SDF

Ir. SARAH LERY MBOEIK - ANGGOTA DPD RI ASAL NTT - KOMITE 4, PANITIA PERANCANG UNDANG UNDANG(PPUU), PANITIA AKUNTABILITAS PUBLIK DPD RI TIMEX | POS KUPANG | KURSOR | NTT ON LINE | MEDIA INDONESIA | SUARA PEMBARUAN | KOMPAS | KORAN SINDO | BOLA | METRO TV | TV ON LINE | HUMOR
Sarah Lery Mboeik Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch
widgeo.net

Selasa, 09 Juli 2013

PELAKSANAAN PENGAWASAN ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BIDANG PERPAJAKAN


 BAB I
 PENDAHULUAN

A.   Umum
B.   Dasar Hukum
C.   Maksud dan Tujuan
D.   Keluaran dan Tindak Lanjut
BAB II
PELAKSANAAN PENGAWASAN ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BIDANG PERPAJAKAN

A.    Objek Pengawasan
B.    Aspek Pengawasan DPD RI
C.    Metode dan Instrumen Pengawasan
D.   Waktu dan Tempat Pengawasan
BAB III
TEMUAN DALAM PENGAWASAN ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BIDANG PERPAJAKAN
BAB IV
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V
PENUTUP


BAB I    
PENDAHULUAN

A.   UMUM
Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke-3 mengamanatkan  bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan undang-undang. Makna yang tersirat di dalamnya adalah bahwa legislator sebagai pembuat undang-undang hendaknya mengawasi secara seksama implementasi pemungutan pajak, jangan sampai aplikasinya menciderai rasa keadilan. Di sisi lain, jangan pula terjadi kebocoran dalam pungutan pajak dan terdapat pemborosan pada penggunaanya.
Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sebagai lembaga perwakilan yang menyuarakan aspirasi daerah menjadi strategis karena sesuai dengan amanat Pasal 224 ayat (1) huruf e UU Nomor 27 Tahun 2009, DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Pengawasan terhadap UU perpajakan dimaksud mencakup pajak pusat dan pajak daerah. Regulasi, implikasi, dan implementasi pajak pusat menjadi penting bagi daerah karena penerimaan dari pajak penghasilan perseorangan (PPh OP) dan pajak penghasilan karyawan (PPh Pasal 21) sebesar 20% dibagihasilkan ke daerah. Selain itu, terdapat jenis pajak pusat, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diserahkan kepada daerah yang memerlukan kesiapan dan perlu diamati secara seksama oleh DPD RI. 
Hal lain yang perlu dicermati dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah bahwa pembiayaan rutin pemerintahan daerah idealnya bertumpu pada sumber-sumber pendapatan daerah itu sendiri, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, hasil BUMD, dan lain-lain PAD, harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang benar. Sementara itu, munculnya pungutan daerah yang meresahkan masyarakat dan para investor agar dihindari, karena pada hakikatnya makna otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat melalui pemerintah daerah. 



B.   DASAR HUKUM
  1. Pasal 22D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
  2. Pasal 18A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
  3. Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
  4. Pasal 224 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
  5. Pasal 224 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa DPD menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
  6. Pasal 233 huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa Anggota DPD mempunyai kewajiban menampung dan meinidaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat.         
  7. Pasal 240 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa tugas panitia kerja DPD di bidang pengawasan adalah melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang tertentu.
  8. Pasal 259 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa DPD menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf f kepada DPR sebagai bahan pertimbangan.
  9. Pasal 5 ayat (1) huruf e Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib menyatakan bahwa DPD melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
  10. Pasal 5 ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib menyatakan bahwa DPD menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
  11. Pasal 68 ayat (4) huruf a Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib menyatakan bahwa tugas Komite di bidang pengawasan adalah melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang tertentu.
  12. Pasal 70 Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Komite IV memiliki lingkup tugas dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat yaitu anggaran pendapatan dan belanja negara; pajak dan pungutan lain; perimbangan keuangan pusat dan daerah; pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan anggota BPK; lembaga keuangan; dan koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah.      
  13. Pasal 159 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib menyatakan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh anggota dan komite.
  14. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 atas Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

