SDF

Ir. SARAH LERY MBOEIK - ANGGOTA DPD RI ASAL NTT - KOMITE 4, PANITIA PERANCANG UNDANG UNDANG(PPUU), PANITIA AKUNTABILITAS PUBLIK DPD RI TIMEX | POS KUPANG | KURSOR | NTT ON LINE | MEDIA INDONESIA | SUARA PEMBARUAN | KOMPAS | KORAN SINDO | BOLA | METRO TV | TV ON LINE | HUMOR
Sarah Lery Mboeik Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch
widgeo.net

Rabu, 01 September 2010

PERTIMBANGAN RAPBN 2011

I PENDAHULUAN

1. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kedudukan dan wewenang DPD RI adalah sebagai berikut.
a. DPD RI memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) atas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
b. Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (a) diberikan dalam bentuk tertulis sebelum memasuki tahapan pembahasan antara DPR RI dan Pemerintah.
c. Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (a) menjadi bahan bagi DPR RI dalam melakukan pembahasan dengan Pemerintah.

2. Pertimbangan DPD RI ini disusun berdasarkan masukan dari masyarakat, pakar, dan lembaga pemerintah dan nonpemerintah melalui berbagai rapat kerja, rapat dengar pendapat, dan seminar/FGD.


II STRUKTUR DAN SASARAN RAPBN TA 2011

1. APBN disusun dengan berdasarkan asumsi makro ekonomi tertentu dalam lingkungan eksternal perekonomian dunia dan juga disusun berdasarkan permasalahan nasional dan daerah yang dihadapi bangsa. Selain itu, APBN merupakan tanggapan pemerintah pusat dan daerah terhadap tantangan untuk menyejahterakan masyarakat.

2. RAPBN TA 2011 disusun dengan memperhatikan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2011 sebagai penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010—2014 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010—2014.

3. Amanat konstitusi menegaskan bahwa anggaran negara menjadi instrumen untuk mencapai tujuan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat konstitusi juga menegaskan perlunya percepatan pembangunan di daerah untuk mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata di seluruh daerah.

4. Dalam rangka memajukan kehidupan bangsa dan mendorong peningkatan kesejahteraan secara merata di seluruh daerah, anggaran negara sebesar mungkin harus ditujukan untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar rakyat, terutama di wilayah yang relatif tertinggal.

5. Dari sisi politik anggaran, Pemerintah harus dapat merumuskan tujuan pengelolaan anggaran negara secara jelas dan terukur sehingga dapat memberikan kepastian.


Kerangka Ekonomi Makro Tahun 2011

6. Pemerintah menggunakan 6 (enam) indikator makro ekonomi yang terdiri atas pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, nilai tukar rupiah/US$, suku bunga SBI 3 bulan, harga minyak mentah ICP, dan lifting minyak, seperti terlihat dalam tabel II.1. Penetapan asumsi dasar harus mencerminkan realita potensi ekonomi daerah dan keterkaitan ekonomi daerah-nasional. Pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi erat kaitannya dengan penyediaan infrastruktur ekonomi dalam bidang produksi dan distribusinya serta kepastian iklim usaha bagi masyarakat.
7. Pengaruh dari kebijakan makro ekonomi terhadap perekonomian daerah harus dijadikan acuan dalam strategi fiskal dan moneter untuk menyejahterakan masyarakat di daerah. Kemiskinan dan pengangguran tidak dapat diatasi dengan program sesaat yang sama, tetapi memerlukan pendekatan struktural yang lama.
8. Menurut data BPS Maret 2009, persentase kemiskinan di beberapa provinsi masih di atas 18% seperti Papua (37,5%), Papua Barat (35,7%), Maluku (28,2%), Gorontalo (25,0%), Nusa Tenggara Timur (23,3%), Nusa Tenggara Barat (22,8%), Nanggroe Aceh Darussalam (21,8%), Lampung (20,2%), Sulawesi Tengah (19,0%), Sulawesi Tenggara (18,9%), dan Bengkulu (18,6%). DPD RI berpendapat bahwa kemiskinan yang terjadi di beberapa daerah tersebut bersifat struktural sehingga tidak dapat diatasi hanya dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang bersifat parsial. Upaya pengurangan kemiskinan di beberapa daerah perlu pemahaman terhadap akar masalah kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. Oleh sebab itu, pemerintah agar melakukan sinkronisasi berbagai kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan untuk mengatasi kemiskinan struktural di daerah tersebut.

Tabel II.1 Perubahan asumsi indikator ekonomi makro APBN-P TA 2010 dan RAPBN TA 2011

Asumsi Makro APBN 2009 APBN-P 2010 b RAPBN 2011 b
realisasi a
1. Pertumbuhan Ekonomi 4,5 5,8 6,2-6,4
2. Laju Inflasi 2,78 5,3 4,9-5,3
3. Nilai Tukar Rp/US$ 10.408 9.200 9.100-9.400
4. Suku Bunga SBI 3 bln 6,59 6,5 6,3-6,7
5. Harga Minyak ICP 61,5 80 80-85
6. Lifting Minyak 0,95 0,965 0,960-0,980

Sumber:
a. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2009 (audited), Kementerian Keuangan, Mei 2010.
b. Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011. Kementerian Keuangan RI, Mei 2010

9. Dari 6 (enam) indikator ekonomi makro hanya satu, yaitu pertumbuhan ekonomi, yang mengalami peningkatan dibandingkan dengan APBN TA 2010 dan APBN TA 2009 (Tabel II.1). Sumber pertumbuhan ekonomi tahun 2011 sebesar 6,2%—6,4% adalah pertumbuhan pengeluaran konsumsi masyarakat (5,3%—5,4%), konsumsi pemerintah (6,3%—6,5%), PMTB (11,0%—11,2%), ekspor (11,3%—11,5%), dan impor (12,5%—12,7%) (Tabel II.2).

Tabel II.2 Perkiraan sumber pertumbuhan ekonomi Tahun 2011 (%)

Pengeluaran Tahun 2011
1. Konsumsi Masyarakat 5,3—5,5
2. Konsumsi Pemerintah 6,3—6,5
3. PMTB 11,0—11,2
4. Ekspor 11,3—11,5
5. Impor 12,5—12,7
PDB 6,2—6,4

10. Sumber pertumbuhan sektoral yang diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional mendapat hambatan tinggi dari sektor infrastruktur listrik, energi, dan air yang tumbuh amat lambat (Tabel II.3).

Tabel II.3 Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Tahun 2011 (dalam % yoy)

Sektor Pertumbuhan Struktur PDB
1. Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan 4,4—4,6 15,2
2. Pertambangan dan penggalian 3,5—3,7 10,3
3. Industri pengolahan 4,4—4,6 26,6
4. Listrik, gas, dan air bersih 9,3—9,5 0,8
5. Konstruksi 8,6—8,8 10,0
6. Perdagangan, hotel, dan restoran 7,4—7,6 13,4
7. Pengangkutan dan komunikasi 12,2—12,4 6,3
8. Keuangan, real estate, dan jasa perusahaan 5,5—5,7 7,3
9. Jasa-jasa 6,7—6,9 10,2
PRODUK DOMESTIK BRUTO 6,2—6,4 100,0
Sumber: Kementerian Keuangan

