (3)
                   Cukup jelas.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan “kawasan yang bersifat khusus dan strategis” seperti kawasan terluar dalam wilayah perbatasan antarnegara, program transmigrasi, dan program lain yang dianggap strategis.
Pasal 14
          Cukup jelas.
Pasal 15
          Cukup jelas.
Pasal 16
          Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Peraturan Daerah yang telah ditetapkan diberi nomor registrasi oleh Gubernur, selanjutnya Gubernur menyampaikan Peraturan Daerah yang telah diregistrasi tersebut kepada Menteri untuk mendapatkan kode Desa.
      Ayat (2)
          Pembuatan peta batas wilayah Desa harus menyertakan instansi teknis terkait.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “hak asal usul dan adat istiadat Desa” adalah hak yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 19
          Huruf a
Yang dimaksud dengan “hak asal usul” adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas Desa, serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa.  
                         Huruf b
Yang dimaksud dengan “kewenangan lokal berskala Desa” adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau  yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan Desa, embung Desa, dan jalan Desa.
                         Huruf c
                                   Cukup jelas.
                         Huruf d
                                   Cukup jelas.
Pasal 20
                         Cukup jelas.
Pasal 21
                         Cukup jelas.
      Pasal 22
                         Cukup jelas.
      Pasal 23
                         Cukup jelas.



Pasal 24
          Huruf a
Yang dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
          Huruf b
Yang dimaksud dengan “tertib penyelenggara pemerintahan” adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara Pemerintahan Desa.
          Huruf c
Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
          Huruf d
Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.          
          Huruf e
Yang dimaksud dengan “proposionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
          Huruf f
Yang dimaksud dengan “profesionalitas” adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
          Huruf g
Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
          Huruf h
Yang dimaksud dengan “efisiensi” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan harus tepat sesuai dengan rencana dan tujuan.
Yang dimaksud dengan “efektivitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan harus berhasil mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat Desa.
          Huruf i
Yang dimaksud dengan “kearifan lokal” adalah asas yang menegaskan bahwa di dalam penetapan kebijakan harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Desa.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “keberagaman” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang tidak boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.
Huruf k
          Yang dimaksud dengan “partisipatif” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang mengikutsertakan kelembagaan Desa dan unsur masyarakat Desa.
Pasal 25
          Penyebutan nama lain untuk kepala Desa dan perangkat Desa dapat menggunakan penyebutan di daerah masing-masing.
Pasal 26
          Ayat (1)
                   Cukup jelas.
          Ayat (2)
                   Cukup jelas.        
          Ayat (3)
                   Huruf a
                             Cukup jelas.
                   Huruf b
                             Cukup jelas.
                   Huruf c
Jaminan kesehatan yang diberikan kepada kepala Desa dan perangkat Desa diintegrasikan dengan jaminan pelayanan yang dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf d
          Cukup jelas.
Huruf e
          Cukup jelas.
          Ayat (4)
                    Cukup jelas.

Pasal 27
          Cukup jelas.
Pasal 28
          Cukup jelas.
Pasal 29
          Cukup jelas.
Pasal 30
          Cukup jelas.
Pasal 31
          Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Pemberitahuan Badan Permusyawaratan Desa kepada kepala Desa tentang akan berakhirnya masa jabatan kepala Desa tembusannya disampaikan kepada Bupati/Walikota.
          Ayat (2)
                   Cukup jelas.
          Ayat (3)
                   Cukup jelas.
          Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tokoh masyarakat” adalah tokoh keagamaan, tokoh adat, tokoh pendidikan, dan tokoh masyarakat lainnya.
Pasal 33
          Cukup jelas.
Pasal 34
          Ayat (1)
                   Cukup jelas.
          Ayat (2)
                   Cukup jelas.
          Ayat (3)
                   Cukup jelas.
          Ayat (4)
                   Cukup jelas.
          Ayat (5)
                   Cukup jelas.
          Ayat (6)
Biaya pemilihan kepala Desa yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota adalah untuk pengadaan surat suara, kotak suara, kelengkapan peralatan lainnya, honorarium panitia, dan biaya pelantikan.
Pasal 35
          Cukup jelas.
Pasal 36
          Cukup jelas.
Pasal 37
          Cukup jelas.
Pasal 38
          Cukup jelas.
Pasal 39
          Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya (1) satu kali masa jabatan.
Yang dimaksud dengan “terhitung sejak tanggal pelantikan” adalah   seseorang yang telah dilantik sebagai kepala Desa maka yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum habis masa jabatan.
Pasal 40
                         Ayat (1)
                                   Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “berakhir masa jabatannya” adalah apabila seorang kepala Desa yang telah berakhir masa jabatannya 6 (enam) tahun terhitung tanggal pelantikan harus diberhentikan. Dalam hal belum ada calon terpilih dan belum dapat dilaksanakan pemilihan, diangkat penjabat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap” adalah apabila kepala Desa menderita sakit yang mengakibatkan, baik fisik maupun mental, tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tidak lebih dari 1 (satu) tahun” adalah 1 (satu) tahun atau kurang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan musyawarah Desa” adalah musyawarah yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa khusus untuk pemilihan kepala Desa antarwaktu (bukan musyawarah Badan Permusyawaratan Desa), yaitu mulai dari penetapan calon, pemilihan calon, dan penetapan calon terpilih.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Masa jabatan kepala Desa yang dipilih melalui Musyawarah Desa terhitung sejak yang bersangkutan dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “camat” adalah camat atau yang disebut dengan nama lain.

Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Musyawarah Desa merupakan forum pertemuan dari seluruh pemangku kepentingan yang ada di Desa, termasuk masyarakatnya, dalam rangka menggariskan hal yang dianggap penting dilakukan oleh Pemerintah Desa dan juga menyangkut kebutuhan masyarakat Desa.
Hasil ini menjadi pegangan bagi perangkat Pemerintah Desa dan lembaga lain dalam pelaksanaan tugasnya.
Yang dimaksud dengan “unsur masyarakat” adalah antara lain tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok perajin, kelompok perempuan, dan kelompok masyarakat miskin.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal penataan Desa, Musyawarah Desa hanya memberikan pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

Ayat (3)
Cukup jelas.
      Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ditetapkan secara demokrasi” adalah dapat diproses melalui proses pemilihan secara langsung dan melalui proses musyawarah perwakilan.
Ayat (2)
Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji.

Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Huruf a
Yang dimaksud dengan “meminta keterangan” adalah permintaan yang bersifat informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat Desa, bukan dalam rangka laporan pertanggungjawaban kepala Desa.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Jaminan kesehatan yang diberikan kepada kepala Desa dan perangkat Desa diintegrasikan dengan jaminan pelayanan yang dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelum program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menjangkau ke tingkat Desa, jaminan kesehatan dapat dilakukan melalui kerja sama kabupaten/kota dengan Badan Usaha Milik Negara atau dengan memberikan kartu jaminan kesehatan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah masing-masing yang diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pendapatan asli Desa” adalah pendapatan yang berasal dari kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal Desa.
Yang dimaksud dengan “hasil usaha” termasuk juga hasil BUM Desa dan tanah bengkok.                
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Anggaran  bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tersebut” adalah anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota yang digunakan untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Huruf c
                    Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
                    Cukup jelas.
Huruf f
                    Cukup jelas.
Huruf g
                   Yang dimaksud dengan “lain-lain pendapatan Desa yang sah” adalah antara lain pendapatan sebagai hasil  kerja sama dengan pihak ketiga dan bantuan perusahaan yang berlokasi di Desa.
Ayat (2)
Besaran alokasi anggaran yang peruntukkannya langsung ke  Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top)  secara bertahap.

Anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung berdasarkan jumlah Desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa.
Ayat (3)
                    Cukup jelas.
Ayat (4)
                    Cukup jelas.
Ayat (5)
                    Cukup jelas.
Ayat (6)
                    Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Dalam penetapan belanja Desa dapat dialokasikan insentif kepada rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) dengan pertimbangan bahwa RT dan RW walaupun sebagai lembaga kemasyarakatan, RT dan RW membantu pelaksanaan tugas pelayanan pemerintahan, perencanaan pembangunan, ketertiban, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tidak terbatas” adalah kebutuhan pembangunan di luar pelayanan dasar yang dibutuhkan masyarakat Desa.
Yang dimaksud dengan “kebutuhan primer” adalah kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
Yang dimaksud dengan “pelayanan dasar” adalah antara lain pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Pasal 75
Cukup jelas.                

Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sumbangan” adalah termasuk tanah wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.     
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
BUM Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa.
BUM Desa secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, CV, atau koperasi. Oleh karena itu, BUM Desa merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya di samping untuk memenuhi kebutuhan anggotanya, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa. BUM Desa juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya.
Dalam meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa dapat menghimpun tabungan dalam skala lokal  masyarakat Desa, antara lain melalui pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam.
BUM Desa dalam kegiatannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan, tetapi juga berorientasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa.
BUM Desa diharapkan dapat mengembangkan unit usaha dalam mendayagunakan potensi ekonomi. Dalam hal kegiatan usaha dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pendampingan” adalah termasuk penyediaan sumber daya manusia pendamping dan manajemen.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96     
Penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dan Desa Adat yang sudah ada saat ini menjadi Desa Adat hanya dilakukan untuk 1 (satu) kali.
Pasal 97
Ketentuan ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
a.     Putusan Nomor 010/PUU-l/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;
b.     Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku;
c.     Putusan Nomor 6/PUU-Vl/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan
d.     Putusan Nomor 35/PUU–X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang  Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pasal 98
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penetapan Desa Adat” adalah penetapan untuk pertama kalinya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Perubahan status Desa Adat menjadi kelurahan harus melalui Desa, sebaliknya perubahan status kelurahan  menjadi Desa Adat harus melalui Desa.
          Ayat (2)
                    Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.



Pasal 103
Huruf a
Yang dimaksud dengan “susunan asli” adalah sistem organisasi kehidupan Desa Adat yang dikenal di wilayah masing-masing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “ulayat atau wilayah adat” adalah wilayah kehidupan suatu kesatuan masyarakat hukum adat.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.         
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 104
Yang dimaksud dengan “keberagaman” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat yang tidak boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.



Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pendampingan” adalah termasuk penyediaan sumber daya manusia pendamping dan manajemen.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “pengawasan” adalah termasuk di dalamnya pembatalan Peraturan Desa.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas
Huruf n
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sebelum Undang-Undang ini, yang diakui adalah Desa. Oleh sebab itu, dengan berlakunya Undang-Undang ini diberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk menata kembali status Desa menjadi Desa atau Desa Adat dengan ketentuan tidak boleh menambah jumlah Desa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...

PEMERINTAH

PIMPINAN PANSUS

MENTERI DALAM NEGERI



GAMAWAN FAUZI
KETUA



AKHMAD MUQOWAM

MENTERI KEUANGAN



M. CHATIB BASRI

WAKIL KETUA



KHATIBUL UMAM WIRANU

MENTERI HUKUM DAN HAM



AMIR SYAMSUDIN

WAKIL KETUA



IBNU MUNZIR

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI



AZWAR ABUBAKAR

WAKIL KETUA



BUDIMAN SUDJATMIKO