SDF

Ir. SARAH LERY MBOEIK - ANGGOTA DPD RI ASAL NTT - KOMITE 4, PANITIA PERANCANG UNDANG UNDANG(PPUU), PANITIA AKUNTABILITAS PUBLIK DPD RI TIMEX | POS KUPANG | KURSOR | NTT ON LINE | MEDIA INDONESIA | SUARA PEMBARUAN | KOMPAS | KORAN SINDO | BOLA | METRO TV | TV ON LINE | HUMOR
Sarah Lery Mboeik Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch
widgeo.net

Kamis, 08 September 2011

Pertimbangan APBN 2011 oleh Sarah Lery Mboeik

Pertimbangan APBN 2011 oleh Sarah Lery Mboeik, masukan dr yuna

Dari data kapasitas fiskal, sulit kalau kita melihat transfer daerah lewat perspektif indonesia timur, kecenderungan disparitas tinggi di Indonesia Timur terutama karena ada daerah penghasil SDA memiliki kapasitas fiskal tinggi. Saya melihat ada dua kategori Indonesia Timur : Daerah Kaya, Penduduk Miskin (seperti Papua) dan Daerah Miskin Penduduk Miskin (seperti NTT). Dari perspektif transfer daerah, analisis NTT dapat disampaikan sbb:

1.Indeks kapasitas fiscal NTT terendah sebesar 0,2974 atau nomor 2 setelah NTB. Artinya, kemampuan keuangan NTT rendah, namun penduduk miskinnya banyak
2.Berapa Banyak Anggaran Pusat yang mengucur ke NTT (APBN 2010)?
3.DBH Pajak NTT nomor urut 9 terendah dengan kisaran Rp. 350 milyar
4.Sebagai daerah yang tidak memiliki SDA, DBH Sumber Daya Alam NTT nomor 4 terendah kurang dari 1 milyar pertahunnya
5.Rendahnya kemampuan keuangan daeran NTT, DAU berada pada urutan 9 tertinggi 6 trilyun secara akumulatif
• DAK berada pada urutan ke 7 tertingi 1,3 trilyun
• Dana Dekonsentras urutan 10 terbesar Rp. 1 trilyun
• Dana Tugas Pembantuan urutan ke 6 terbesar Rp. 600 milyar
6.Analisis: Komposisi belanja dari pusat menunjukan:
•NTT daerah yang miskin sumber daya alam, DBHnya sedikit, Daerah dengan penduduk miskin, DBH pajak rendah
•NTT lebih banyak ditopang dari belanja pusat (DAU, DAK, DEKON, Tugas Pembantuan)
•Lalu kenapa NTT tetap miskin dan mengalami ritual kelaparan, karena : Dana-dana dari pusat yang menopang NTT (DAU, DAK, DEKON, Tugas Pembantuan) sudah ditentukan oleh Pusat. Daerah hanya menjadi tukang catat aja di APBD uang yang mengalir tanpa penya kewenangan. Kecuali DAU walalupun tidak ditentukan programnya, namun 80% habis untuk membayar belanja pegawai, Sedangkan DAK sudah ditentukan peruntukan alokasinya secara seragam seluruh Indonesia. Dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan program kementerian/Lembaga yang juga sudah ditentukan programnya dari Pusat. Hal ini yang menyebabkan anggaran dari pusat tidak efektif mengatasi kemiskinan di NTT.

7.Kemiskinan di NTT masih dipandang sebatas proyek oleh pusat. Berapapun besar anggaran Pusat yang dikucurkan ke NTT tidak akan menyelesaikan persoalan kemiskinan, sepanjang masih bersifat top down dari pusat

8.Kemiskinan di NTT juga tidak akan pernah berkurang mengingat tinggi nya tingkat penyimpangan anggaran di NTT. Berdasarkan Hasil AUDIT BPK Semester II tahun 2009 NTT merupakan daerah dengan Nilai temuan penyimpangan anggaran tertinggi dengan total Rp. 106 Milyar dengan jumlah kasus 47 kasus, lebih tinggi dari daerah-daerah yang memiliki APBD besar seperti RIAU, KALTIM dan DKI Jakarta.

9.Untuk itu DPD harus memperjuangkan revisi UU Perimbangan Keuangan PUSAT-DAERAH yang lebih adil, sekarang ini semakin banyak dana-dana liar ke daerah pada nomenklatur dana penyesuaian yang di mainkan oleh para mafioso

Selasa, 06 September 2011

KESIMPULAN HASIL RESES JUL - AGUS 2011

KESIMPULAN HASIL RESES 16 JULI-08 AGUSTUS 2011
DAERAH PEMILIHAN PROPINSI NUSA TENAGGARA TIMUR
MENYOAL PENEGAKAN HUKUM DAN PELAYANAN PUBLIK