11. Tingkat inflasi di daerah tertinggal pada umumnya lebih tinggi dari rata-rata nasional. Oleh karena itu, Pemerintah diharapkan memusatkan perhatian pada inflasi tinggi yang terjadi di beberapa daerah. Pada tahun 2008 laju inflasi di wilayah Papua, khususnya Manokwari adalah sebesar 20,51 persen, Sorong 19,6 persen, dan Jayapura 12,6 persen. Laju inflasi beberapa daerah di Sulawesi juga jauh di atas rata-rata inflasi nasional seperti Palopo 17,6 persen, Kendari 15,2 persen, Bone 14,2 persen, Pare-pare 13,3 persen, dan Mamuju 11,7 persen. Di wilayah Maluku tingkat inflasi di Ternate adalah sebesar 11,3 persen. Laju inflasi di wilayah Nusa Tenggara juga relatif tinggi, yaitu Maumere (NTT) sebesar 16,2 persen, Bima (NTB) 14,4 persen, dan Mataram (NTB) 13,0 persen. Sementara itu, laju inflasi di wilayah Kalimantan juga di atas rata-rata nasional, terutama Tarakan 19,9 persen, Samarinda 12,7 persen, Singkawang 12,7 persen, Palangkaraya 11,7 persen, dan Banjarmasin 11,6 persen. Beberapa daerah di wilayah Sumatera juga menghadapi inflasi tinggi, seperti Pangkal Pinang (18,4 persen), Bandar Lampung (14,8 persen), Dumai (14,3 persen), Lhokseumawe (13,8 persen), Bengkulu (13,4 persen), Padang (12,7 persen), dan Jambi (11,6 persen). Beberapa daerah di Jawa juga menghadapi tekanan inflasi tinggi, seperti Cirebon-Jawa Barat (14,1 persen), Serang-Banten (13,9 persen), Madiun-Jawa Timur (13,3 persen), Cilegon-Banten (13,0 persen), Tasikmalaya-Jawa Barat (12,1 persen), dan Purwokerto-Jawa Tengah (12,1 persen.
12. Industri pengolahan sebagai sumber pertumbuhan PDB, perdagangan, serta hotel dan restoran berperanan penting dalam penciptaan lapangan kerja. Peran sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan kehutanan meningkat signifikan sebagai sumber pertumbuhan PDB, tetapi peranannya terhadap penciptaan tambahan lapangan dan pengentasan kemiskinan masih memerlukan kajian yang lebih mendalam.

Struktur dan Sasaran Kebijakan Fiskal
13. Dari sisi pendapatan, dibandingkan dengan tahun 2010, tahun 2011 mengalami penurunan pendapatan bukan pajak sebesar Rp3,7 triliun meskipun keseluruhan pendapatan negara naik sebesar Rp94,3 triliun, terutama akibat kenaikan harga minyak menjadi US$80—85 per barel.
14. Perkiraan pendapatan pajak berkaitan dengan tax ratio yang dijadikan sasaran. Tax ratio dalam APBN-P TA 2010 sebesar 11,9% lebih tinggi dari perkiraan awal. Tahun 2011 tax ratio tersebut harus naik mendekati tax ratio tahun 2008 (13,0%). Meskipun demikian, tax ratio APBN Indonesia masih lebih rendah dari tax ratio yang dicapai oleh negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand.
15. Belanja pemerintah pusat tahun 2011 meningkat tajam menjadi Rp840,9 triliun, yaitu meningkat sebesar Rp59,4 triliun dan dana transfer ke daerah meningkat menjadi Rp364,1 triliun, naik sebesar Rp19,5 triliun dibandingkan dengan APBN-P TA 2010. Nilai dana transfer ke daerah mencapai 30,2% terhadap belanja negara yang berarti lebih rendah 0,4% dibandingkan dengan tahun 2010.

Tabel II.4 Postur Indikatif APBN-P TA 2010 dan RAPBN TA 2011

Komponen RAPBN 2010 APBN-P 2010
(triliun Rp) APBN 2011
Proyeksi
(triliun Rp)
A. Pendapatan Negara dan Hibah
(1) Penerimaan Dalam Negeri
a. Penerimaan Perpajakan
b. Penerimaan Bukan Pajak
(2) Hibah 992,4
990,5
743,3
247,2
1,9 1.086,7
1.083,4
839,9
243,5
3,2
B. Belanja Negara
(1) Belanja Pemerintah Pusat
(2) Transfer ke daerah 1.126,1
781,5
344,6 1.204,9
840,9
364,1
C. Surplus/defisit anggaran
% defisit terhadap PDB (137,7)
(2,1) (118,3)
(1,7)
D. Pembiayaan 133,7 118,3

Sumber:
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011, Kementerian Keuangan, Mei 2010

16. Gejala menurunnya perkiraan dana transfer ke daerah tidak membantu upaya peningkatan kesejahteraan di daerah. Hal tersebut bertentangan dengan tujuan pengembangan otonomi daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
17. Dana transfer ke daerah amat penting untuk membiayai pembangunan daerah. Alokasi dana transfer ke daerah pada tahun 2011 senilai Rp364,1 triliun patut mendapat apresiasi. Demikian pula dengan komitmen Pemerintah untuk mengalihkan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang digunakan untuk mendanai urusan daerah ke DAK. Seiring dengan penguatan desentralisasi fiskal, DPD RI mengharapkan dana transfer ke daerah merupakan fungsi dari urusan kepemerintahan yang diserahkan ke daerah sesuai dengan prinsip money follows function. Oleh karena itu, DAU juga harus ditingkatkan dari tahun ke tahun dan diarahkan untuk membiayai kegiatan yang lebih produktif, yaitu berupa belanja modal pembangunan.
18. Defisit sebesar 1,7 persen dari PDB dilakukan antara lain untuk mendukung program pembangunan tahun 2011 serta menjaga kesinambungan fiskal. DPD RI mengharapkan defisit sedapat mungkin ditekan dengan meningkatkan efisiensi pengeluaran pembangunan. Dalam kaitan itu, DPD RI memandang penting aspek akuntabilitas penerimaan negara, terutama dari sektor perpajakan, mengingat penerimaan perpajakan menjadi primadona penerimaan tahun 2011. Oleh karena itu, berbagai bentuk penyimpangan oleh oknum aparat pajak harus ditindak secara tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
19. Program stabilitas harga tahun 2011 melalui subsidi diberikan dalam bentuk subsidi energi (BBM dan listrik), dan non-energi (pangan, pupuk, benih, PSO, kredit program, dan subsidi pajak). Bentuk subsidi itu akan diteruskan untuk energi, pangan, dan pupuk.


III PERTIMBANGAN DPD RI ATAS RAPBN TA 2011

Umum

1. Prioritas Pembangunan Nasional RPJMN 2010—2014 terdiri atas 11 prioritas pembangunan nasional yang terdiri atas (a) reformasi birokrasi dan tata kelola; (b) pendidikan; (c) kesehatan; (d) penanggulangan kemiskinan; (e) ketahanan pangan; (f) infrastruktur; (g) iklim investasi dan iklim usaha; (h) energi; (i) lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (j) daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik; dan (k) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi. Kesebelas prioritas tersebut harus menjadi acuan dalam tahun 2011 yang secara konsisten didukung oleh kebijakan fiskal yang memadai. Integrasi antarkesebelas prioritas dalam satuan wilayah harus tergambar dengan jelas, terutama untuk daerah perbatasan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara Timur.

2. Proses penyusunan anggaran mulai dari perencanaan APBN, RPJMN, audit APBN, dan penyusunan LPJ yang semuanya dilaksanakan bersamaan dalam satu tahun sering kali menimbulkan keterlambatan dan kekurangtelitian yang merugikan. DPD RI menganggap pemerintah perlu mencari mekanisme yang lebih baik dan memperhitungkan kebutuhan waktu yang diperlukan untuk menghasilkan percepatan dan ketelitian yang diperlukan dalam sistim penyelenggaraan proses penganggaran. Salah satu yang mungkin perlu dikaji adalah sistim multiyears.

3. Perkiraan PDB sebaiknya dibuat untuk 5 tahun dalam RPJMN sehingga kebutuhan investasi dapat pula diperkirakan untuk 5 tahun ke depan dan kebutuhan APBN dapat diketahui untuk periode 5 tahun dalam RPJMN. Oleh karena itu, harus ada kejelasan antara tugas perencanaan dan penganggaran di antara lembaga-lembaga di lingkungan eksekutif.