C.   MAKSUD DAN TUJUAN
Dalam rangka pelaksanaan tugas DPD RI pada Tahun Sidang 2012—2013, DPD RI telah menetapkan program kerja dan target capaian yang dialokasikan ke dalam             masa sidang melalui komite masing-masing sebagai alat kelengkapan. Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan sesuai dengan amanat konstitusi, DPD RI memfokuskan pada pengawasan terhadap pelaksanaan beberapa undang-undang, di antaranya undang-undang bidang perpajakan.
Tujuan dilaksanakannya pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang perpajakan yaitu dalam rangka memfasilitasi kesenjangan informasi antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, serta dalam rangka memperoleh masukan dari daerah mengenai aspek kesadaran pajak di kalangan masyarakat di daerah, kualitas pelayanan pajak oleh aparat perpajakan, optimalisasi pemanfaatan dan penggalian potensi pajak, kendala yang dihadapi di daerah dalam pelaksanaan undang-undang perpajakan, serta bahan penyusunan kebijakan yang memberikan kemampuan perpajakan daerah (local taxing empowerment) secara tepat agar pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dengan baik dan proporsional.
Selain itu, pengawasan dimaksudkan agar tujuan pemungutan pajak dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945. Khusus untuk pajak daerah dan retribusi daerah, peruntukkannya (earmarking) tidak menyimpang dari yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah. 


D.   KELUARAN DAN TINDAK LANJUT
Hasil pengawasan DPD RI ini disahkan pada tanggal 8 Juli 2013 dalam Sidang Paripurna ke-15 Masa Sidang IV Tahun Sidang 2012—2013 dan selanjutnya disampaikan kepada DPR RI, Pemerintah, dan lembaga-lembaga negara terkait guna ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

BAB II
 PELAKSANAAN PENGAWASAN                                                                                                   ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BIDANG PERPAJAKAN

A.   OBJEK PENGAWASAN
Salah satu program kerja DPD RI pada Tahun Sidang 2012—2013 adalah pengawasan atas pelaksanaan undang-undang di bidang perpajakan, baik pajak pusat maupun pajak daerah. Berbagai permasalahan secara umum terkait dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan di daerah menjadi dasar bagi Komite IV DPD RI melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dimaksud.  
Undang-undang tentang perpajakan tersebut meliputi (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009; (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008; (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009; dan (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dalam pengawasan ini, substansi peraturan perundang-undangan bidang perpajakan tersebut juga berkaitan dengan target penerimaan negara dalam UU APBN-P TA 2013 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan, seperti Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengenai dana bagi hasil pajak pusat kepada daerah.   
Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang perpajakan ini merupakan bentuk tindak lanjut terhadap aspirasi masyarakat dan daerah yang ditampung oleh DPD RI.  

B.   ASPEK PENGAWASAN
1.   Aspek Yuridis
Paradigma dasar pungutan pajak di Indonesia telah berubah sejak amandemen ke-3 UUD 1945, yang ditegaskan dalam Pasal 23A, yaitu bahwa pajak dan segala pungutan yang bersifat memaksa diatur dengan undang-undang. Hal  tersebut berbeda dengan pengaturan sebelumnya yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.
Makna dari perubahan paradigma tersebut adalah bahwa pungutan pajak tidak boleh dilimpahkan kepada peraturan perundang-undangan selain yang ditetapkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti dari     UU Nomor 10 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53. Di dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011, hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Ketetapan MPR;
c.    UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU;
d.    Peraturan Pemerintah;
e.    Peraturan Presiden;
f.     Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
                                  