Indonesia adalah Negara hukum. Demikianlah amanat UUD 1945, sebagaimana yang tertera dalam pasal 1 ayat (3). Sebagai sebuah Negara hukum, seharusnya memiliki 3 (tiga) pilar yang kuat, yakni: Pertama, Supremasi hukum (Supremation Of Law). Kedua, Persamaan didalam hukum (Equality Before The Law). Ketiga, perlindungan terhadap pemenuhan hak asasi manusia (Constitution Based On The Human Right).
Ironisnya dalam praktek bernegara di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masih merupakan bagian integral dari Indonesia, makna dari negara hukum ini semakin kabur. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak maksimalnya kinerja aparat hukum dalam menegakan hukum. Fakta membuktikan bahwa kasus korupsi kian merajalela. Data PIAR NTT selama 5 tahun terakhir menunjukan bahwa tingkat kerugian Negara semakin tahun semakin memprihatinkan. (Lihat Tabel). Khusus ditahun 2010 PIAR NTT mencatat dari ke-131 kasus korupsi yang terjadi di NTT terdapat pelaku bermasalah sebanyak 531 orang dan 76 orang diantaranya melakuakan pengulangan tindak korupsi. Para Pelaku bermasalah/Aktor dari 131 kasus dugaan korupsi yang dipantau oleh PIAR, terbanyak 191 orang mempunyai jabatan sebagai anggota DPRD.
Ditengah maraknya kasus korupsi di NTT ini, pihak kepolisian melakukan SP3 terhadap berkas dari dr. Stef Bria Seran yang sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak tahun 2003 dan sempat menjadi tahanan polisi kurang lebih 14 (empat belas). SP3 ini didasarkan pada pasal 109 ayat (2) KUHAP, yang pada intinya mengamanatkan bahwa SP3 terhadap suatu Kasus hanya boleh terjadi apabila: Pertama, Tidak terdapat cukup bukti. Kedua, Bukan merupakan tindak pidana. Ketiga, Dihentikan demi hukum.
Hal ini sangat lucu karena jika dilihat dari aspek hukum, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa seseorang dapat menjadi tersangka karena perbuatanya atau keadaanya, berdasarkan bukti permulaan yang cukup patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Bukti permulaan berarti bukti-bukti awal sebagai dasar untuk menduga adanya tindak pidana. Sayangnya KUHAP dan Penjelasannya tidak mengatur lebih lanjut mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan bukti permulaan itu sendiri. Berdasarkan SK Kapolri, SK No. Pol. SKEEP/04/I/1982. Bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua di antara: 1. Laporan Polisi, 2. Berita Acara Pemeriksaan di TKP, 3. Laporan Hasil Penyelidikan, 4. Keterangan Saksi/saksi ahli, dan 5. Barang Bukti. Yang setelah disimpulkan menunjukkan telah terjadi tindak pidana kejahatan. Sedangkan yang dimaksud dengan alat bukti yang sah telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi, b. keterangan ahli, c. surat, d. petunjuk, e. keterangan terdakwa.
Kinerja aparat hukum yang sangat melukai rasa keadilan rakyat ini juga terjadi dalam hal penegakan hukum kasus pembunuhan dan atau kematian. Di Kab. TTU, sejak tahun 2008 sampai dengan saat ini terdapat 21 kasus pembunuhan yang di tangani oleh pihak kepolisian dan belum terungkap. Belum lagi kasus kematian tahanan didalam sel kepolisian seperti kasus paulus usnaant di polsek Nunpene Kab. TTU, Daniel Mellu yang meninggal di Pospol Toianas Kab. TTS dan Marthen Thine (50), seorang tahanan, tewas di Blok I Rumah Tahanan (Rutan) Ba'a, Rote Ndao.

Buruknya kinerja aparat hukum ini sejalan dengan buruknya kualitas pelayanan publik untuk kesejahteraan rakyat di berbagai bidang masih jauh dari harapan. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa Kualitas pelayanan publik merupakan salah satu indikator apakah proses dan produk kebijakan politik di daerah telah berpihak kepada rakyat. Selain itu, Kualitas pelayanan publik juga merupakan ukuran untuk menentukan apakah desain dan pemberian pelayanan pemerintah telah memenuhi apa yang menjadi kebutuhan atau keinginan dari rakyat.

Realitas pelayanan kesehatan di Kabupaten Kupang menunjukan bahwa, di desa Fatukona yang sampai saat ini tidak memiliki PUSTU, Desa Sillu yang memiliki PUSTU yang sangat sempit dan desa oesusu yang memiliki Pustu tapi tidak memiliki bidan dan atau perawat. Dari aspek pelayanan pendidikan untuk mencapai kecerdasan bangsa, desa fatukona hanya memiliki bangunan SD Negeri yang terbuat dari dinding bebak dan atap daun. Di SD Negeri Fatokona ini juga, hanya terdapat 2 (dua) orang guru negeri dan sisa lainnya adalah 4 orang guru komite. Dengan kondisi yang seperti ini tidaklah mengherankan apabila kebanyakan muridnya walaupun sudah kelas V namun belum pandai dalam hal membaca. Bahkan setelah menamatkan SD warga desa fatukona lebih memilih bekerja sebagai TKI/TKW di negeri Jiran Malaysia karena sangat sulit mengakses sekolah lanjutan baik dari segi jarak maupun kualitas murid.

Sejalan dengan berbagai persoalan dalam hal penegakan hukum dan pelayanan publik, maka sudah saatnya para pengambil kebijakan memperbaiki kinerjanya. Sebab, dalam koridor hukum Hak Asasi Manusia (HAM), Negara (State) merupakan aktor utama yang memegang kewajiban dan tanggung jawab (Duty Holders) untuk memenuhi HAM sementara massa-rakyat merupakan pemegang hak (Rights Holders). Itu berarti, massa-rakyat memiliki hak untuk menuntut pemenuhan HAM mereka karena Negara berkewajiban memenuhinya.

Untuk itu dalam hal penegakan hukum ada 4 (empat) hal yang harus diperbaiki oleh para pengambil kebijakan, yakni: sistem pemerintahan, produk hukum, aparat pelaksana, fasilitas penunjang dan kesadaran hukum masyarakat. Sedangkan dalam hal pelayanan public para pengambil kebijakan harus merubah paradigm dari aparatusnya. Artinya pelayanan public harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, akuntabiltas, responsibilitas diatas landasan paradigma baru yang menempatkan birokrasi bukan sebagai penguasa tetapi lebih sebagai pelayan masyarakat.

