I.
PENDAHULUAN
1. Dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2007, telah ditetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN
2005—2025) sebagai kerangka pencapaian sasaran pembangunan hingga akhir tahun
2025. Sasaran umum tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata secara material dan spiritual
berdasarkan Pancasila di dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka,
bersatu, dan berkedaulan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman,
tenteram, tertib, dan damai.
2. Sasaran pembangunan jangka
panjang tersebut dituangkan ke dalam rencana pembangunan lima tahunan yang
disebut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Berkaitan dengan
RPJPN dan RPJMN, setiap daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, mempunyai
sasaran pembangunan daerah yang dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Lembaga
legislatif, baik DPR RI, DPD RI, maupun DPRD memiliki peran sentral dalam
penetapan sasaran kebijakan pembangunan jangka panjang tersebut.
3. RPJMN 2010—2014 telah
menetapkan sasaran-sasaran indikatif berupa sasaran pertumbuhan ekonomi,
tingkat pengangguran dan angka kemiskinan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat
daerah. Tahun 2014 merupakan tahun terakhir RPJMN 2010—2014 yang memberi
kesempatan bagi usaha pencapaian sasaran pembangunan selama 5 tahun dalam RPJMN
2010—2014.
4. Seluruh asumsi yang mendasari
penyusunan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2014
harus ditetapkan secara terukur dan realistik terutama dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta memacu percepatan pembangunan
daerah sesuai dengan sasaran RPJMN
2010—2014.
5. Gejolak ekonomi global masih
mewarnai perekonomian nasional. Oleh karena itu, penyusunan kerangka ekonomi
makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2014 harus dapat memberi landasan
kekuatan untuk mengatasi dampak negatif dari gejolak ekonomi global
tersebut.
6. Salah satu harapan pembangunan
otonomi daerah dan desentralisasi adalah pelayanan publik yang maju untuk
memperkuat kemampuan daerah dan masyarakat menghadapi tantangan perubahan.
Tujuan ini masih harus dikembangan dalam berbagai kebijakan pengelolaan
pembangunan termasuk kebijakan fiskal yang tepat dan adil dengan merubah dan
membangun format RAPBN yang baru yang memasukan kebijakan fiskal untuk daerah.
II. PERTIMBANGAN TERHADAP ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO
A. Asumsi Dasar Ekonomi Makro
1.
Dengan
pertimbangan bahwa perekonomian nasional merupakan agregasi atau totalitas dari
perekonomian daerah provinsi dan kabupaten/kota, dan menyadari adanya
keterkaitan antar sektor dan antar daerah, serta memperhatikan perkiraan
perkembangan ekonomi global, DPD RI mengusulkan kerangka ekonomi makro dalam
penyusunan RAPBN Tahun 2014 sebagai berikut:
a.
pertumbuhan
ekonomi 6,40%—6,60%;
b.
inflasi
kisaran 5,00%—6,50%;
c.
nilai
tukar Rp9.250,00—Rp9.850,00 per US$;
d.
tingkat
suku bunga SPN 5,5%—6,5%;
e.
rata-rata
harga minyak US$105—US$110 per barel;
f.
lifting minyak 910 ribu—940 ribu
barel per hari;
g.
lifting gas tetap 1.250—1.340 mboepd;
h.
tingkat
kemiskinan 11,16%;
i.
tingkat
pengangguran terbuka 5,75%; dan
j.
indeks
gini 0,40.
2.
Penyusunan
kerangka ekonomi makro RAPBN TA 2014 selain memberikan pemihakan yang jelas dan
tegas kepada daerah-daerah yang relatif tertinggal dan rentan terhadap gejolak perekonomian
nasional dan global, juga harus ada upaya penajaman kebijakan dan program
pembangunan untuk menjaga momentum percepatan pertumbuhan ekonomi.
B.
Pertumbuhan Ekonomi
1.
Pertumbuhan
ekonomi dunia diperkirakan akan mencapai 3,9%—4,1% pada tahun 2014. Pada tahun yang
sama tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,6%. Hal ini sejalan
dengan asumsi pertumbuhan ekonomi yang diusulkan untuk RAPBN Tahun 2014, yakni
sekitar 6,4%—6,6%. Ini lebih realistis dari target RPJMN.