Seperti halnya pajak daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009, implementasinya ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 23A UUD 1945 juncto Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011, terhadap hal-hal yang substansial mengenai pajak daerah dan retribusi daerah tidak boleh ditetapkan dengan peraturan yang lebih rendah dari peraturan daerah, misalnya keputusan kepala daerah. Demikian juga terhadap pajak-pajak pusat hendaknya pengaturan substansial harus disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut.
2.   Aspek Filosofis
Makna dari otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat lokal melalui pemerintah daerah. Oleh karena itu, kedudukan pajak dan retribusi daerah adalah semata-mata sebagai sarana untuk membiayai pelayanan bukan sebagai tujuan. Yang membedakan hakikat tujuan pajak daerah dan retribusi daerah adalah peruntukkan (earmarking) dari bentuk imbalan/kontraprestasi yang diberikan.    
Untuk pajak daerah, imbalan yang diberikan oleh pemerintah daerah berupa pelayanan pada sektor pajak yang bersangkutan, sedangkan untuk retribusi daerah, imbalan yang diberikan berupa pelayanan kepada pembayar retribusi. Dengan demikian, pungutan pajak harus terdapat imbalan. Misalnya, penggunaan pajak kendaraan bermotor akan diprioritaskan untuk memberikan pelayanan berupa kenyamanan bagi sektor pajak kendaraan bermotor secara menyeluruh, seperti perbaikan jalan raya, pembuatan trotoar untuk kenyamanan pejalan kaki agar tidak mengganggu pengendara kendaraan bermotor, dan perbaikan tempat pemberhentian bus. Untuk penggunaan retribusi daerah diberikan khusus bagi pelayanan pembayar retribusi, misalnya, retribusi pembuangan sampah digunakan untuk melayani pembayar retribusi sampah dan retribusi izin mendirikan bangunan (IMB) diberikan kepada yang membayar IMB.
Sering kali terdapat kesalahan dalam arah penggunaan penerimaan pajak dan retribusi daerah jika ditinjau dari aspek filosofis. Indonesia telah menuangkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea ke-4 tujuan negara, yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
3.   Aspek Sosiologis
Keberadaan pungutan pajak harus dirasakan adil dan sesuai dengan kemampuan pembayar pajak. Dalam pungutan pajak ada unsur paksaan, tetapi paksaan tersebut harus dirasakan adil bagi masyarakat. Adanya sanksi pidana bagi pembayar pajak yang lalai dalam memenuhi kewajibannya merupakan ultimum remidium yaitu sarana akhir Pemerintah apabila sanksi administratif tidak dipenuhi oleh pembayar pajak.  

C.   METODE DAN INSTRUMEN PENGAWASAN
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 58 Peraturan Tata Tertib DPD RI bahwa pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dilakukan melalui rangkaian kegiatan        (1) pembahasan terhadap aspirasi masyarakat; (2) inventarisasi masalah; (3) dan pengayaan materi pengawasan melalui kunjungan kerja yang selanjutnya dilakukan penyusunan hasil pengawasan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 70 ayat (2) Peraturan Tata Tertib DPD RI, pembahasan materi yang berkaitan dengan pajak dan pungutan lain menjadi lingkup tugas Komite IV DPD RI.
Dalam rangka penyusunan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang perpajakan, digunakan metode kualitatif yaitu meliputi penyerapan aspirasi masyarakat, rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum dengan pakar dan ahli, serta kuesioner kepada pejabat pemungut pajak dan wajib pajak.    
D.   WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN KEGIATAN
Untuk mencapai target dan sasaran yang diinginkan dalam pengawasan tersebut, DPD RI telah melakukan berbagai aktivitas berdasarkan agenda kegiatan yang telah disusun sesuai dengan program kegiatan berikut.
  1. Penyerapan aspirasi masyarakat pada saat kegiatan Anggota DPD RI di daerah pemilihan selama periode Tahun Sidang 2012—2013, khususnya pada kunjungan kerja Komite IV DPD RI ke provinsi masing-masing yang dilaksanakan pada tanggal 18—21 Maret 2013.
  2. Penyusunan Hasil Pengawasan DPD RI atas Pelaksanaan Undang-Undang Bidang Perpajakan yang dilaksanakan pada tanggal 1—5 Juli 2013.