SARAH LERY MBOEIK
SENATOR NTT

RESES JULI - AGUSTUS 2011

LAPORAN NARASI KUNJUNGAN KERJA
ANGGOTA DPD RI IR.SARAH LERY MBOEIK B 76
TANGGAL, 16 Juli – 08 Agustus 2011

PENGANTAR :

Misi DPD RI memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah demi mewujudkan pemerataan pembangunan kesejahteraan rakyat dalam rangka memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara berkesinambungan, Mendorong perhatian yang lebih besar dari pemerintah pusat terhadap isu-isu penting di daerah serta Mengembangkan pola hubungan dan kerjasama yang sinergis dan startegis dengan pemilik kepentingan utama di daerah dan di pusat adalah satu dari beberapa misi yang di emban DPD RI.
Menindaklanjuti penugasan tersebut maka pada Kunjungan kerja tiga bulan kedua setelah pelantikan, setiap anggota DPD RI telah melakukan Kunker ke daerah pemilihan sejak tanggal, 16 Juli – 11 Agustus 2011 dengan harapan adanya penyerapan aspirasi persoalan Kepentingan daerah yang dapat dibahas dan ditindaklanjutin secara bertanggung jawab pada tingkat nasional; Ini juga merupakan dari akuntabilitas legislator pada konstituennya
Sebagai anggota dari alat kelengkapan di Komite IV, dan Panitia Akuntabilitas Publik DPD RI kami sadari bahwa keterbatasan infomasi masyrakat tentang alat kelengkapan dan kewenangan masing-masing anggota seringkali diabaikan oleh masyarakat atas kewenangan tersebut untuk itu pada laporan reses ini aspirasi yang masuk kami tidak membatasinya pada ruang lingkup kerja kami sebagai anggota komite IV dan PAP DPD RI tetapi hampir semua persoalan masyarakat disampaikan pada forum forum publik ditengahkan pada laporan reses periode ini.
Laporan ini dibuat sebagai bagian pertanggungjawaban anggota baik kepada konstituen maupun kelembagaan DPD RI untuk dapat dibahas, dicari penyelesaian sesuai dengan mekanime dan kewenangan DPD yang tercantum dalam UU 10 tahun 2009. Berdasarkan pengalaman dua tahun menjadi anggota DPD RI, banyak sekali aspirasi yang masuk hanya dibaca dalam paripurna tanpa ditindaklanjutin lebih konkrit dan berkeadilan khususnya masalah-masalah yang sistemik. Keseriusan pimpinan dan alat kelengkapan untuk menindaklanjutin berbagai temuan persoalan yang diterima seluruh anggota pada masa reses ini adalah prioritas dan tak bisa diabaikan ataupun ditunda, demi membangunlegitimasi rakyat terhadap kerja-kerja lembaga parlemen khususnya DPD RI

TUJUAN :

1.Sosialisasi Tugas, Fungsi dan wewenang DPD RI serta alat kelengkapan yang ada
2.Sosialisasi tentang berbagai produk dan kebijakan yang telah dihasilan oleh DPD RI selama periode masa sindang sekarang ini
3.Melakukan penyerapan aspirasi dan tawaran alternatif diberbagai tingkat baik di tingkat Desa, Kabupaten, Propinsi maupun di tingkat nasional
4.Pengawasan APBN 2011 dan mendengar aspirasi penyusunan RAPBNP 2011 dan RAPBN 2012
5.Perwujudan akuntabilitas antara anggota dan konstituen di daerah pemilihannya
6.Sosialisai empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara

HASIL PENYERAPAN ASPIRASI

A. MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG)
a)Masih terlihat sistem dan Mekanisme Perencanaan yang belum terintegrasi mulai dari Pusat–Desa dan Kebijakan Program Pembangunan Desa Tumpang Tindih, antara Musrenbang dan PNPM misalnya
b)Dalam berbagai peraturan perundang-undangan ditegaskan bahwa Kabupaten memiliki kewenangan paling besar dalam proses perencanaan dan penganggaran. Basis partisipasi sesungguhnya ada di level kabupaten, karena kabupaten yang memiliki rakyat dan punya kewenangan penuh terhadap mereka Karena itu propinsi tidak melakukan penjaringan aspirasi masyarakat. tapi kenyataannya masih top down yang terjadi pada DAK dan DEKON.
c)Perencanaan di kabupaten dan propinsi pasti akan berbeda, karena propinsi harus mempertemukan sektor dan wilayah.
d)Penentuan Prioritas Program dari hasil perencanaan pembangunan yang didukung melalui anggaran APBD/APBN lebih kuat pertimbangan Politis dan Lobby-lobby Eksekutif ketimbang Kebutuhan Masyarakat. Anggaran negara yang seharusnya merupakan alat pembangunan yang keberadaannya sangat penting, demi kepentingan kesejahteraan rakyat terasa masih jauh dari harapan
e)Lemahnya Pengawalan Mulai dari Proses Perencanaan-Implementasi-Monitring-Evaluasi dan tidak di evaluasi tentang usulan yang ditolak pada tahun lalu mengakibatkan Musrenbang tak bisa menjawab kebutuhan dasar rakyat karena hanya dibuat sekedar formalitas (Masyarakat lebih menganggap perencanaan pembangunan desa sebagai “event” tahunan, bukannya sebuah proses yang berkesinambungan karena tak ada output yang bisa terukur. Ini terlihat dari hasil reses pada pengawasan RAPBNP ,usulan dari tahun ke tahun yang disampaikan masyarakat dalam musrenbang tak pernah direspons antara lain:
1.Kebutuhan akan infrastruktur jalan dikarenakan buruknya infrastruktur jalan untuk Desa fatukona sepanjang 8 Km, Desa Ekateta , Desa Oebola, Desa Usapi, Desa Taluitan, Desa Olays Kabupaten TTS(SOE – KAPAN : 20 KM,KAPAN – NENAS: 27 KM,NENAS – SUTUAL26 KM
NIKI-NIKI – OINLASI : 20 KM,OILASI - BOKING : 28 KM,) Kelurahan Takari, Oesusu dalam, Nunsaen, Amabi Oefeto Timur, Taluitan, Sulamu, dll
2.Tidak tersedianya sarana air bersih sehingga dibutuhkan Pengadaan air bersih di desa Usapi, Taluitan, Desa Fatukona, Desa Oebola, Desa Sanggaoen
3.Kurangnya informasi data base khususnya dalam aspek pendidikan dan kesehatan yang selalu mengungkapkan situasi pendidikan dan kesehatan tidak sesuai kondisi ril. Fakta yang ditemui adalah :
•Tidak tersedianya pustu di desa Fatukona, Desa Silu, Desa, Fatukona, Desa Ekateta, dan tidak tersedianya tenaga medis di Desa Benu, Desa Oesusu dalam, Fasilitas dan sarana kesehatan yang tidak tersedia di pustu-pustu, Silu, Oebola, Oepaha, Tunfeu Kabupaten Kupang, Desa Hala Kabupaten TTS
•Kurangnya tenaga pengajar (kebutuhan akan guru di semua desa yang dikunjungi -guru PNS) dimana Sekolah dasar Negeri maximal hanya memiliki 2 guru PNS, sisanya adalah guru honor komite
4.Minimnya saprodit yang dimiliki petani miskin Pengadaan Saprodit (misblower), mesin pompa air dan traktor tangan, bibit unggul, kebun gisi, bibit hortikultura, bagi para petani di Bone, Hala, Eka Teta, Bena,
5.Minimnya alat tangkap nelayan sehingga dibutuhkan mesin ketinting bagi nelayan di pesisir di Sulamu, Desa Pitay dan Desa Oelua
6.Rumah penduduk yang sangat tidak layak huni. Untuk itu dibutuhkan Pembangunan rumah layak huni bagi masyarakat marginal di Desa Fatukona, Ekateta, Silu, Oebola dan Benu, Nunsaen
7.Ancaman kelaparan yang akan terjadi karena perubahan iklim yang cukup ekstrim pada tahun ini
8.Minimnya Alokasi Dana Desa yang membuat pemerintah desa sulit untuk merespons aspirasi masyarakat yang ada di Desa

