SDF

Ir. SARAH LERY MBOEIK - ANGGOTA DPD RI ASAL NTT - KOMITE 4, PANITIA PERANCANG UNDANG UNDANG(PPUU), PANITIA AKUNTABILITAS PUBLIK DPD RI TIMEX | POS KUPANG | KURSOR | NTT ON LINE | MEDIA INDONESIA | SUARA PEMBARUAN | KOMPAS | KORAN SINDO | BOLA | METRO TV | TV ON LINE | HUMOR
Sarah Lery Mboeik Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch
widgeo.net

Selasa, 06 September 2011

KESIMPULAN HASIL RESES JUL - AGUS 2011

KESIMPULAN HASIL RESES 16 JULI-08 AGUSTUS 2011
DAERAH PEMILIHAN PROPINSI NUSA TENAGGARA TIMUR
MENYOAL PENEGAKAN HUKUM DAN PELAYANAN PUBLIK

Indonesia adalah Negara hukum. Demikianlah amanat UUD 1945, sebagaimana yang tertera dalam pasal 1 ayat (3). Sebagai sebuah Negara hukum, seharusnya memiliki 3 (tiga) pilar yang kuat, yakni: Pertama, Supremasi hukum (Supremation Of Law). Kedua, Persamaan didalam hukum (Equality Before The Law). Ketiga, perlindungan terhadap pemenuhan hak asasi manusia (Constitution Based On The Human Right).
Ironisnya dalam praktek bernegara di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masih merupakan bagian integral dari Indonesia, makna dari negara hukum ini semakin kabur. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak maksimalnya kinerja aparat hukum dalam menegakan hukum. Fakta membuktikan bahwa kasus korupsi kian merajalela. Data PIAR NTT selama 5 tahun terakhir menunjukan bahwa tingkat kerugian Negara semakin tahun semakin memprihatinkan. (Lihat Tabel). Khusus ditahun 2010 PIAR NTT mencatat dari ke-131 kasus korupsi yang terjadi di NTT terdapat pelaku bermasalah sebanyak 531 orang dan 76 orang diantaranya melakuakan pengulangan tindak korupsi. Para Pelaku bermasalah/Aktor dari 131 kasus dugaan korupsi yang dipantau oleh PIAR, terbanyak 191 orang mempunyai jabatan sebagai anggota DPRD.
Ditengah maraknya kasus korupsi di NTT ini, pihak kepolisian melakukan SP3 terhadap berkas dari dr. Stef Bria Seran yang sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak tahun 2003 dan sempat menjadi tahanan polisi kurang lebih 14 (empat belas). SP3 ini didasarkan pada pasal 109 ayat (2) KUHAP, yang pada intinya mengamanatkan bahwa SP3 terhadap suatu Kasus hanya boleh terjadi apabila: Pertama, Tidak terdapat cukup bukti. Kedua, Bukan merupakan tindak pidana. Ketiga, Dihentikan demi hukum.
Hal ini sangat lucu karena jika dilihat dari aspek hukum, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa seseorang dapat menjadi tersangka karena perbuatanya atau keadaanya, berdasarkan bukti permulaan yang cukup patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Bukti permulaan berarti bukti-bukti awal sebagai dasar untuk menduga adanya tindak pidana. Sayangnya KUHAP dan Penjelasannya tidak mengatur lebih lanjut mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan bukti permulaan itu sendiri. Berdasarkan SK Kapolri, SK No. Pol. SKEEP/04/I/1982. Bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua di antara: 1. Laporan Polisi, 2. Berita Acara Pemeriksaan di TKP, 3. Laporan Hasil Penyelidikan, 4. Keterangan Saksi/saksi ahli, dan 5. Barang Bukti. Yang setelah disimpulkan menunjukkan telah terjadi tindak pidana kejahatan. Sedangkan yang dimaksud dengan alat bukti yang sah telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi, b. keterangan ahli, c. surat, d. petunjuk, e. keterangan terdakwa.
Kinerja aparat hukum yang sangat melukai rasa keadilan rakyat ini juga terjadi dalam hal penegakan hukum kasus pembunuhan dan atau kematian. Di Kab. TTU, sejak tahun 2008 sampai dengan saat ini terdapat 21 kasus pembunuhan yang di tangani oleh pihak kepolisian dan belum terungkap. Belum lagi kasus kematian tahanan didalam sel kepolisian seperti kasus paulus usnaant di polsek Nunpene Kab. TTU, Daniel Mellu yang meninggal di Pospol Toianas Kab. TTS dan Marthen Thine (50), seorang tahanan, tewas di Blok I Rumah Tahanan (Rutan) Ba'a, Rote Ndao.

Buruknya kinerja aparat hukum ini sejalan dengan buruknya kualitas pelayanan publik untuk kesejahteraan rakyat di berbagai bidang masih jauh dari harapan. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa Kualitas pelayanan publik merupakan salah satu indikator apakah proses dan produk kebijakan politik di daerah telah berpihak kepada rakyat. Selain itu, Kualitas pelayanan publik juga merupakan ukuran untuk menentukan apakah desain dan pemberian pelayanan pemerintah telah memenuhi apa yang menjadi kebutuhan atau keinginan dari rakyat.

Realitas pelayanan kesehatan di Kabupaten Kupang menunjukan bahwa, di desa Fatukona yang sampai saat ini tidak memiliki PUSTU, Desa Sillu yang memiliki PUSTU yang sangat sempit dan desa oesusu yang memiliki Pustu tapi tidak memiliki bidan dan atau perawat. Dari aspek pelayanan pendidikan untuk mencapai kecerdasan bangsa, desa fatukona hanya memiliki bangunan SD Negeri yang terbuat dari dinding bebak dan atap daun. Di SD Negeri Fatokona ini juga, hanya terdapat 2 (dua) orang guru negeri dan sisa lainnya adalah 4 orang guru komite. Dengan kondisi yang seperti ini tidaklah mengherankan apabila kebanyakan muridnya walaupun sudah kelas V namun belum pandai dalam hal membaca. Bahkan setelah menamatkan SD warga desa fatukona lebih memilih bekerja sebagai TKI/TKW di negeri Jiran Malaysia karena sangat sulit mengakses sekolah lanjutan baik dari segi jarak maupun kualitas murid.

Sejalan dengan berbagai persoalan dalam hal penegakan hukum dan pelayanan publik, maka sudah saatnya para pengambil kebijakan memperbaiki kinerjanya. Sebab, dalam koridor hukum Hak Asasi Manusia (HAM), Negara (State) merupakan aktor utama yang memegang kewajiban dan tanggung jawab (Duty Holders) untuk memenuhi HAM sementara massa-rakyat merupakan pemegang hak (Rights Holders). Itu berarti, massa-rakyat memiliki hak untuk menuntut pemenuhan HAM mereka karena Negara berkewajiban memenuhinya.

Untuk itu dalam hal penegakan hukum ada 4 (empat) hal yang harus diperbaiki oleh para pengambil kebijakan, yakni: sistem pemerintahan, produk hukum, aparat pelaksana, fasilitas penunjang dan kesadaran hukum masyarakat. Sedangkan dalam hal pelayanan public para pengambil kebijakan harus merubah paradigm dari aparatusnya. Artinya pelayanan public harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, akuntabiltas, responsibilitas diatas landasan paradigma baru yang menempatkan birokrasi bukan sebagai penguasa tetapi lebih sebagai pelayan masyarakat.

SARAH LERY MBOEIK
SENATOR NTT