4. Peranan APBN dalam pembentukan PDB masih amat rendah (13,6%) jika dibandingkan peranan sumber dana dari swasta (perbankan, pasar modal, laba perusahaan yang diinvestasikan, dan PMA, termasuk utang pemerintah dalam budget). SUN sudah menjadi instrumen yang terpadu dengan budget. Oleh karena itu, peranan APBN harus direorientasikan kembali untuk menyediakan iklim usaha yang diperlukan oleh sumber investasi dari sektor swasta, mengurangi kesenjangan antardaerah, mengurangi kemiskinan (jaring pengaman sosial), memelihara fungsi lingkungan hidup, serta menjamin pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup dan jaminan keamanan nasional.

5. Tahapan-tahapan dalam perencanaan pembangunan yang banyak jenjang dan keterkaitannya masih sukar dilaksanakan secara konsisten dan terpadu. Implementasi tahapan-tahapan perencanaan seperti RPJP, RPJMN, Renstra, RKP, dan roadmap ke dalam satu pekerjaan yang tersinkron secara utuh masih belum terlihat berhasil. Instrumen MUSRENBANG masih perlu dikembangkan untuk memberi kesempatan pada keterpaduan sistim perencanaan yang tepat dan tepat waktu.

6. Konsep negara maritim yang tertuang dalam RPJMN 2010—2014 tampaknya belum dapat diimplementasikan dalam sistim penganggarannya. Meskipun demikian, seharusnya ada pendekatan awal untuk mewujudkan pembangunan nasional dalam konsep negara maritim itu.

Indikator Ekonomi Makro

7. Dalam asumsi indikator makro ekonomi tahun 2011 terdapat perkiraan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2%—6,4%, tetapi komposisi sumber pertumbuhannya perlu diiringi dengan peningkatan pada aspek kualitasnya, yaitu implikasi pada kesejahteraan masyarakat. DPD RI meminta berbagai program dalam APBN agar semakin dapat diukur keberhasilannya dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran sebagaimana indikator ekonomi makro lainnya.

8. Tingkat inflasi (4,9%—5,3%) yang lebih rendah dari tingkat pertumbuhan ekonomi (6,2%—6,4%) cukup memberi jaminan pada pertumbuhan kesejahteraan, tetapi masih banyak daerah yang tingkat inflasinya lebih tinggi (dua digit) dari pertumbuhan ekonomi yang terkait erat dengan peningkatan jumlah penduduk miskin. Daerah tertinggal mempunyai tingkat inflasi 2 digit akibat kelancaran distribusi dan produksi yang rendah disebabkan kurangnya layanan infrastruktur fisik dan ekonomis.

9. Kota-kota di Papua, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, NTB dan NTT, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Timur, bahkan di Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur masih terdapat daerah dengan tingkat inflasi yang tinggi. Tingkat inflasi yang tinggi itu semestinya menjadi indikator pemiskinan di daerah yang seharusnya dijadikan sasaran kebijakan fiskal nasional dan daerah secara konsisten.

10. Kebutuhan modal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,2%—6,4% tampaknya dapat dicapai. DPD RI menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi itu masih dapat ditingkatkan lagi apabila pengendalian inflasi di daerah-daerah dapat dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah.

11. Perlunya meningkatkan mutu berbagai strategi untuk mendorong daya saing dan sekaligus menyejahterakan rakyat secara merata:
a. strategi energi, industri, perdagangan, dan keuangan diharapkan dapat lebih koordinatif dan disertai kinerja pembangunan masyarakat sehingga dapat mencapai sasaran secara tepat, cepat, dan berkelanjutan.
b. pemetaan dampak berbagai strategi liberalisasi ekonomi diharapkan dapat didukung data yang akurat sehingga cepat dan tepat dalam menentukan kebijakan untuk menyejahterakan rakyat.
c. strategi pembangunan otonomi daerah yang lebih luas dikembangkan sebagai bagian dari kebijakan fiskal dan moneter nasional.

12. Perekonomian nasional merupakan totalitas dari perekonomian daerah dan keterkaitan ekonomi antardaerah menjadi penentu dinamika perekonomian nasional. Oleh sebab itu, penetapan asumsi dasar harus mencerminkan realita potensi ekonomi daerah dan keterkaitan ekonomi daerah-nasional.

13. Pemerintah perlu mencantumkan target penurunan kemiskinan, pengurangan pengangguran, kesenjangan pendapatan, dan pertumbuhan ekonomi setiap provinsi untuk tahun yang bersangkutan sebagai satu kesatuan dengan penetapan asumsi dasar ekonomi makro. Dengan pencantuman ini diharapkan setiap perubahan asumsi dasar ekonomi makro akan selalu memperhatikan keterkaitan dengan penurunan kemiskinan, pengangguran, kesenjangan, dan pertumbuhan ekonomi daerah.

14. Penambahan indikator penurunan kemiskinan, pengurangan pengangguran, kesenjangan pendapatan, dan pertumbuhan ekonomi setiap provinsi ke dalam asumsi dasar diharapkan dapat mendorong pemahaman keterkaitan (konektivitas) ekonomi antardaerah dan nasional secara lebih baik, terukur, dan komprehensif. Dengan pemahaman keterkaitan ekonomi antardaerah secara lebih baik, Pemerintah dapat menentukan alokasi dan lokasi investasi pemerintah secara akurat untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing daerah.

Kebijakan Fiskal

15. Kebijakan fiskal yang tertuang dalam postur Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2011 yang menurunkan defisit anggaran menjadi 1,7% dari PDB diharapkan dapat menjaga stabilitas harga barang dan jasa, percepatan pembangunan nasional 2011, pendanaan prioritas mendesak, penyesuaian anggaran pendidikan dan infrasruktur, serta kredit usaha rakyat. DPD RI mengharapkan kebijakan fiskal tersebut dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan dapat menggerakkan sektor pertanian, termasuk kebutuhan infrastruktur dan UMKM yang menyerap tenaga kerja. Dengan demikian, akan berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat di daerah sesuai dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun demikian, pembiayaan defisit anggaran tahun 2011 tersebut tidak dibiayai dari tambahan utang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri.

16. DPD RI memandang penting aspek akuntabilitas penerimaan negara, terutama dari sektor perpajakan. Berbagai bentuk penyimpangan oleh oknum aparat pajak harus ditindak secara tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Kasus pelanggaran hukum oleh oknum perpajakan jangan sampai merusak reformasi birokrasi dan administrasi.

17. Indikator kemiskinan dan ketenagakerjaan tidak terlihat dalam Kerangka Ekonomi Makro 2011 sehingga ada indikasi kurangnya keberpihakan Pemerintah untuk rakyat. Dengan tiadanya indikator tersebut, berbagai program dalam APBN seperti peruntukan alokasi subsidi tidak dapat diukur keberhasilannya dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Harus ada jaminan bahwa uang sampai ke rakyat. Subsidi untuk pendidikan akan meningkatkan kinerja pendidikan. (relevan dg point 14)

18. Inventarisasi dan pengelolaan aset nasional masih menimbulkan masalah disclaimer dalam penyelenggaraan keuangan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kekayaan negara yang dinilai dari aset ini memerlukan pengelolaan yang baik karena menjadi peluang untuk membangun modal pembangunan.

19. Kebijakan fiskal yang terkait dengan penyelenggaraan otonomi daerah tertuang dalam 2 (dua) peraturan perundang-undangan, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kedua UU tersebut dirancang menjadi suatu komitmen negara untuk membangun otonomi daerah dalam kerangka NKRI dan dinyatakan dalam dana transfer ke daerah. UU Nomor 33 Tahun 2004 menetapkan sekurang-kurangnya 26% dari belanja negara ditransfer ke daerah dalam bentuk dana perimbangan yang disebut DAU.

20. Ketetapan tentang dana perimbangan (DAU, DAK, dan DBH) dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, DPD RI menganggap perlu evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan UU itu, termasuk melakukan revisi yang diperlukan untuk membangun otonomi daerah yang luas dalam bingkai NKRI.