SARAN DAN REKOMENDASI :
Penyelenggaran Musrenbang selama ini, hampir sepenuh nya hanya seremonial saja, karena penentuan program kerja sudah dilakukan di kantor SKPD. Di lain pihak program pembangunan eksternal, baik itu dari Jakarta maupun dari dunia internasional, (swasta, pemerintah maupun bantuan luar negeri dalam bentuk u hutang ataupun hibah, selalu datang tanpa meminta ijin kepada komunitas dengan tidak mengindahkan hasil musrenbang yang telah dibuat. Untuk itu disarankan kepada DPD RI melalui Komite 4 :
•Melaksanakan RDPU dengan kementrian dalam negeri untuk membahas mekanisme Musrenbang yang harusnya mengoptimalkan hasil musrenbang dari tingkat desa untuk menjawab kebutuhan dasar masyarakat sehingga menghindari calo-calo/broker proyek baik ditingkat eksekutip maupun legislatip
•Melakukan evaluasi terhadap hasil musrenbang Lima tahunan dari tingkat Desa, Kecamatan dan kabupaten khususnya yang tidak pernah direspons dan mencari jalan keluar yang lebih berpihak pada desa dan rakyat miskin
•Perlu dipikirkan Alokasi Dana Desa yang lebih adil bagi Desa agar desa lebih berdaya dalam membangun masyarakat di desa
•Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas/pustu).
•DPD RI perlu mendorong agar RUU Desa segera di sahkan agar masalah kemiskinan di pedesaan dapat diselesaikan

B. KASUS-KASUS KEKERASAN, KORUPSI dan PENEGAKAN HUKUM
1.Menurunnya Kepercayaan publik terhadap institusi Penegakan Hukum
•Berbagai bentuk kasus penyiksaan sampai meninggal dan kasus pembunuhan yang tidak tersentuh hukum. Kalaupun ada realitasnya tidak adil bagi korban. Dari laporan masyrakat terkesan aparat penegak hukum masih melakukan praktek tebang pilih, dimana kasus yang melibatkan para pejabat maupun institusi penegak hukum tidak sampai di vonis bersalah. Di Timor Tengah Utara, kasus Paulus Usnat yang meninggal dalam sel tahanan Polsek Nunpene Kabupaten Timor Tengah Utara sejak tanggal 03 Juni 2008 hingga saat ini tak pernah diselesaikan.
•Masyarakat sangat meragukan kinerja kepolisian dalam penangan kasusn Paulus Usnat ini yang telah berjalan 3 tahun. Pertanyaan kritis masyarakat adalah, teroris dibelahan dunia manapun bisa ditemukan oleh polisi, namun kasus Paulus yang disiksa sampai meninggal dalam Tahanan polsek tak pernah di temukan pelaku.
•Kasus pembunuhan yang dialami keluarga Haji Muhamad La Yusuf yang terjadi sejak 17 Juni 2009,di Maumere - Kabupaten Sikka sesuai laporan keluarga, ada oknum pejabat Polda Dir Reskrim Ade Sutiana, Wadir Reskrim Sugeng kuniardji, Liliek Apriyanto (mantan Kapolres Sikka),Drs.Agus Suryitno dan Irwasda Polda NTT yang berusaha melemahkan kasus ini dengan menggeser menjadi kecelakaan lalu lintas. Padahal kasus ini telah ditangani oleh pihak Mabes Polri melalui gelar perkara 16 Jnu 2011, ternyata didalam gelar perkara tersebut ditemukan bahwa polda NTT telah mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) tertanggal 10 Juni 2011 dengan alasan tidak cukup bukti.
•Untuk menguatkan SP3 tersebut keluarga korban diberikan Surat Pemberhentian Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) tertanggal, 17 juni 2011, tetapi ketika pihak keluarga melalui pengacaranya meminta salinan asli Surat Penghentian Penyidikan No.:Sp-Sidik/32/VI/2011/Ditreskrim tetapi tak pernah diberikan dengan alasan berbagai dalih.
•Ada keanehan lain ketika keluarga korban mempertanyakan nya pada Dir Reskrimun Polda NTT Komisaris besar Polisi Drs. Suharyadi Sujono, mengatakan tidak pernah menandatangani atau mengetahui adanya SP3 itu.
•Kasus yang sama terjadi di Rote Ndao, kasus pembunuhan yang ditemukan diwaktu reses lalu berjumlah 4 kasus pembunuhan yang hingga sekarang ini stagnan karena tidak ada perkembangan penanganan yang berarti bahkan cenderung didiamkan
•Modus penyuapan/pemerasan masih sering dilakukan oleh Aparat Hukum. Pada kasus Ilegal Loging, masyarakat dijadikan tersangka oleh kepolisian, padahal bukti-bukti lapangan tidak menunjukan letak kesalahan mereka. Demikian juga yang terjadi pada pola rektruitmen anggota polisi Bintara
•Penanganan kasus TKW atas nama Anita Oematan “pembobolan rekening TKW dan penggelapan harta kekayaannya oleh PJTKI yang ditangani Polda NTT sama sekali tak berjalan. Sisi lain, kasus tersebut telah perdatakan dan TKW memenangkan perkara tersebut tapi sudah dua tahun tak pernah di eksekusi oleh pengadilan negeri klas I Kupang
•Kasus pemerasan yang dilakukan oleh anggota polisi yang berdinas pada Rumah Sakit Bhayangkari Kupang terhadap dua orang calon siswa Seba Polri Tahun 2010 (surat lapooran terlampir)