BAB III
TEMUAN DALAM PENGAWASAN                                                                                                     ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BIDANG PERPAJAKAN

Dalam pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang perpajakan, Komite IV menemukan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu tampak pada uraian berikut.
1.   Kebijakan Umum Perpajakan
a.      Sistem perpajakan yang dianut selama ini dikenal dengan self assessment yaitu wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajak yang terutang.
b.     Kendala yang dihadapi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam pelaksanaan sistem perpajakan self assessment yaitu:
(1)    DJP tidak dapat langsung melakukan tindakan penegakan hukum berupa penetapan pajak apabila ditemukan adanya ketidakpatuhan atas sistem self assessment yang dilakukan oleh wajib pajak.
(2)    DJP memerlukan data transaksi ekonomi yang terbaru, tetapi pada kenyataanya data yang dimiliki/diterima oleh DJP kurang memadai sehingga DJP mendapatkan kesulitan dalam melakukan penetapan pajak.
(3)    perbandingan sumber daya manusia (SDM) petugas pajak dengan jumlah wajib pajak tidak seimbang sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan pengawasan sistem self assessment secara optimal.
c.      Apabila wajib pajak tidak melaksanakan self assessment dengan benar, DJP akan melakukan:
(1)   diseminasi kebijakan dan perlakukan perpajakan secara berkesinambungan yang dilaksanakan dengan mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat, misalnya tokoh masyarakat, perguruan tinggi, LSM, asosiasi pengusaha, pedagang, dan asosiasi profesi lainnya;
(2)   knowing your taxpayers dengan tujuan meningkatkan kepatuhan wajib pajak;
(3)   kegiatan pendukung (supporting activities) yaitu kemitraan dengan dunia usaha (industry partnership) dan Pemerintah Daerah;
(4)   aktivitas imbauan (leverage activity) dan kunjungan ke lokasi usaha wajib pajak;
(5)   panggilan wajib pajak untuk konseling;
(6)   penjelasan mengenai peraturan perpajakan yang harus dilaksanakan;
(7)   pengembangan sistem pengelolaan data yang lengkap, akurat, terintegrasi, dan terjamin kerahasiaannya (database management system) sehingga dapat digunakan untuk mendukung kegiatan pelayanan pengawasan WP;
(8)   pemeriksaan (audit pajak) atas kewajiban perpajakan; dan
(9)   penegakan hukum secara konsisten berupa tindakan pemeriksaan, penagihan, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan.
d.      Mulai tahun 2013 jenis pajak pusat, yaitu pajak bumi dan bangunan sektor perkotaan dan perdesaan dilimpahkan ke daerah kabupaten/kota. Untuk itu, segala sarana dan prasarana mengenai pajak tersebut hendaknya juga dilimpahkan agar daerah menjadi eksis dalam pemungutan pajak. Satu kenyataan bahwa ketika pelimpahan pajak pusat menjadi pajak daerah, penerimaan daerah dari pajak menjadi berkurang karena daerah kurang memiliki data dan sistem administratif yang terbaru, misalnya besaran nilai jual objek pajak (NJOP).   
e.      Terdapat kebijakan tarif pajak daerah provinsi dan kabupaten/kota yang berbeda sehingga menimbulkan kesenjangan dalam pengenaan pajak antardaerah.   
f.       Beberapa kendala yang dihadapi dalam implementasi pelimpahan BPHTB, yaitu:
(1)    pemeriksaan lapangan/verifikasi surat setoran pajak daerah (SSPD) terkendala:
(a)    wajib pajak banyak yang tidak melakukan verifikasi setelah penyetoran,
(b)   wajib pajak langsung melakukan pemindahan hak di BPN melalui PPAT, dan
(c)    PPAT dan BPN melayani pemindahan hak walaupun tanpa ada verifikasi dari Dispenda;