21. Sampai saat ini otonomi daerah masih kurang didukung oleh kemampuan keuangan. Belum ada upaya nyata untuk meningkatkan dana minimum 26% DAU.(relevansinya dg point 19?) Dana transfer ke daerah harus dapat dinaikkan sejalan dengan penyerahan sebagian wewenang pemerintah pusat untuk dilaksanakan oleh daerah secara utuh. Kemampuan daerah untuk melaksanakan dana transfer yang besar harus dibangun oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat secara bersama-sama.

22. Pemerintah perlu menyusun kerangka fiskal jangka menengah sampai dengan tahun 2015 untuk memberikan kepastian dalam perencanaan dan penganggaran. Kepastian itu menyangkut besaran dan arah belanja pusat dan dana transfer daerah.

23. Pemerintah juga perlu menjelaskan keterkaitan sasaran pembangunan yang ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2011 dengan RPJMN 2010—2014 dan keterkaitan sasaran RKP Tahun 2011 dengan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga Tahun 2011. Selain itu, Pemerintah perlu menjelaskan keterkaitan berbagai sasaran pembangunan yang dilengkapi dengan indikator kinerja yang terukur dan rinci.

24. Pencapaian 3 (tiga) sasaran utama pembangunan tahun 2011 yaitu percepatan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan sangat ditentukan oleh besaran dan arah insentif fiskal. Pemerintah perlu mengarahkan insentif fiskal untuk pengembangan sektor energi, penguatan ketahanan pangan; dan pembangunan kedaulatan pangan sesuai dengan kapasitas daerah, peningkatan kapasitas SDM, dan pembangunan infrastruktur di daerah. Dengan langkah itu, kebijakan fiskal akan mendorong percepatan peningkatan produktivitas daerah dan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di daerah.

25. Penerimaan perpajakan tahun 2011 meningkat sebesar Rp96,6 triliun atau meningkat sebesar 13% dibanding penerimaan perpajakan tahun 2010. Peningkatan penerimaan perpajakan pada dasarnya merupakan mobilisasi uang rakyat. DPD RI juga mencatat masih terjadi berbagai kasus penyalahgunaan pajak (apa rekomendasinya? )

26. DPD RI mencatat bahwa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menurun dari Rp247,2 triliun menjadi Rp243,5 triliun atau menurun sebesar Rp3,7 triliun. Meningkatnya penerimaan perpajakan perlu diimbangi dengan tanggung jawab politik Pemerintah dalam mengelola pendapatan dengan efisien dan efektif untuk mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat, peningkatan produktivitas, dan percepatan pembangunan daerah.

27. DPD RI juga berpendapat bahwa Pemerintah perlu bekerja keras dalam mengoptimalkan penerimaan perpajakan sehingga tax ratio secara bertahap akan meningkat menjadi 13%—15% dari PDB.

28. Pemerintah perlu mengoptimalkan PNBP melalui berbagai langkah seperti optimalisasi penerimaan deviden dan pajak dari BUMN, optimalisasi penerimaan minyak dan gas, serta langkah lain yang mendasar.

29. DPD RI mencatat bahwa kerja sama investasi antara pemerintah daerah dan perusahaan minyak dan gas bumi masih belum berjalan dengan baik, lancar, dan benar, terutama menyangkut penyediaan prasarana dan perhitungan bagi hasil. Dalam hal ini DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu mendorong investasi perusahaan minyak dan gas atas dasar kerja sama yang solid dan saling menguntungkan dengan pemerintah daerah.

30. DPD RI mencatat bahwa kebutuhan minyak dan gas dalam negeri masih cukup besar, terutama rakyat di daerah pedalaman yang sulit dijangkau dengan transportasi, seperti di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan. Kesulitan mendapatkan minyak dan gas menyebabkan biaya transportasi menjadi mahal.

31. Selain itu, kesulitan bahan baku juga berdampak pada biaya produksi, terutaman bagi para nelayan yang menggunakan perahu motor dan petani yang menggunakan peralatan pendukung berbahan bakar minyak. Oleh sebab itu, DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu menyusun peta kebutuhan minyak dan gas di seluruh wilayah sebagai dasar penetapan alokasi distribusi minyak dan gas. Pemerintah perlu memperbaiki distribusi minyak dan gas antardaerah dengan memperhatikan kebutuhan rakyat di setiap daerah dan keseimbangan distribusi antardaerah.

32. DPD RI mencatat bahwa kenaikan tarif dasar listrik akan mendorong kenaikan harga barang dan jasa serta membawa dampak menurunnya daya beli rakyat, terutama rakyat miskin. Pemerintah perlu melakukan perbaikan layanan penyediaan listrik dalam menjaga pasokan listrik dan memperluas jaringan distribusi listrik, terutama di daerah-daerah yang selama ini belum mendapat layanan listrik seperti di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.

33. DPD RI menemukan bahwa kemampuan dan daya beli masyarakat serta jangkauan layanan di setiap wilayah berbeda. Oleh sebab itu, Pemerintah perlu mempertimbangkan penerapan tarif dan subsidi listrik menurut wilayah.

Transfer ke Daerah

34. Penambahan dana perimbangan, khususnya DBH senilai Rp4,5 triliun, patut dipertanyakan mengingat masih banyak utang dana bagi hasil migas (kurang salur) yang belum diselesaikan oleh Pemerintah sehingga merugikan daerah. Meskipun Pemerintah berkomitmen untuk merealisasikan kurang salur DBH Migas tahun 2008 pada APBN TA 2010, DPD RI mengkhawatirkan penurunan persentase dana transfer ke daerah yang berdampak pada perlambatan pembangunan di daerah. Mekanisme pelaksanaan dana transfer ke daerah agar dipertimbangkan kemudahan penyerapan anggaran oleh daerah. Adapun DBH perkebunan belum dimuat dalam UU Nomor 33 Tahun 2004. Perlu revisi UU tersebut untuk memasukkan DBH perkebunan.
35. DAU yang selama ini didistribusikan dengan maksud menutupi defisit fiskal daerah memerlukan kajian yang lebih mendalam sehubungan dengan konsep negara kesatuan NKRI. Dalam konsep persatuan dan kesatuan diharapkan semua daerah mendapat akses kepada DAU. Perolehan DAU yang relatif kecil lebih baik dari sisi peraturan dibandingkan dengan tidak memperoleh DAU.

36. Pemerintah agar mencermati dan memperhatikan formula DBH cukai hasil tembakau, DBH perkebunan, pedoman anggaran pendidikan, subsidi untuk guru sesuai dengan UMR, jaminan sosial dan kesehatan, daerah penghasil migas yang tidak mendapat DBH, serta realokasi untuk anggaran sektor pertahanan.

37. Pos anggaran dana pendamping DAK dan PNPM tidak ada di beberapa daerah. Sebaiknya, PNPM tidak mensyaratkan dana pendamping atau paling tidak dana pendamping PNPM diturunkan menjadi 3%—5% saja. Untuk meningkatkan tanggung jawab dan akuntabilitas DAK di daerah, peran gubernur dapat ditingkatkan sebagai pembantu pemerintah di daerah, dan pemerintah pusat (K/L) menyerahkan tanggung jawab pelaksanaan DAK kepada daerah.

38. Kebijakan dana transfer daerah masih belum optimal dalam mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat dan memacu kemajuan daerah. Oleh karena itu, diperlukan upaya pemerintah yang lebih konsisten untuk (a) melakukan pembenahan terhadap mekanisme perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian, dan evaluasi dalam pengelolaan transfer daerah; (b) memberikan kepastian alokasi dana transfer daerah dalam lima tahun dengan mengacu pada konsep kerangka jangka menengah (medium-term expenditure framework). Tujuannya adalah memberikan kepastian bagi pemerintah daerah dalam merumuskan rencana dan anggaran serta kepastian pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pembangunan.