PENANGANAN KASUS KORUPSI

Tahun 2011 adalah Tahun suram pemberantasan korupsi di Nusa Tenggara Timur
•Dalam penanganan kasus korupsi, praktek tebang pilih sangat transparan dimainkan, misalnya kasus korupsi Dana Sarkes sebesar Rp.3.832.866.290,- (Direktris Firma Antares) pada Penunjukan Langsung. Pengadilan negeri kelas I Kupang telah memfonis saudara Beneditus Tuluk staf dinas kesehatan propinsi NTT dalam kapasitasnya sebagai Benpro pengadaan alat/saranan kesehatan serta Sam Saka, Sandra Lumi. Tersangka lainnya yang telah ditetapkan oleh kepolisian sejak tahun 2003 lalu tidak pernah dilakukan pemeriksaan lanjutan dan anehnya pada agustus 2010, SP3 kasus korupsi Sarkes dilakukan oleh Polresta Kupang terhadap Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT.
•Sesuai Peraturan Kapolri no.12 tahun 2009 tentang pengendalian perkara pidana di lingkup POLRI untuk tingkat yang paling sulit hanya 120 hari, bayangkan dengan waktu yang sudah 8 tahun, mereka yang tak punya kewenanga telah dihukum bersalah sedangkan Kepala Dinas kesehatan yang punya kewenangan dalam Proyek Sarkes penunjukan langsung (Keppres 80) di SP3.
•Kasus korupsi dengan modus yang sama juga terjadi untuk kasus Rumpon di Belu yang melibatkan Wakil Bupati Belu yang hingga sekarang ini tidak tersentuh secara hukum, malah di promosi menjadi kepala Dinas pertambangan Propinsi NTT, Kasus Pengadaan Mebeler di Rote Ndao yang hingga sekarang ini masih berjalan di tempat, kasus dana ADD di Kabupaten Timor Tengah Selatan juga di SP3, dan beberapa kasus lainnya yang dapat dilihat dalam lampiran
•Dari Kasus koruspi yang ditangani di NTT, 80% tersangka yang diproses tidak menyentuh Top Level Management
•Modus pemerasan juga masih terjadi dalam penegakan hukum seperti yang terjadi pada kasus ilegal loging di Kabupaten Kupang yang melibatkan aparat kepolisian Resort Kupang. Status Tersangka menjadi empuk untuk alat pemeras
•Dari hasil audit BPK RI ditemukan banyak bantuan sosial yang berimplikasi pada dugaan korupsi karena Bantuan sosial untuk organisasi kemasyarakatan tidak selektif,kejelasan peruntukan,bantuan tidak terus menerus/tidak berulang dan tidak memiliki proposal permintaan

SARAN DAN REKOMENDASI :