(2)    proses jual beli yang dipakai adalah harga transaksi dan harga transaksi yang diajukan dalam SSPD BPHTB lebih kecil dari NJOP, sedangkan NJOP itu lebih kecil dari harga pasar sehingga setoran SSPD BPHTB banyak yang mengacu pada NJOP. Hal ini merupakan salah satu indikasi wajib pajak yang berusaha menghindar dari proses pemeriksaan lapangan/verifikasi SSPD BPHTB;
(3)    fungsi data dan informasi belum berjalan maksimal karena data dan informasi untuk setiap objek pajak belum ada; dan
(4)    pihak kelurahan sering kali tidak mengetahui apabila sudah terjadi proses jual beli atau pengalihan hak di lingkungannya.
g.      Agar dilakukan memorandum of understanding (MoU) antara Pemerintah Daerah dan Kanwil Ditjen Pajak setempat yang berkaitan dengan sinkronisasi data pungutan pajak pusat dan pajak daerah supaya terdapat equalisasi dasar pungutan pajak pusat dan pajak daerah. Selain itu, MoU diperlukan guna diperoleh transparansi dan akuntabilitas terhadap bagi hasil atas pajak pusat kepada daerah.
h.      Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) diusulkan untuk diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah provinsi dalam bentuk retribusi daerah yang hasil penerimaannya dibagikan kepada kabupaten/kota. Penyerahan PNBP kepada daerah ini dilakukan dengan pertimbangan:
(1)    untuk memperkuat pelaksanaan otonomi daerah;
(2)    untuk memperbesar komposisi pendapatan asli daerah dalam struktur pendapatan daerah;
(3)    untuk mengingatkan bahwa bagian Pemerintah Pusat hanya 20%; dan
(4)    untuk mengingatkan bahwa pemungutan PNBP dipandang tidak optimal dilakukan oleh Pemerintah Pusat karena:
(a)    Pemerintah Pusat tidak memiliki perangkat aparat di daerah;
(b)   kantor pusat perusahaan sebagai wajib PNBP tersebar di seluruh wilayah Indonesia; dan
(c)     pelayanan perizinan telah dilakukan oleh daerah.
2.   Sosialisasi dan Edukasi Perpajakan
a.      Sistem perpajakan yang berlaku adalah memberikan kepercayaan kepada wajib pajak, tetapi dalam aplikasinya masih perlu dilakukan upaya peningkatan kesadaran dan kepatuhan melalui sosialisasi, edukasi, dan penyuluhan kepada wajib pajak.
b.      Kesadaran tersebut perlu ditanamkan mulai usia dini melalui kurikulum pendidikan sejak SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Memang saat ini telah ada program pajak masuk kampus (tax goes to campus), tetapi pelaksanaannya kurang efektif dan tidak komprehensif.   
c.      Kepemilikan laman (website) oleh Ditjen Pajak agar dipertahankan dan peraturan perpajakan yang dimuat harus up to date serta mudah diakses oleh publik.
3.   Pelayanan dan Pemungutan Pajak
a.      Pelayanan petugas pajak di sebagian besar wilayah Indonesia dirasakan masih kurang optimal. Hal itu disebabkan kurangnya jumlah petugas pajak jika dibandingkan dengan luas dan sulitnya daerah yang dilayani.
b.      Kekurangnyamanan wajib pajak terhadap pelayanan pembayaran PBB setelah menjadi pajak daerah disebabkan kurangnya koordinasi pelimpahan sarana dan prasarana administrasi perpajakan dari pusat ke daerah.
c.      Adanya keresahan wajib pajak terhadap pemungutan ataupun pelayanan PBB dan BPHTB setelah menjadi pajak daerah disebabkan masih kurangnya sosialisasi dari Dinas Pendapatan Daerah yang bertanggung jawab atas pemungutan PBB dan BPHTB.  
d.      Masyarakat mengharapkan adanya keringanan pemungutan PBB terhadap objek pajak yang belum diberdayakan untuk proses produksi (lahan tidur).