39. DPD RI mencatat bahwa transfer dana dari pusat ke daerah ternyata menciptakan ketergantungan fiskal terhadap pusat yang lebih tinggi. Sistim transfer dana ke daerah belum mampu menurunkan ketimpangan antarprovinsi secara nyata. Pola perhitungan dan alokasi dana transfer daerah dipandang belum berkeadilan. Provinsi Riau, Kalimantan Timur, dan NAD memiliki dana bagi hasil (DBH) yang besar dari SDA, tetapi mendapat alokasi DAU kecil sehingga menyebabkan munculnya ketidakadilan vertikal. Oleh sebab itu, Pemerintah perlu memperbaiki dasar perhitungan DBH dengan perhitungan dan formula alokasi dan penyaluran ke daerah yang lebih trasparan dan lebih adil.

40. DPD RI mencatat bahwa dasar perhitungan dan formula alokasi dana transfer ke daerah belum memperhitungkan karakteristik wilayah kepulauan dan tingkat kesulitan daerah. Oleh sebab itu, DPD RI mendorong Pemerintah untuk melakukan perbaikan dasar perhitungan dan formulasi alokasi dana transfer daerah, terutama DAU, dengan memperhatikan perbedaan karakteristik daerah, tingkat kesulitan daerah, wilayah kepulauan, dan asas hak dasar masyarakat yang membangun kesamaan dan kesetaraan.

41. DPD RI mencatat bahwa komponen DAK terus berkembang menjadi 19 bidang. Peningkatan jumlah komponen bidang akan menyulitkan bagi pemerintah daerah dalam memahami kebijakan, kriteria dan lingkup kegiatan, serta merepotkan dalam administrasi. Oleh sebab itu, DPD RI mengusulkan kepada Pemerintah agar membuat pengelompokan (clustering) 19 bidang DAK tersebut menjadi 5 kelompok bidang, yaitu (1) bidang pengembangan sumber daya manusia; (2) bidang pengembangan prasarana; (3) bidang percepatan pembangunan ekonomi; (4) bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan (5) bidang penataan birokrasi dan pelayanan publik.

42. Pemerintah harus cepat menanggulangi berbagai hambatan dalam pengelolaan dana transfer daerah, antara lain, yang disebabkan oleh:
a. adanya perubahan peraturan perundang-undangan yang sangat cepat tanpa diikuti oleh sosialisasi telah menyebabkan keterlambatan penyesuaian terhadap peraturan yang baru dan berdampak terhadap kurang optimalnya penyerapan belanja daerah;
b. terbatasnya pemahaman aparatur terhadap teknis penyusunan anggaran dan pengalokasian dana terutama dalam penentuan prioritas belanja dengan mengacu pada prinsip anggaran berbasis kinerja;
c. belum adanya standar pelayanan minimal sebagai acuan dalam mengalokasikan anggaran belanja daerah;
d. belum adanya standar analisis belanja sebagai acuan yang digunakan untuk mengukur tingkat kewajaran belanja dan beban kerja; dan
e. belum semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau dinas/instansi menggunakan anggaran berbasis kinerja sebagai dasar penyusunan anggaran. Kondisi ini menyebabkan kesulitan dalam menetapkan indikator kinerja program dan kegiatan setiap SKPD dan ketidaktepatan dalam mengalokasikan belanja daerah untuk mewujudkan tujuan dan sasaran pembangunan.

43. Selain itu, DPD RI mencatat bahwa DAK masih belum mencapai tujuan dan sasaran seperti yang diharapkan. Hal itu disebabkan lemahnya pengendalian dan evaluasi yang dilakukan Pemerintah dan terbatasnya kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan dana. Hampir semua provinsi di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera mengalami hambatan dalam penyediaan infrastruktur. Oleh sebab itu, alokasi dana transfer ke daerah TA 2011 perlu diperbesar guna mendukung percepatan pembangunan infrastruktur dan prasarana daerah.

44. Beberapa provinsi mengalami keterlambatan dan kekurangan dalam penyaluran dana bagi hasil (DBH). Oleh sebab itu, Pemerintah perlu segera menyelesaikan keterlambatan dan kekurangan dalam pembayaran dana bagi hasil kepada daerah pada tahun anggaran 2011.

45. DPD RI mengetahui bahwa perkebunan di beberapa daerah mengalami perkembangan yang pesat sehingga memberikan pendapatan kepada negara. Oleh karena itu, Pemerintah perlu memasukkan DBH sektor perkebunan sebagai salah satu DBH SDA di luar sektor yang telah mendapatkan persetujuan dalam APBN TA 2010.

46. Formulasi perhitungan dana transfer ke daerah harus lebih transparan bagi daerah untuk mempermudah perencanaan pembangunan di daerah. Salah satu yang perlu dibuka untuk daerah adalah data lifting migas yang digunakan untuk perhitungan DBH Migas. Transparansi informasi tersebut telah menjadi perintah undang-undang. Oleh karena itu, Pemerintah dan BPMIGAS perlu memberikan akses kepada daerah untuk memperoleh data lifting migas tersebut.

47. DPD RI mencatat bahwa beberapa daerah yang mempunyai kinerja dan kapasitas fiskal yang meningkat cenderung mengalami penurunan alokasi dana transfer daerah. Dalam hal ini, Pemerintah perlu mempertimbangkan perubahan kebijakan dalam penghitungan dan formula DAU agar peningkatan kinerja keuangan daerah yang berupa peningkatan DBH dan/atau PAD bagi suatu daerah tidak menjadi disinsentif bagi daerah yang bersangkutan.

48. Dengan memperhatikan kecenderungan perubahan iklim yang berdampak bagi seluruh kehidupan masyarakat dan kelangsungan sumber daya alam dan lingkungan hidup, DPD RI mengusulkan kepada Pemerintah untuk mempertimbangkan alokasi anggaran khusus untuk mengantisipasi perubahan iklim bagi daerah-daerah yang terkena dampak yang parah. Prioritas dan perlakuan yang sama juga harus diberlakukan bagi daerah rawan bencana alam lain.

49. Dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan merupakan anggaran yang dikelola langsung oleh K/L untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan telah menjadi urusan daerah. Dalam upaya percepatan pembangunan daerah, DPD RI mengusulkan kepada Pemerintah untuk segera mengalihkan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan menjadi DAK sesuai dengan ketentuan undang-undang. Pengalihan dana dekon dan dana tugas perbantuan tidak boleh mengurangi alokasi dana dalam APBD untuk kegiatan yang sama. Pengalihan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan tersebut erat pula kaitannya dengan sistim pengawasan yang dapat dikembangkan lebih baik.

50. Dana otonomi khusus (OTSUS) telah dialokasikan ke daerah yang memerlukan peningkatan penyelenggaraan otonomi khusus seperti Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dana serupa juga harus diberikan kepada Provinsi Papua Barat, terpisah dari dana otsus yang diberikan kepada Provinsi Papua.

Pelaksanaan Pembangunan

51. DPD RI berpendapat bahwa kenaikan belanja negara perlu diimbangi dengan reformasi birokrasi dalam meningkatkan jangkauan dan mutu pelayanan publik, terutama di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera, serta beberapa daerah di wilayah Jawa-Bali.

52. DPD RI mencatat bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum sepenuhnya menerapkan anggaran berbasis kinerja dalam perencanaan program dan kegiatan pembangunan. Kondisi ini menyebabkan pengelolaan belanja menjadi kurang optimal dalam mencapai tujuan pembangunan, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan produktivitas dan daya saing, mempercepat pembangunan daerah, dan mendorong pemerataan pembangunan antardaerah.

53. DPD RI menemukan bahwa Pemerintah belum memperhatikan keseimbangan belanja modal, belanja perjalanan, serta belanja barang dan jasa. Dalam hal ini, DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu meningkatkan belanja modal yang diarahkan untuk pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, lapangan terbang, pembangkit listrik, dan penyediaan air bersih. Peningkatan pembangunan diarahkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan rakyat, menjamin kelancaran distribusi barang, jasa, dan informasi, serta meningkatkan produktivitas dan daya saing produk nasional.