Fungsi pengawasan yang memegang peranan penting dalam pencapaian visi dan misi dari kepolisian dan Kejaksaan saat ini dirasakan belum mampu meningkatkan kinerja atau setidak-tidaknya memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat. Berbagai permasalahan yang sering dikemukakan masyarakat tentang ketidakefektifan sistem pengawasan diKepolosian dan Kejaksaan merupakan alasan yang sangat kuat untuk segera dilakukan pembaharuan atas sistem tersebut selain sistim, dalam jangka pendek menggantikan aparat hukum di NTT yang tidak kredibel dan tidak profesional. Perlu diingat bahwa harusnya NTT bukan menjadi tempat pembuangan aparatur bermasalah, karena ini berimplikasi pada kinerja aparat penegakan hukum. Untuk itu ada beberapa rekomendasi yang disampaikan:
•DPD RI perlu merekomendasikan pada Kapolri&Kejaksaan Agung untuk meningkatkan pengawasan,kapasitas para jaksa dan polisi serta memperbaiki mekanisme manajemen perkara agar kelemahan penyidikan,kualitas dakwaan dan tuntutan tidak terjadi lagi didaerah baik di tingkat kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri dan Polda serta Polres/polresta. DPD RI juga harus perlu memikirkan rekomendasi kebijakan untuk membangun kepercayaan publik terhadap institusi hukum di Indonesia khususnya di Prop NTT
•DPD RI melalui Komite I dan PAP untuk segera memanggil Kapolri dan Kejaksaan agung melakukan Rapat Dengar Pendapat terhadap berbagai kasus penegakan hukum yang stagnan yang memecahkan record penegakan hukum dalam produk SP3 dan Khusus untuk kasus-kasus korupsi yang menjadi perhatian publik tapi telah di SP3 ( korupsi dana Sarkes yang diduga menjadi korupsi politik di Propinsi NTT, dan Alokasi Dana desa di kabupaten Timor Tengah Selatan) agar di alihkan ke KPK. Ini penting agar adanya efek jera bagi para koruptor
•PAP perlu menodorong peran serta publik yang menjadi faktor penting dalam pengawasan di Kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Publik harus selalu berperan aktif memberikan masukan dan dorongan yang obyektif untuk bersama-sama menciptakat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan seperti yang selalu kita cita-citakan
•DPD RI perlu mendorong Kejaksaan dan Kepolisian segera membuat mekanisme akunta bilitas kinerja penanganan perkara korupsi dan perkara lainnya melalui penyampaian perkembangan penanganan perkara secara berkala kepada publik dan melibatkan pelapor dalam gelar perkara khususnya di daerah
•Komite IV dan PAP DPD RI perlu mendalami audit BPK khusus pada bantuan sosial yang terkesan fiktif (tidak ada dokumen-kwitansi dan realisasi) karena hampir sebagian besar korupsi dana Bansos dinilai terkait dengan penyelenggaraan pemilu/pilkada dan balas jasa politik (menjelang pemilu) yang diduga disalah gunakan untuk kampanye

C. KESEHATAN :
JAMKESMAS
Hampir sebagian besar masyarakat miskin di Desa yang dikunjungi tidak terdaftar sebagai pasien jamkesmas antara lain Masyarakat di Desa Silu,Desa Oesusu, Kelurahan Takari, Desa Benu, Desa Oepaha dan desa lain yang dikunjungi tidak dapat mengakses kartu dan pelayanan Jamkesmas dan kalaupun ada yang tercatat maka anggota keluarganya tidak dapat mengakses.
1.Program Jaminan Kesehatan Masyarakat yang telah memperluas cakupan kepesertaan –tidak hanya fokus pada warga miskin. Tujuan utama Jamkesmas adalah peningkatkan akses keluarga miskin dan kurang mampu dengan menyediakan jaminan pelayanan kesehatan gratis pada rumah sakit, puskesmas atau penyedia layanan kesehatan lainnya. Selain itu, melalui program ini juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat miskin serta pengelolaan keuangan lebih transparan dan akuntabel.
2.Dalam kunjungan masalah yang ditemukan bahwa “ Jamkesmas ternyata belum mampu menjawab masalah mendasar dalam penyelenggaraan kesehatan terutama bagi kelompok miskin yaitu, akses dan kualitas pelayanan, Institusi yang telah disediakan pemerintah mulai dari Pustu, Puskesmas dan Rumah sakit masih membebani warga dengan beragam biaya. Akibatnya, mereka lebih memilih tidak berobat atau berobat ke dukun. Sasaran Jamkesmas harusnya meliputi setiap orang miskin dan tidak mampu yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah.
3.Penetapan peserta Jamkesmas di tiap kabupaten/kota didasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati/ Walikota dengan peserta yang melebihi kuota dapat memberikan jaminan kesehatan sendiri terhadap keluarga miskin dan tidak mampu, kenyataannya hampir sebagian besar masyarakat desa yang dikunjungi tidak dapat memiliki akses terhadap Jamkesmas
4.Pengambilalihan kewenangan juga telah menghambat akses anggota keluarga miskin yang tidak terdapat sebagai peserta Jamkesmas untuk mendapatkan layanan kesehatan gratis. Padahal pasal 20 ayat (2) UU SJSN menyatakan bahwa anggota keluarga peserta berhak menerima manfaat jaminan kesehatan. Anggota keluarga miskin otomatis terjamin dalam asuransi kesehatan ketika kepala keluarga ataupun anggota keluarga lainnya telah terdaftar dan membayar iuran asuransi. Ditemukan dalam kunjungan kerja adalah : Jamkesmas hanya melindungi peserta yang sudah terdaftar dan memiliki kartu peserta.
5.Argumentasi yang dibangun adalah bahwa anggota keluarga yang tidak terjamin dalam Jamkesmas merupakan tanggung jawab pemerintah. Padahal tidak semua pemerintah daerah mampu memberikan iuran kesehatan bagi warganya. Lagipula, kalau ditanggung pemerintah daerah maka aturan main dan manfaatnya tentu akan berbeda pula.
6.Pada sisi lain, hubungan pasien dengan manajemen RS juga memiliki sejumlah masalah. Manajemen RS khususnya pada rumah sakit Rujukan RSUD Prof.Johanis Kupang terkesan enggan menerima pasien miskin. Tidak saja karena pasien miskin dapat merusak “segmentasi pasar pasien kaya” akan tetapi tagihan berobat pasien miskin seringkali tidak dapat diandalkan untuk meningkatkan pendapatan RS lebih tinggi. Sementara mereka dituntut oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada penolakan pasien miskin oleh pihak Rumah Sakit dengan alasan keterbatasan tempat tidur, tempat sudah penuh, dan lain sebagainya.