e.      Pelaksanaan Pasal 171 UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif pungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang kemudian diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 ternyata tidak mudah dilaksanakan. Hal tersebut disebabkan ketidakjelasan kriteria kinerja tertentu yang dipersyaratkan serta tidak diikutsertakannya insentif bagi DPRD yang terlibat dalam kebijakan peningkatan penerimaan pajak daerah. Hal tersebut dapat menimbulkan peluang tindak pidana korupsi karena merugikan keuangan negara apabila dianggap terjadi penyimpangan dalam pemberian dan pemanfaatan insentif pungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
4.   Bagi Hasil Penerimaan Pajak Pusat
a.      Berdasarkan ketentuan undang-undang, daerah memperoleh bagi hasil atas pajak perseorangan dan pajak upah karyawan sebesar 20%. Akan tetapi, hal itu dirasakan oleh daerah bahwa perhitungan ataupun besaran dari penerimaan pajak tersebut tidak transparan sehingga pemerintah daerah merasa tidak memperoleh manfaat yang optimal atas keberadaan perusahaan besar yang berada di daerah dari sisi bagi hasil penerimaan pajak.
b.      Besaran bagi hasil pajak perseorangan dan pajak karyawan adalah 20%, provinsi akan memperoleh 8% dan selebihnya 12% menjadi hak kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan. Namun, tata cara perhitungannya masih menimbulkan kecurigaan antardaerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, diusulkan agar dibuat sistem yang transparan dan akuntabel dalam bagi hasil dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah ataupun antardaerah itu sendiri.
c.      PBB sektor pertambangan dan kehutanan jika dikelola pemungutannya oleh pemerintah daerah akan memerlukan biaya yang besar dibandingkan dengan penerimaan PBB-nya. Meskipun dari aspek administratif, pengelolaan PBB sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan tidak mengalami kesulitan.
d.      Pemerintah Pusat perlu memberikan peluang bagi daerah agar kreatif dan optimal menggali sumber-sumber penerimaan pajak daerah, seperti area udara yang digunakan dan dikelola oleh provider telekomunikasi yang selama ini hanya dikenakan pungutan biaya izin bangunan tower, retribusi atas tambat kapal di daerah, serta pengenaan pajak kendaraan bermotor yang melewati lintas batas negara.
e.      Penerimaan pajak ekspor CPO dan PKO belum secara penuh diterima oleh daerah karena hasil perkebunan termasuk dalam kategori bukan hasil alam. Selain itu, pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dana bagi hasil perkebunan tidak termasuk dalam DBH.
5.   Penegakan Hukum (Law Enforcement) Perpajakan
Pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan hendaknya dilakukan secara hati-hati karena tujuan dari Ditjen Pajak adalah untuk menghimpun penerimaan dari sektor pajak. Sanksi pidana dikenakan sebagai upaya akhir agar wajib pajak melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Untuk itu, hendaknya sanksi administratif lebih diutamakan daripada pemidanaan. Satu dan lain hal agar law enforcement tidak disalahgunakan menjadi objek pemerasan oleh aparat pajak.       
6.   Hubungan dengan Dunia Usaha
a.      Kadin/asosiasi pengusaha tidak selalu dilibatkan untuk memberikan masukan dalam penyusunan peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
b.      Kadin belum pernah mengetahui adanya kontrak/perjanjian antara pengusaha dan Pemerintah Pusat/pemerintah daerah berkaitan dengan perpajakan.
c.      Pengusaha belum merasakan adanya insentif pajak karena insentif pajak lebih banyak diberikan kepada industri.
d.      Pengusaha mengharapkan dapat memperoleh fasilitas terkait perpajakan dan retribusi pada sektor infrastruktur (jalan, jembatan, dan pelabuhan); sektor perizinan usaha; sektor perkebunan sawit dan karet, sektor pertambangan, dan pengolahan hasil-hasilnya; serta pengurangan pajak  bahan baku dan ekspor.