54. Pembangunan infrastruktur perlu diarahkan ke daerah yang kurang berkembang sebagai akibat kendala infrastruktur, termasuk daerah-daerah di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian daerah di wilayah Sumatera. Pembangunan infrastruktur tersebut diharapkan dapat mempercepat pembangunan daerah dan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru di daerah. Selain itu, Pemerintah juga diharapkan mendorong penggunanaan barang dan jasa dari dalam negeri yang dihasilkan oleh usaha mikro, kecil menengah, dan koperasi (UMKMK) sehingga belanja barang dan jasa akan mendorong kegiatan ekonomi rakyat.

55. DPD RI masih menemukan proses pencairan dan penyaluran anggaran setiap tahun yang selalu mengalami keterlambatan sehingga tidak optimal dalam menggerakkan ekonomi. Salah satu penyebab keterlambatan adalah rumitnya ketentuan pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Oleh sebab itu, Pemerintah perlu meninjau kembali ketentuan yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 dan mengembangkan kapasitas aparatur dalam pengadaaan barang dan jasa dengan tetap memperhatikan kualitas akuntabilitasnya.

56. Lambatnya penyerapan anggaran akan mengakibatkan jumlah uang beredar semakin kecil, mengganggu cash flow para pelaku usaha, dan menciptakan kekeringan likuiditas. Oleh karena itu, Pemerintah perlu menerapkan sistem dan mekanisme reward and punishment bagi kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang terlambat dalam menyerap anggaran, misalnya dengan memotong pagu anggaran tahun berikutnya.

57. DPD RI menemukan bahwa pelaksanaan desentralisasi masih belum optimal. Pelaksanaan desentralisasi masih didominasi oleh proses dan kegiatan politik yang sering menyebabkan sengketa dan konflik antarwarga. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus terus membangun solidaritas sosial yang mantap dalam konteks pembangunan otonomi yang lebih bertanggung jawab.

58. DPD RI berpendapat bahwa desentralisasi fiskal perlu terus didorong dan ditingkatkan antara lain dengan menambah alokasi DAU dari 26 persen pada tahun 2010 secara bertahap menjadi paling sedikit 29 persen pada tahun 2014 dan seterusnya. Peningkatan alokasi DAU diharapkan dapat memacu peningkatan layanan publik di daerah menjadi lebih baik, bermutu, cepat, mudah, dan murah; meningkatkan produktivitas ekonomi daerah; serta memacu peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, Pemerintah harus secara terus menerus meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan anggaran dan peningkatan layanan publik.

59. Dalam pelayanan kesehatan, permasalahan utama menyangkut keterbatasan akses layanan kesehatan, khususnya keluarga miskin di daerah-daerah yang memiliki karakteristik geografis yang sulit, serta adanya berbagai penyakit menular seperti HIV/AIDS, flu burung, demam berdarah, penyakit menular lainnya, serta daerah rawan bencana.

60. Selain itu, permasalahan kesehatan berkaitan dengan rendahnya pemenuhan gizi terutama ibu, bayi, dan balita dari keluarga miskin, serta rendahnya kesadaran perilaku hidup bersih dan sehat. Provinsi yang memiliki permasalahan kesehatan yang cukup banyak antara lain NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

61. Sebagian besar desa/kelurahan di wilayah Papua, Maluku, dan Kalimantan mengalami kesulitan dalam menjangkau prasarana kesehatan. Beberapa provinsi memiliki lebih dari 20 persen desa/kelurahan yang mengalami kesulitan pelayanan kesehatan, yaitu Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Papua, dan Papua Barat.

62. DPD RI berpendapat bahwa peningkatan jangkauan dan mutu layanan kesehatan perlu dilakukan dengan menempuh berbagai upaya, yaitu optimalisasi mekanisme pembiayaan yang ada dengan mengutamakan perhatian terhadap anak dan ibu dari keluarga miskin, peningkatan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program dan kegiatan Kementerian Kesehatan, serta penguatan koordinasi Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah.

63. DPD RI mencatat bahwa tingginya angka kemiskinan dan belum memadainya jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan dan pendidikan merupakan permasalahan utama yang terjadi di sebagian besar provinsi di Papua, Papua Barat, NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Sulawesi Tengah, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah terutama masyarakat kawasan pesisir, daerah teringgal, kawasan perbatasan, daerah pedalaman, daerah kumuh perkotaan, daerah yang terkena bencana alam, dan daerah rawan pangan.

64. DPD RI berpendapat bahwa sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005—2025, masalah kemiskinan harus dilihat sebagai kegagalan pemenuhan hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak dasar rakyat terutama hak atas pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat, sistim identitas tunggal (single identity number) bagi penduduk harus segera diwujudkan.

65. DPD RI berpendapat bahwa dalam tahun 2011 dan RPJM 2010—2014, Pemerintah perlu mengoptimalkan seluruh sumber daya, meningkatkan koordinasi antarkementerian/lembaga, dan memperkuat sinergi pusat-daerah dalam mengatasi kemiskinan. Seluruh program dan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh K/L dan pemerintah daerah harus diarahkan untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar rakyat.

66. PNPM yang mencakup seluruh kecamatan, meliputi pelayanan dasar seperti penyediaan air bersih dan infrastruktur jalan yang menghubungkan sentra produksi dengan pasar. Pos anggaran dana pendamping DAK dan PNPM tidak ada di beberapa daerah. Sebaiknya PNPM tidak mensyaratkan dana pendamping atau paling tidak dana pendamping PNPM diturunkan menjadi 3%—5%. DPD RI menganggap perlu dilakukan kajian yang berkaitan dengan PNPM karena PNPM dapat menyebabkan tergilasnya mekanisme tradisional seperti dana tabungan masyarakat.

67. Melalui PNPM, Pemerintah perlu memperhatikan, mempersiapkan, serta membantu masyarakat dan dunia usaha nasional dan daerah untuk memanfaatkan pasar yang besar di Cina dalam format CAFTA.



IV SARAN

1. Laju pertumbuhan ekonomi perlu terus dipacu menjadi lebih dari 6,2%—6,4% dengan memanfaatkan perekonomian dunia yang membaik dan membangun daya saing agar tidak tertinggal dari negara sekitar yang mulai tumbuh dan memanfaatkan perkembangan ekonomi Cina dan India sebagai pemicu, serta melalui peningkatan peranan daerah di bidang pembangunan ekonomi melalui penyediaan infrastruktur ekonomi yang mencukupi.

2. Tingkat investasi yang diperkirakan akan meningkat pada tahun 2011 harus dikawal oleh Pemerintah agar menjadi kenyataan melalui berbagai upaya penyiapan iklim investasi yang kondusif, penyediaan infrastruktur, dan lokasi yang tepat di daerah.

3. Perubahan komposisi sumber pertumbuhan ekonomi tahun 2011 harus tetap mengacu pada tujuan jangka menengah untuk mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan. Indikator kesejahteraan yang berupa penyediaan lapangan kerja dan tingkat kemiskinan diterapkan pada setiap sektor pembangunan.

4. Peranan APBN direorientasikan pada redistribusi APBN dari orang/daerah yang kaya ke daerah yang miskin, pemerataan, pemberdayaan masyarakat (empowerment), penyediaan iklim usaha yang baik, jaminan sosial, jaminan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan, pelindungan fungsi lingkungan hidup, dan jaminan keamanan bagi masyarakat, serta fasilitasi untuk menyatukan usaha kecil dan usaha besar yang saling menguntungkan.

5. Keterkaitan antara usaha besar yang sedikit jumlahnya dengan usaha kecil masyarakat yang amat besar jumlahnya memerlukan fasilitasi yang dapat dibangun oleh pemerintah agar keduanya mendapat manfaat yang adil.