2.
DPD
RI berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi nasional dalam tahun 2014 yang diperkirakan
sekitar 6,4%—6,6% cukup realistik. Pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh
pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tetap kuat, peningkatan investasi, serta
peningkatan ekspor. Sektor yang diperkirakan akan menjadi sumber utama
pertumbuhan ekonomi tersebut adalah sektor pertanian; sektor industri
pengolahan; sektor perdagangan, hotel dan restoran; serta sektor transportasi dan
komunikasi.
3.
Penetapan
asumsi pertumbuhan ekonomi tahun 2014 tersebut juga perlu didukung dengan
peningkatan daya saing perekonomian daerah melalui peningkatan belanja modal
untuk infrastruktur di daerah, peningkatan daya saing produk unggulan
masing-masing daerah, dan peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan
publik.
C.
Inflasi
1.
Pada dasarnya inflasi pada
tingkat yang wajar antara 3%—5%
akan mendorong hasrat berinvestasi, tetapi inflasi yang tinggi akan mengurangi
daya beli masyarakat di daerah dan berdampak pada rendahnya tingkat
kesejahteraan.
2.
Inflasi
pada tahun 2014 diperkirakan akan berada pada kisaran 6,00%—6,50%. Proyeksi tersebut
didasarkan kepada dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM, dan perkiraan masih
tingginya harga bahan pangan dan energi di pasar internasional pada tahun
mendatang. Untuk itu, Pemerintah perlu terus menjaga stabilitas harga dan
mengurangi potensi kenaikan inflasi sebagai akibat kenaikan harga pangan,
lambatnya pasokan bahan bakar minyak di beberapa daerah, kenaikan biaya transportasi
antardaerah dan kenaikan tarif layanan publik lainnya.
D.
Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$1)
1. Dengan
memperhitungkan perkembangan pasar uang nasional dan global, nilai tukar rupiah
pada tahun 2014 pada kisaran Rp9.650,00—Rp9.850,00 per US$. Dalam
upaya menjaga keseimbangan pasar valuta asing, Bank Indonesia harus terus
mengambil langkah-langkah untuk menjaga kecukupan likuiditas pasar yang
didukung dengan penguatan operasi moneter melalui pengembangan instrumen
moneter valuta asing.
2. Namun
yang terpenting, nilai tukar rupiah diharapkan memberikan insentif yang cukup
bagi para pelaku dalam kegiatan ekspor, dan memberikan daya tarik investasi di
dalam negeri. Di sisi lain, pengendalian nilai tukar rupiah dilakukan dengan
memperhitungkan jaminan kebutuhan impor bahan baku dan barang modal bagi para
pelaku usaha di dalam negeri.
E.
Tingkat Suku Bunga SPN-3 Bulan
1. Berdasarkan
perkembangan beberapa indikator ekonomi, dan mencermati kondisi faktor-faktor
yang akan berpengaruh pada tahun 2014, tingkat suku bunga SPN tahun 2014 diperkirakan
sebesar 5,5%—6,5%.
Hal ini dianggap cukup kompetitif,
dan Pemerintah perlu fokus pada penurunan suku bunga perbankan. Upaya ini hanya
dapat dilakukan dengan mendorong efisiensi perbankan untuk mengurangi biaya
intermediasi.
2. Penyaluran kredit perbankan lebih
rendah dibanding mobilisasi dana masyarakat. Kondisi ini tidak kondusif bagi
pengembangan UMKMK dan percepatan pembangunan daerah. Untuk itu, Pemerintah
perlu mendorong pemerataan penyaluran kredit perbankan antar daerah terutama untuk
mendukung pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKMK) dan
percepatan pembangunan daerah. Dan yang terpenting perlu pengembangan
kelembagaan ekonomi berbasis komunitas.
F.
Harga Minyak
1. Harga minyak dalam tahun 2014
diperkirakan pada kisaran US$105—US$110 per barel. Proyeksi tersebut didasarkan
kepada perkembangan harga di pasar minyak internasional pada dua tahun terakhir.