BAB IV
SIMPULAN DAN REKOMENDASI

1.    Sistem self assessment yang memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terutang ternyata kurang dipatuhi secara benar oleh pembayar pajak. Hal itu disebabkan kurangnya pengawasan dan law enforcement terhadap kepatuhan wajib pajak.
DPD RI merekomendasikan agar dijalin kerja sama antarkementerian dan antarlembaga guna memberikan informasi data yang up to date untuk pengawasan atas kepatuhan wajib pajak.         
2.    Pelimpahan kewenangan pengelolaan pajak pusat kepada daerah menyebabkan penerimaan daerah menjadi berkurang. Hal itu disebabkan regulasi pajak daerah yang tidak menguntungkan serta pelimpahan menjadi pajak daerah tidak disertai dengan sarana dan prasarananya.
DPD RI mengapresiasi taxing empowerment kepada daerah melalui UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tetapi hendaknya dilakukan koordinasi melalui MoU antara Pemerintah Daerah dan Kanwil Ditjen Pajak setempat agar pelimpahan pajak pusat kepada daerah menjadi optimal bagi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).                     
3.    Terdapat kebijakan tarif pajak daerah provinsi dan kabupaten/kota yang berbeda hingga menimbulkan kesenjangan dalam pengenaan pajak antardaerah.
DPD RI merekomendasikan, ketentuan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 menetapkan sistem tarif maksimum, tetapi diupayakan agar implementasinya tidak menimbulkan kesenjangan antardaerah.
4.    Pelaksanaan Pasal 171 UU Nomor 28 Tahun 2009 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif pajak daerah dan retribusi daerah menimbulkan kerawanan adanya tindak pidana korupsi.
DPD RI merekomendasikan pengaturan insentif pajak daerah dan retribusi daerah agar diatur secara kondusif supaya memberikan manfaat kepada stakeholders yang melaksanakan pungutan pajak daerah dan retribusi daerah dengan baik dan benar serta tidak menimbulkan kesalahan interpretasi yang dapat menyebabkan pengenaan tindak pidana.    
5.    Pelayanan dalam sosialisasi pajak jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, seperti adanya laman dan registrasi online. Selain itu, telah dilakukan reformasi birokrasi di tubuh Kementerian Keuangan dengan baik.
DPD RI memberikan apresiasi kepada Kementerian Keuangan yang telah melakukan langkah modernisasi dalam sistem perpajakan karena hal tersebut memang harus dilakukan dalam upaya meningkatkan penerimaan perpajakan di era global. Selain itu, reformasi birokrasi memang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan profesionalisme kinerja melalui sistem reward and punishment di jajaran pemerintahan.
6.    Berkaitan dengan bagi hasil atas penerimaan pajak pusat kepada daerah yaitu PPh perseorangan dan PPh karyawan, diperlukan adanya transparansi dan akuntabilitas data penerimaan pajak yang dapat diakses dengan mudah.
DPD RI merekomendasikan agar dilakukan MoU antara Pemerintahan Daerah dan Kanwil Ditjen Pajak setempat mengenai hal tersebut agar koordinasi antara Pemda, DPRD, dan Kanwil Ditjen Pajak dapat terwujud.  




BAB V
PENUTUP

Demikian hasil pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas pelaksanaan undang-undang bidang perpajakan ini disusun dan disampaikan sesuai dengan amanat konstitusi.
Hasil pengawasan ini selanjutnya disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun dan menetapkan kebijakan legislasi.
Jakarta, 8 Juli 2013