6. Pemerintah memfasilitasi kesatuan nasional dalam bidang ekonomi dan sosial melalui sistim transportasi yang menghubungkan semua daerah dalam konsep negara maritim. Lautan harus dijadikan pemersatu dan bukan pemisah antardaerah melalui sistim transportasi terpadu, sektor perhubungan laut agar menjadi primadona baru dalam APBN dan RPJMN. Menjadikan RPJMN menjadi referensi dalam politik pembangunan daerah maritim.

7. Dana transfer ke daerah terus dikembangkan sebagai konsekuensi pembangunan otonomi daerah dalam bingkai NKRI. DAU digunakan sebagai instrumen pemersatu nasional. DAU harus naik secara bertahap untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran di daerah.

8. Dana transfer ke daerah dalam bentuk PBB dan BPHTB agar segera dijadikan pajak daerah yang langsung dikelola oleh daerah.

9. Kebijakan fiskal harus menyatu dengan kebijakan industri, kebijakan energi, dan kebijakan sosial untuk membangun kekuatan daya saing bangsa yang kuat. Kebijakan infrastruktur juga diarahkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat golongan menengah dan bawah untuk membangun potensi partisipasi dalam pembangunan yang lebih mendalam.

10. Perlu segera dilakukan reorientasi belanja pusat dalam percepatan pembangunan daerah. Saat ini berbagai instrumen dan skema anggaran telah digunakan oleh pemerintah dalam mempercepat pembangunan daerah antara lain dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan, dana transfer daerah (DAU, DAK, DBH, dana otonomi khusus, dan dana penyesuaian). Salah satu kelemahan dari pengelolaan berbagai instrumen anggaran tersebut adalah lemahnya sinkronisasi. DPD RI menyarankan agar Pemerintah melakukan sinkronisasi pengelolaan seluruh instrumen anggaran tersebut dengan mengutamakan pemerataan antardaerah. Dalam pengalokasian berbagai instrumen anggaran, Pemerintah menggunakan pendekatan wilayah sebagai pertimbangan utama, terutama dalam mempercepat pembangunan wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan.

11. Optimalisasi dana transfer ke daerah perlu segera dilakukan. DPD RI menyarankan agar Pemerintah memikirkan desain dan skema mobilisasi dan alokasi sumber daya bangsa secara menyeluruh. Pemerintah perlu mempercepat pengalihan dana dekonsentrasi/dana tugas pembantuan bergeser menjadi dana transfer ke daerah.

12. Pemerintah agar mengembangkan penyempurnaan mekanisme perencanaan dan penganggaran. Mekanisme pembahasan anggaran negara menggunakan mekanisme musrenbang. Usulan tersebut diwujudkan dalam bentuk program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat seperti infrastruktur jalan dan jembatan, irigasi pertanian, pendidikan, dan kesehatan. Pemerintah agar menyempurnakan mekanisme musrenbang.

13. Format pagu anggaran kementerian/lembaga dikembangkan dengan memperhatikan wilayah. Dalam upaya mempercepat pembangunan daerah dan mendorong pemerataan pembangunan antardaerah, format RAPBN perlu diubah sehingga mencerminkan pola alokasi dana menurut K/L dan pola alokasi dana menurut wilayah.

14. Perubahan format APBN juga diikuti dengan sinkronisasi nomenklatur program dan kegiatan APBN dan APBD dengan tujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan program dan kegiatan dalam mempercepat pembangunan daerah.

15. Optimalisasi investasi swasta perlu terus dikembangkan. DPD RI mencatat bahwa investasi swasta masih terpusat di Jawa dan beberapa provinsi terutama DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten. Hal itu disebabkan oleh ketimpangan dalam penyediaan infrastruktur publik sebagai pendukung utama investasi swasta. DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu mengembangkan prioritas wilayah sebagai lokasi investasi swasta dengan membangun infrastruktur dan memberikan berbagai insentif fiskal bagi investasi di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.

16. Porsi portofolio penanaman modal asing (PMA) semakin besar sehingga berpotensi mengancam penguasaan sumber daya ekonomi oleh pihak asing. Dalam hal ini, DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu mendorong peningkatan peran penanam modal domestik (PMDN) dengan memberikan berbagai fasilitas, insentif fiskal, dan berbagai kemudahan lainnya.

17. Hambatan dalam optimalisasi investasi swasta berupa kurang memadainya pengetahuan aparat tentang investasi global, kelembagaan investasi, instrumen, dan pasar keuangan global sehingga aparat masih terlalu fokus pada hulu dibanding hilir dalam investasi. Hambatan lainnya adalah lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah, rumitnya proses persetujuan, dan pelaksanaan investasi di daerah. Masalah yang dihadapi oleh calon penanam modal antara lain (a) lambatnya prosedur dan proses untuk memulai usaha, terutama menyangkut lambatnya pemberian izin usaha, tingginya biaya perizinan, dan lemahnya dukungan permodalan; (b) rumitnya urusan di bidang ketenagakerjaan terutama menyangkut kontrak kerja, upah minimum, jam kerja, dan jaminan pemutusan hubungan kerja; dan (c) tidak jelasnya prosedur dan proses di bidang perpajakan, termasuk jumlah jenis pajak dan proses pembayaran pajak.

18. DPD RI mencatat bahwa hambatan di bidang tata ruang sering kali mengganggu optimalisasi investasi swasta. Hambatan lainnya adalah terbatasnya informasi tentang komoditas unggulan daerah sehingga calon penanam modal tidak memahami potensi daerah.

19. Dengan memperhatikan berbagai catatan tersebut, DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu menata dan menguatkan kelembagaan di bidang investasi, mempercepat penerbitan peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang dalam bentuk peraturan daerah, dan menata kembali sistem informasi daerah berbasis laman (website); serta penguatan dan percepatan pelaksanaan sistem pelayanan terpadu satu pintu (SPTSP).

20. Mobilisasi dana perbankan perlu ditingkatkan. DPD RI mencatat bahwa mobilisasi dana perbankan di daerah dan penyaluran kredit masih belum seimbang dan belum optimal dalam mendorong kemajuan pembangunan di daerah. Perbankan lebih banyak menghimpun dana dibanding menyalurkan kredit di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

21. DPD RI dan DPR RI bersama Pemerintah perlu merumuskan perbankan wilayah (regional banking) yang memberikan prioritas perbankan untuk beroperasi di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, serta Papua dengan tujuan meningkatkan uang beredar, mengoptimalkan pengelolaan dana di wilayah tersebut, dan mencegah kebocoran dana perbankan dari wilayah tersebut ke wilayah Jawa-Bali.

22. Peran bank pembangunan daerah (BPD) sebagai intermediasi belum optimal dalam mendukung percepatan pembangunan daerah, terutama dalam menyalurkan kredit kepada pelaku usaha di daerah. BPD masih melakukan operasi seperti perbankan konvensional yang berlomba-lomba menyimpan dana dalam bentuk Sertifikat Bank indonesia (SBI). Oleh sebab itu, pemerintah pusat bersama pemerintah daerah perlu mendorong peran BPD yang lebih aktif dalam penyaluran kredit investasi dan kredit modal kerja kepada para pengusaha di daerah. Dalam mendukung penguatan peran BPD, Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia perlu memberikan stimulus kepada BPD dalam bentuk pelonggaran giro wajib minimum (GWM) dan batas penyertaan modal kerja (BPMK) bagi BPD yang mempunyai rasio penyaluran kredit dan simpanan (LDR) di atas 75%.

23. DPD RI dan DPR RI bersama Pemerintah perlu memikirkan politik anggaran secara jelas dan pasti sehingga menempatkan anggaran negara sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan (policy driven).

24. DPD RI menganggap perlu kerja sama dengan DPR RI dan Pemerintah untuk memikirkan desain dan skema mobilisasi dan alokasi sumber daya, baik dari rupiah murni, pinjaman/hibah, investasi swasta, maupun dana perbankan secara menyeluruh dalam upaya mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat dan memacu kemajuan daerah.