2. Penetapan harga minyak tahun
2014 cukup realistis, namun Pemerintah harus tetap menyiapkan suatu pengaman
untuk mengurangi dampak fluktuasi harga minyak di pasar internasional termasuk
penetapan subsidi. Pemerintah perlu memperhatikan kebutuhan pasokan BBM di
wilayah yang terpencil agar tidak terjadi kelangkaan BBM di daerah tersebut.
G.
Lifting Minyak
1.
DPD
RI memperkirakan lifting minyak dalam
tahun 2014 pada kisaran 860 ribu— 900 ribu barel per hari. Untuk itu perlu optimalisasi
perolehan dari sumur minyak yang sudah ada, serta percepatan produksi di
sumur-sumur minyak yang baru.
2.
Dalam
pengelolaan penerimaan migas, Pemerintah perlu melakukan reformasi dan
perubahan secara mendasar. Pemerintah harus secara tegas melakukan renegosiasi
kontrak karya perusahaan migas yang tidak adil dan merugikan kepentingan
bangsa.
3.
Untuk
menjamin ketahanan energi dalam jangka panjang, Pemerintah perlu merumuskan
strategi dan kebijakan ketahanan energi dan melaksanakannya secara konsisten
sebagai dasar pengembangan sumber energi alternatif dan terbarukan.
H.
Tingkat Kemiskinan
1.
Dengan laju pertumbuhan
ekonomi sebesar 6,8% pada tahun 2014, angka kemiskinan diperkirakan 9,0%—10,0%.
Target ini kemungkinan tidak akan tercapai tanpa upaya yang sinergi dalam
mengatasi akar masalah kemiskinan. Faktor utama penyebabnya adalah perkembangan
tenaga kerja tidak terampil di sektor perdesaan tidak bisa berpindah ke sektor
nonpertanian akibatnya penguasaan lahan per petani menjadi semakin sempit yang
berarti dengan tingkat teknologi tetap, produktivitas per petani menurun,
jumlah orang miskin meningkat.
2.
Terkait dengan kemiskinan, perlu reformulasi ukuran
kemiskinan, bukan hanya dilihat dari basic
needs saja, melainkan secara keseluruhan termasuk dari aspek sosial seperti
kesehatan dan pendidikan, termasuk askes dalam mendapatkan pelayanan umum.
3.
Berbagai kebijakan, program dan kegiatan pengurangan kemiskinan
yang dilakukan oleh kementerian/lembaga seringkali tidak terkoordinasikan
dengan baik sehingga tidak efektif dalam mengatasi kemiskinan struktural di
daerah. Upaya pengurangan kemiskinan di beberapa daerah perlu pemahaman
terhadap akar masalah kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat.
I.
Tingkat Pengangguran Terbuka
1.
Target penurunan tingkat
pengangguran terbuka dalam RAPBN TA 2014 sebesar 5,6%—5,9%.
Komposisi penyerapan tenaga kerja pada sektor-sektor ekonomi masih tetap
didominasi sektor pertanian, walaupun terus mengalami tren penurunan.
2. Target
penurunan pengangguran tahun 2014 akan sulit tercapai karena adanya kemungkinan
perlambatan laju pertumbuhan ekonomi. Langkah yang harus dilakukan
Pemerintah adalah mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa Bali
untuk menciptakan kesempatan kerja baru melaui perbaikan infrastruktur dan
peningkatan pelayanan perijinan untuk meningkatkan investasi.
3.
Di beberapa provinsi tingkat penganggurannya masih tergolong
tinggi. Diperlukan upaya khusus dari Pemerintah untuk memperluas kesempatan
kerja melalui fasilitasi pengembangan kegiatan usaha lokal, disertai kebijakan relokasi
tenaga kerja dan modal antardaerah.
4.
Kebijakan yang
terkait dengan upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan memerlukan efisiensi
birokrasi yang lebih baik, sehingga dana yang dialokasikan untuk keperluan
tersebut lebih efisien dan efektif dalam pelaksanaannya.
J.