SARAN DAN REKOMENDASI
1.Model penyelenggaraaan pelayanan kesehatan di Indonesia sangat memiskinkan. Padahal di seluruh dunia sudah menggunakan prinsip keadilan yang merata (setara) atau equity yang digunakan adalah equity egalitarian, yang pada prinsipnya menjamin setiap penduduk mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya (you get what you need) dan bukan sesuai dengan kemampuannya membayar.Hal ini diharapkan dapat membantu negara dalam mengembangkan jaminan sosial kesehatan, memberikan cakupan peserta lebih luas serta menjamin sustainabilitas penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan bagi keluarga miskn dan tidak mampu
2.DPD RI melalui Komite III: Meminta Depkes dan PT. Askes untuk memperbaiki, memperbaharui dan mengawasi database kepesertaan Jamkesmas agar lebih akurat
3.Mengawasi kualitas pelayanan kesehatan oleh rumah sakit dan puskesmas bagi warga miskin dan tidak mampu. Dalam proses pengawasan ini Depkes dapat mendorong partisipasi warga miskin dan tidak mampu dengan mengintensifkan sosialisasi Jaminan Sosial Kesehatan serta manfaatnya pada kelompok sasaran. Selain itu, Depkes juga dapat mengintensifkan pengawasan serta memberikan sanksi tegas terhadap rumah sakit yang terbukti menolak dan mengabaikan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin dan tidak mampu.
4.DPD RI segera mengawasi dan menekan Presiden R.I serta Depkes agar tetap konsisten mengembangkan Sistim Jaminan Sosial Nasiona terutama berkaitan dengan program Jaminan Kesehatan.

D. PENDIDIKAN :
 Porsi belanja didominasi secara berturut-turut oleh belanja AUP (39,30%), belanja pekerjaan umum (27,56%), belanja kesehatan (11,59%), belanja pendidikan (5,56%) dan belanja kewenangan lainnya (9,15%). Ini ikut berpengaruh pada IPM NTT rendah, diakibatkan oleh kondisi Sarana prasarana baik itu kesehatan, pendidikan dan persoalan air bersih yg minim, Ratio guru dan murid yang tidak seimbang dan guru SD hanya berpendidikan SMA
 Masalah UAN, bukan satu2 nya indicator utama, karena mutu tidak ditentukan oleh ujian nasional
 Kondisi guru NTT yang masih tertinggal jauh dengan kualifikasi S1, 15,626 (25,78%), non S1= 44,977 (74,32%) demikian juga rincian kualifikasi diberbagai level yang memiliki kualifikasi S1 maupun pasca sarjana yang rendah sehingga tidak bisa memenuhi kuota sertifikasi dan juga keterbatasan pendataan
 Masih terdapat guru yanga berijasah SLTP yang mengajar di SD karena dari 36.000 orang guru SD, 3000 an saja yang sarjana
 Bertambahnya pemekaran kabupaten di NTT tidak berbanding lurus dengan jumlah PNS (diharapkan penambahan PNS di berikan kuota guru 60%)
 Persoalan guru yang sudah mendapat sertifikasi namun hingga saat ini tidak mendapat SK dan tunjangan Gaji Guru honor komite yang diterima dari 20 % dana BOS, padahal hampir setiap SD yang ada di pedesaan adalah guru honor komite
 Kebutuhan akan sarana/ruang kelas dan fasilitas pendidikan di semua desa yang dikunjungi
 Tidak adanya Taman kanak-kanak di Desa, untuk itu PAUD merupakan alternatif namun dalam pengalaman masyarakat desa PAUD tidak disuport dalam APBD
 Pembangunan mess guru dan peningkatan Paud di desa Fatokona dan beasiswa bagi anak-anak berprestasi yang tak mampu

SARAN DAN REKOMENDASI :
 DPD RI melalui komite III perlu mendorong 20 % anggaran pendidikan dan mendorong peningkatan Angka partisipasi kasar APK di NTT,Fasilitas dan sarana pendidikan, demikian juga Juknis BOS perlu di tinjau kembali (20 % dana untuk honor guru) karena tidak cocok dihampir semua wilayah pedesaan apalagi didaerah terisolir yang guru honor komite 70-80% lebih banyak dari guru PNS

E. PERTAMBANGAN :
 Ketidakkonsisten pemerintah dalam pengelolaan tambang yang adil generasi, pro lingkungan dan prosedural sesuai aturan yang dicanangkan mengakibatkan terjadi konflik sumberdaya alam tambang dengan masyarakat adat pemilik sumberdaya alam. Ini ditemukan dalam hampir semua Kabupaten yang ada di NTT. Temuan serius terjadi sementara ini di Pulau Sumba yang sementara berada dalam ancaman rusaknya lingkungan dan potensi konflik horisontal antara masyarakat bahkan dengan berbagai pihak terkait kepentingan pertambangan emas.
 Pada 4 Agustus 2011 lalu, masyarakat Sumba dari 6 Desa (Praibakul, Wanggameti, Katiku Luku, Katiku Tana, Katiku Wai, dan Karipi) berdemonstrasi di sekitar tambang emas di Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti. Majelis Sinode Gereja Kristen Sumba (MS GKS) melalui Keputusan Sidang Sinode II, 21-24 Juni 2011, memutuskan menolak aktivitas eksplorasi pertambangan emas di Pulau Sumba yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem dan berdampak sosial yang luas. Ada informasi bahwa PT Fathi Resourches (pemilik sahamnya adalah salah satu perusahaan Australia sebanyak 80%) yang mendapatkan Izin Usaha Pertambangan emas di Sumba oleh Gubernur NTT, telah melakukan eksplorasi di banyak tempat untuk memenuhi target luas wilayah eksplorasi sebanya 99.000 Ha. Sementara luas pulau Sumba hanya 1 juta Ha. Dengan demikian hampir 10% tanah Sumba telah diberikan kepada usaha pertambangan. Pada sisi lain daya dukung lingkungan di Sumba sangat terbatas. Beberapa penelitian menemukan bahwa luas areal hutan yang tersisa hanya 4-6%. Ironisnya aktivitas pertambangan dilakukan di sekitar areal hutan dan kawasan yang produktif untuk kegiatan pertanian dan peternakan bagi masyarakat Sumba.
 Masalah pertambangan ini menjadi masalah serius bukan sekedar pada subtansi tetapi juga masalah prosedural yang selalu dilanggar oleh pihak pemetintah daerah, apalagi eksploitasi tambang di Sumba berada dalam kawasan Taman nasional