Tingkat Kesenjangan
1.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu
menurunkan tingkat kesenjangan pendapatan. Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan kebijakan
yang terukur, nyata dan sistematik untuk mengurangi kesenjangan pendapatan,
sehingga optimis tingkat kesenjangan dapat
diturunkan menjadi 0,40 dengan prioritas daerah-daerah dengan tingkat kesenjangan
tinggi.
2. Langkah
yang harus dilakukan oleh Pemerintah, selain mendorong percepatan pembangunan
daerah-daerah yang relatif tertinggal adalah mendorong pemerintah daerah untuk
mengembangkan kegiatan ekonomi yang lebih inklusif dan padat karya dengan
melibatkan sebesar mungkin penduduk miskin. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi dapat
berdampak pada pengurangan kesenjangan antardaerah dan antarkelompok
masyarakat.
3. Untuk mengatasi kesenjangan
yang semakin besar, diperlukan kebijakan fiskal yang terarah kepada perhatian
yang lebih besar kepada peningkatan kinerja daerah yang tertinggal.
II.
PERTIMBANGAN TERHADAP PENDAPATAN NEGARA TAHUN 2014
1.
Perkembangan
realisasi pendapatan negara tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang signifikan,
dengan sumber utama pendapatan negara berasal dari penerimaan dalam negeri,
baik dari penerimaan perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak.
2.
Pemerintah
harus bekerja keras untuk mempertahankan dan meningkatkan penerimaan perpajakan
sehingga tax ratio secara bertahap akan meningkat sekurang-kurangnya 15%
dari PDB.
3.
Dalam
hal penerimaan negara bukan pajak (PNBP), Pemerintah perlu (a) mengoptimalkan penerimaan
deviden dan pajak dari BUMN, serta optimalisasi penerimaan dari minyak dan gas;
(b) mendorong investasi perusahaan minyak dan gas atas dasar kerja sama yang
solid dan saling menguntungkan dengan pemerintah daerah; (c) memperbaiki
distribusi minyak dan gas antardaerah; dan (d) mendorong kontrak karya pertambangan
yang lebih menguntungkan bagi peningkatan PNBP.
4.
Rencana
kenaikan tarif dasar listrik akan mendorong kenaikan harga barang dan jasa dan
membawa dampak menurunnya daya beli rakyat, terutama rakyat miskin. Pemerintah
perlu melakukan perbaikan layanan penyediaan listrik dan mempertimbangkan penerapan
tarif dengan tingkat efisiensi yang tinggi dengan kondisi profit.
III.
PERTIMBANGAN
TERHADAP BELANJA NEGARA TAHUN 2014
1.
Persentase
belanja Pemerintah Pusat cenderung lebih besar dari pada dana transfer ke daerah,
tidak sejalan dengan distribusi kewenangan antara pusat dan daerah, yang
berarti distribusi belanja negara belum sejalan dengan semangat otonomi daerah.
Dengan demikian peningkatan pesentase dana alokasi umum terhadap total APBN menjadi
sangat tepat.
2.
Berkaitan
dengan alokasi belanja Pemerintah Pusat, kenaikan belanja pelayanan umum harus
diimbangi dengan reformasi birokrasi menyeluruh dan berdampak langsung bagi
peningkatan pelayanan publik yang lebih optimal.
3.
Alokasi
subsidi energi dianggap tidak adil, karena sebagian besar subsidi, baik subsidi
BBM maupun subsidi listrik dinikmati oleh kelompok penduduk berpendapatan
menengah ke atas, kebijakan Pemerintah mengurangi subsidi sudah tepat, dan
dananya dialihkan secara bertahap mendukung percepatan pembangunan
infrastruktur di daerah.
4.
Peran
Pemerintah dalam mendukung pembangunan pertanian, kelautan, dan perikanan
selama ini masih belum optimal dalam memajukan pertanian, kelautan, dan
perikanan. Pemerintah perlu lebih fokus mendukung penyediaan subsidi yang tepat
sasaran dan langkah-langkah afirmatif untuk melindungi dan sekaligus mengembangkan
pertanian, perikanan, dan kelautan;
5.
Dalam
upaya mempercepat pembangunan daerah dan mendorong pemerataan pembangunan
antardaerah, format RAPBN perlu diubah sehingga mencerminkan pola alokasi dana
menurut kementerian/lembaga dan pola alokasi dana menurut wilayah.
6.
Kebijakan
fiskal harus tetap mempertahankan prioritas belanja modal untuk pembangunan
infrastruktur di berbagai daerah dan mempertahankan prioritas belanja untuk
peningkatan pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.
IV.
PERTIMBANGAN TERHADAP
KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TAHUN 2014
1. Kebijakan
desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui anggaran transfer ke daerah
merupakan salah satu instrumen fiskal yang harus dikelola secara optimal untuk
mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat, peningkatan produktivitas dan
penguatan daya saing daerah, percepatan pembangunan daerah serta untuk
mendorong pemerataan pembangunan di seluruh wilayah.
2. Rasio dana transfer daerah terhadap APBN cenderung tidak tetap, bahkan
menurun, yang seharusnya lebih besar dari kenaikan belanja
kementerian/lembaga. Hal itu sejalan dengan semangat otonomi daerah. Mengingat
dampak terbesar dari perlambatan pertumbuhan ekonomi dan menurunnya kegiatan
ekonomi adalah rakyat yang tinggal di daerah. DPD RI menganggap penting untuk
mengalihkan penambahan belanja kementerian/lembaga menjadi penambahan dana transfer
ke daerah.
3. Berkaitan dengan dana
transfer ke daerah, berbagai kebijakan yang ditempuh Pemerintah dalam
pengelolaan dana transfer ke daerah masih belum optimal dalam memacu pertumbuhan
ekonomi daerah. Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan dana transfer ke daerah
adalah (1) terlambatnya penerbitan petunjuk teknis; (2) kurang tertatanya manajemen
pengelolaan DAK; (3) terlambatnya penerbitan pedoman dan petunjuk teknis; dan (4)
kurang efektifnya penggunaan DAK sebagai akumulasi permasalahan sebelumnya.
4. Penataan pengelolaan
dana transfer ke daerah perlu diperbaiki sehingga mempunyai dampak nyata dan
terukur bagi pengurangan kesenjangan fiskal; peningkatan kualitas pelayanan
publik di daerah; peningkatan daya saing daerah; perluasan kesempatan kerja;
pengurangan kemiskinan; peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan daerah; dan
peningkatan penerapan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.
V.
PERTIMBANGAN TERHADAP
KONDISI LINGKUNGAN INVESTASI
1. Investasi langsung
dari luar negeri yang masuk ke Indonesia termasuk ke daerah sangat rendah
secara umum disebabkan oleh lingkungan
bisnis yang tidak kondusif. Faktor
utama penyebab permasalahannya meliputi, tapi tidak terbatas kepada:
a.
birokrasi Pemerintah
yang tidak efisien;
b.
penyediaan infrastruktur
tidak memadai;
c.
kebijakan yang tidak
stabil;
d.
akses pembiayaan;
e.
tenaga kerja yang tidak
cukup terdidik;
f.
etika kerja yang rendah;
g.
Pemerintahan yang berubah-ubah;
dan
h.
tingkat pajak dan retribusi
yang tidak tepat.
2.
Hambatan khusus bagi investor dalam negeri adalah
lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah serta rumitnya proses persetujuan
dan pelaksanaan investasi di daerah, termasuk diantaranya (a) lambatnya
prosedur dan proses untuk memulai usaha, terutama menyangkut lambatnya
pemberian izin usaha, tingginya biaya perizinan, dan lemahnya dukungan
permodalan; (b) rumitnya urusan di bidang ketenagakerjaan, terutama menyangkut
kontrak-kerja, upah minimum, jam kerja, dan jaminan pemutusan hubungan kerja;
dan (c) tidak jelasnya prosedur dan proses di bidang perpajakan, termasuk
jumlah jenis pajak dan proses pembayaran pajak.
3.
Investasi swasta masih terpusat di Jawa--terutama
di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten--dan beberapa provinsi, Hal
itu disebabkan oleh ketimpangan dalam penyediaan infrastruktur publik sebagai
pendukung utama investasi swasta. DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu
mengembangkan prioritas wilayah sebagai lokasi investasi swasta dengan
membangun infrastruktur dan memberikan berbagai insentif fiskal bagi investasi
di wilayah luar Jawa.