SARAN DAN REKOMENDASI:

DPD RI melalui pansus pertambangan agar mendorong pemerintah dan pemerinath daerah untuk konsisten dalam mengelola pertambangan dengan melihat beberapa hal:
 Pematuhan seluruh mekanisme dalam peraturan perundang-undangan dari para pemegang ijin yang telah tersaring pada tahap pertama. Setelah itu, proses penetapan WUP selanjutnya , dan pemberian IUP, mengacu pada UU 4/2009, dan PP 22/2010.
a.Titik krusial dari UU 4 /2009 dan peraturan pelaksanaannya adalah pada mekanisme peralihan dari ijin-ijin lama terutama Kuasa Pertambangan Daerah dan Surat Ijin Penambangan Daerah ke mekanisme Ijin Usaha Pertambangan ke Ijin Usaha Pertambangan (IUP).
b.Kewenangan mengeluarkan ijin Usaha Operasi Produksi mangan didalam UU No.4 tahun 2009 secara tegas telah dilarang oleh Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral agar Kepala Daerah dilarang mengeluarkan ijin Usaha Pertambangan sejak berlakunya UU No.4Tahun 2009. Oleh karena itu DPD mendorong adanya Peraturan Pemerintah agar mengatur sistem pertambangan sehingga masyarakat memperoleh kejelasan dalam menjalankan usaha tambang.
c.Pematuhan hukum adalah kunci dari kehati-hatian dalam industri tambang di NTT ke depan. Dalam hal ini, UU 4/2009 beserta peraturan pelaksanaannya, serta UU 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup patut dilaksanakan secara penuh, tanpa meminta pengecualian. Hanya dengan cara ini, proses pembelajaran atas industri pertambangan di NTT memiliki masa depan yang lebih baik, lebih menyelamatkan warga dan lingkungan hidup.
d.Jika seleksi ijin berdasarkan skala kepatutan ini telah dilakukan, tahap kedua adalah memenuhi proses-proses yang telah ditetapkan oleh UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Hal yang harus dilakukan adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di wilayah-wilayah pertambangan yang telah disaring untuk menentukan kriteria penambangan serta pengelolaan lingkungan yang tepat serta tidak berdampak bagi lingkungan disekitarnya atau pada cakupan yang lebih luas.

 Mengkaji secara baik berbagai konflik pertambangan khususnya di Pulau Sumba dari berbagai prespektif sehingga tidak pihak yang dirugikan khususnya rakyat dan lingkungan hidup
 Mengingat tingkat risiko atas daya rusak yang tinggi, sebaiknya Pemerintah NTT tidak didukung untuk melakukan program tambang mineral, tetapi didukung penuh untuk pengembangan sektor energi terbarukan. Dalam hal ini riset dan investasi beberapa potensi energi seperti panas bumi, panel surya, tenaga angin, mikro dan piko-hidro, gelombang dan arus laut, serta biomassa skala rumah tangga dan komunitas perlu dikembangkan dan dimobilisasi sesuai dengan mandat UU Energi tahun 2007.
 Sektor kedua yang penting untuk didukung adalah skema perlindungan dan pengelolaan air permukaan serta air tanah dangkal dan dalam. Dukungan penye baran teknologi pemanenan air (water harvesting) dan perlindungan air tanah akan membantu penduduk NTT yang pada dasarnya tinggal di pulau-pulau dengan kerentanan tinggi.

F. TATA PEMERINTAHAN :PRODUK HUKUM

Kualitas tata pemerintahan yang berlaku selama ini Soal transparansi dan akuntabilitas, khususnya dalam interaksi mereka dengan birokrasi pemerintahan adalah masahlah yang mahal sekali dalam kehidupan masyarakat kebanyakan di NTT.

• Sampai saat ini motor ekonomi NTT adalah pemerintah dengan proyek-proyeknya. Kelas menengah terbesar di NTT masihlah kaum birokrat, sehingga perubahan-perubahan ataupun kebuntuan-kebuntuan pada birokrasi pemerintahan di NTT (provinsi dan kabupaten-kabupatennya) hanya akan langsung berdampak pada kehidupan sosial ekonomi daerah bukan rakyat miskin
• Bila di beberapa bagian Indonesia yang lain sudah bermunculan inisiatif-inisiatif Good Governance tampaknya hal tersebut masih sangatlah minim ditemui di NTT. Apalagi soal-soal transparansi penggunaan anggaran dan pertanggungjawaban penggunaannya. Tentu situasi semacam ini menghasilkan lahan yang sangat ‘subur’ untuk tindakan korupsi. Sebab itulah sampai saat ini NTT masih dianggap salah satu provinsi terkorup di Indonesia

SARAN DAN REKOMENDASI :

DPD RI melalui Panitia Akuntabilitas Publik harus mendorong untuk zona integritas yang telah dibentuk bersama dengan KPK di daerah untuk dapat dioptimalkan dengan tujuan :
1.Membangun kapasitas rakyat yang lebih baik untuk memonitor secara baik penggunaan uang rakyat. Penting pula bagi pemerintah daerah, eksekutif dan legislatif, untuk mempunyai hubungan yang lebih sehat dengan komunitas-komunitas lokal ataupun konstituennya yang didasarkan pada aktualisasi prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.
2.Mendorong Pemerintah daerah harus menyadari bahwa korupsi yang mengemuka dan bertumpu pada lemahnya penerapan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas, pada akhirnya akan men-delegitimasi hasil-hasil maupun program-program pembangunan serta akan menjauhkan sumber daya maupun investasi nasional maupun internasional yang masih sangat diperlukan NTT saat ini