4.
Masalah khusus bagi pelaku usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi tidak hanya memerlukan stimulan dana bergulir, tetapi
juga memerlukan peningkatan kapasitas, penguasaan teknologi produksi dan
pengolahan, serta perluasan jaringan pemasaran.
5.
Umumnya industri tertentu membutuhkan pasokan
tenaga listrik dan air bersih yang cukup besar. Kenyataannya banyak daerah
tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam hal ini, PT PLN dan PDAM
diharapkan dapat mendukung penyediaan listrik dan air bersih di seluruh
wilayah.
VI.
PENUTUP
1.
Selama
kurun waktu tahun 2010—2013, pertumbuhan ekonomi daerah amat bervariasi.
Pertumbuhan ekonomi rata-rata selama 2010—2013 dari daerah-daerah kaya sumber daya
alam amat rendah, jauh di bawah rata-rata nasional, seperti Riau (3,32%), Kalimantan
Timur (2,44%), Nusa Tenggara Barat (1,75%), dan Papua (1,41%). Sementara itu,
angka inflasinya dalam kurun waktu 2010—2013 jauh lebih tinggi dari pertumbuhan
ekonominya. Kenyataan ini harus menjadi perhatian dalam upaya penetapan
kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal yang ditetapkan selama itu belum berhasil
mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran serta kesenjangan antardaerah
yang diakibatkan inflasi yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang rendah di
daerah kaya sumber daya alam. Penyempurnaan kebijakan fiskal untuk tahun 2014
menjadi sangat penting untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, dan
kesenjangan antardaerah.
2.
Kebijakan
desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui anggaran transfer ke daerah
merupakan salah satu instrumen fiskal yang harus dikelola secara optimal untuk
mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat, peningkatan produktivitas dan
penguatan daya saing daerah, percepatan pembangunan daerah serta untuk
mendorong pemerataan pembangunan di seluruh wilayah.
3.
Rasio dana transfer daerah terhadap APBN cenderung
tidak tetap, bahkan menurun, yang seharusnya lebih besar dari kenaikan belanja
kementerian/lembaga. Hal itu tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah,
sehingga perlu upaya untuk mengalihkan penambahan belanja kementerian/lembaga
menjadi penambahan dana transfer ke daerah.
4.
Investasi
langsung dari luar negeri yang masuk ke Indonesia termasuk ke daerah sangat
rendah secara umum disebabkan oleh lingkungan
bisnis yang tidak kondusif, dimana penyebab permasalahannya terutama karena birokrasi Pemerintah yang tidak efisien. Hal
ini hampir sama dengan investor dalam negeri yakni lemahnya koordinasi
antara pusat dan daerah serta rumitnya proses persetujuan dan pelaksanaan
investasi di daerah.
5.
Kesenjangan
pembangunan antardaerah dan ketertinggalan daerah tertentu yang terjadi sampai
saat ini harus secara bertahap diatasi dan dikurangi dengan berbagai langkah
yang terencana, sistematis, konsisten, dan berkesinambungan.
6.
Pertimbangan
DPD RI terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal serta
Dana Transfer Daerah dalam RAPBN TA 2014 perlu menjadi perhatian Pemerintah
dalam menyusun RAPBN TA 2014 sehingga memberikan stimulus bagi percepatan
pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan daya saing daerah dan sekaligus
daya saing nasional.
7.
Menjadi
sebuah tantangan baru bagi Pemerintah karena DPD RI mengusulkan tambahan format
APBN yang selama ini sudah disepakati. Format tambahan APBN adalah dengan
menampilkan anggaran berdasarkan wilayah provinsi dan dengan target yang
direncanakan dicapai untuk setiap tahunnya.
8.
Perlu
evaluasi dalam bentuk kajian sejauh mana implementasi Pertimbangan DPD RI
terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal serta Dana
Transfer Daerah dalam RAPBN TA 2013.
Jakarta,
8 Juli 2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
PIMPINAN
|