25. Dalam upaya mempercepat pembangunan daerah, Pemerintah perlu menambah volume dana transfer ke daerah melalui berbagai cara dan mekanisme penyaluran yang tepat dan mudah.

26. DPD RI menganggap perlu mengembangkan upaya pemerataan pembangunan yang lebih mendasar sampai ke desa-desa. Oleh karena itu, skema dana Program Percepatan dan Pemerataan Pembangunan Daerah (P4D) perlu terus dikembangkan dan dijaga agar tidak tumpang tindih dengan program yang lain pada tingkat desa.


V PENUTUP
Demikianlah pertimbangan DPD RI ini dibuat sesuai dengan amanat konstitusi untuk menjadi pertimbangan bagi DPR RI dalam melakukan pembahasan bersama pemerintah untuk menetapkan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011.

PERIMBANGAN DPD SOAL RAPBN 2011

I PENDAHULUAN

1. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kedudukan dan wewenang DPD RI adalah sebagai berikut.
a. DPD RI memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) atas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
b. Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (a) diberikan dalam bentuk tertulis sebelum memasuki tahapan pembahasan antara DPR RI dan Pemerintah.
c. Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (a) menjadi bahan bagi DPR RI dalam melakukan pembahasan dengan Pemerintah.

2. Pertimbangan DPD RI ini disusun berdasarkan masukan dari masyarakat, pakar, dan lembaga pemerintah dan nonpemerintah melalui berbagai rapat kerja, rapat dengar pendapat, dan seminar/FGD.


II STRUKTUR DAN SASARAN RAPBN TA 2011

1. APBN disusun dengan berdasarkan asumsi makro ekonomi tertentu dalam lingkungan eksternal perekonomian dunia dan juga disusun berdasarkan permasalahan nasional dan daerah yang dihadapi bangsa. Selain itu, APBN merupakan tanggapan pemerintah pusat dan daerah terhadap tantangan untuk menyejahterakan masyarakat.

2. RAPBN TA 2011 disusun dengan memperhatikan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2011 sebagai penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010—2014 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010—2014.

3. Amanat konstitusi menegaskan bahwa anggaran negara menjadi instrumen untuk mencapai tujuan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat konstitusi juga menegaskan perlunya percepatan pembangunan di daerah untuk mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata di seluruh daerah.

4. Dalam rangka memajukan kehidupan bangsa dan mendorong peningkatan kesejahteraan secara merata di seluruh daerah, anggaran negara sebesar mungkin harus ditujukan untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar rakyat, terutama di wilayah yang relatif tertinggal.

5. Dari sisi politik anggaran, Pemerintah harus dapat merumuskan tujuan pengelolaan anggaran negara secara jelas dan terukur sehingga dapat memberikan kepastian.


Kerangka Ekonomi Makro Tahun 2011

6. Pemerintah menggunakan 6 (enam) indikator makro ekonomi yang terdiri atas pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, nilai tukar rupiah/US$, suku bunga SBI 3 bulan, harga minyak mentah ICP, dan lifting minyak, seperti terlihat dalam tabel II.1. Penetapan asumsi dasar harus mencerminkan realita potensi ekonomi daerah dan keterkaitan ekonomi daerah-nasional. Pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi erat kaitannya dengan penyediaan infrastruktur ekonomi dalam bidang produksi dan distribusinya serta kepastian iklim usaha bagi masyarakat.
7. Pengaruh dari kebijakan makro ekonomi terhadap perekonomian daerah harus dijadikan acuan dalam strategi fiskal dan moneter untuk menyejahterakan masyarakat di daerah. Kemiskinan dan pengangguran tidak dapat diatasi dengan program sesaat yang sama, tetapi memerlukan pendekatan struktural yang lama.
8. Menurut data BPS Maret 2009, persentase kemiskinan di beberapa provinsi masih di atas 18% seperti Papua (37,5%), Papua Barat (35,7%), Maluku (28,2%), Gorontalo (25,0%), Nusa Tenggara Timur (23,3%), Nusa Tenggara Barat (22,8%), Nanggroe Aceh Darussalam (21,8%), Lampung (20,2%), Sulawesi Tengah (19,0%), Sulawesi Tenggara (18,9%), dan Bengkulu (18,6%). DPD RI berpendapat bahwa kemiskinan yang terjadi di beberapa daerah tersebut bersifat struktural sehingga tidak dapat diatasi hanya dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang bersifat parsial. Upaya pengurangan kemiskinan di beberapa daerah perlu pemahaman terhadap akar masalah kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. Oleh sebab itu, pemerintah agar melakukan sinkronisasi berbagai kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan untuk mengatasi kemiskinan struktural di daerah tersebut.

Tabel II.1 Perubahan asumsi indikator ekonomi makro APBN-P TA 2010 dan RAPBN TA 2011

Asumsi Makro APBN 2009
Realisasi a APBN-P 2010 b RAPBN 2011 b
1. Pertumbuhan Ekonomi 4,5 5,8 6,2-6,4
2. Laju Inflasi 2,78 5,3 4,9-5,3
3. Nilai Tukar Rp/US$ 10.408 9.200 9.100-9.400
4. Suku Bunga SBI 3 bulan 6,59 6,5 6,3-6,7
5. Harga Minyak ICP 61,5 80 80-85
6. Lifting Minyak 0,95 0,965 0,960-0,980

Sumber:
a. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2009 (audited), Kementerian Keuangan, Mei 2010.
b. Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011. Kementerian Keuangan RI, Mei 2010

9. Dari 6 (enam) indikator ekonomi makro hanya satu, yaitu pertumbuhan ekonomi, yang mengalami peningkatan dibandingkan dengan APBN TA 2010 dan APBN TA 2009 (Tabel II.1). Sumber pertumbuhan ekonomi tahun 2011 sebesar 6,2%—6,4% adalah pertumbuhan pengeluaran konsumsi masyarakat (5,3%—5,4%), konsumsi pemerintah (6,3%—6,5%), PMTB (11,0%—11,2%), ekspor (11,3%—11,5%), dan impor (12,5%—12,7%) (Tabel II.2).

Tabel II.2 Perkiraan sumber pertumbuhan ekonomi Tahun 2011 (%)

Pengeluaran Tahun 2011
1. Konsumsi Masyarakat 5,3—5,5
2. Konsumsi Pemerintah 6,3—6,5
3. PMTB 11,0—11,2
4. Ekspor 11,3—11,5
5. Impor 12,5—12,7
PDB 6,2—6,4

10. Sumber pertumbuhan sektoral yang diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional mendapat hambatan tinggi dari sektor infrastruktur listrik, energi, dan air yang tumbuh amat lambat (Tabel II.3).

Tabel II.3 Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Tahun 2011 (dalam % yoy)

Sektor Pertumbuhan Struktur PDB
1. Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan 4,4—4,6 15,2
2. Pertambangan dan penggalian 3,5—3,7 10,3
3. Industri pengolahan 4,4—4,6 26,6
4. Listrik, gas, dan air bersih 9,3—9,5 0,8
5. Konstruksi 8,6—8,8 10,0
6. Perdagangan, hotel, dan restoran 7,4—7,6 13,4
7. Pengangkutan dan komunikasi 12,2—12,4 6,3
8. Keuangan, real estate, dan jasa perusahaan 5,5—5,7 7,3
9. Jasa-jasa 6,7—6,9 10,2
PRODUK DOMESTIK BRUTO 6,2—6,4 100,0
Sumber: Kementerian Keuangan

11. Tingkat inflasi di daerah tertinggal pada umumnya lebih tinggi dari rata-rata nasional. Oleh karena itu, Pemerintah diharapkan memusatkan perhatian pada inflasi tinggi yang terjadi di beberapa daerah. Pada tahun 2008 laju inflasi di wilayah Papua, khususnya Manokwari adalah sebesar 20,51 persen, Sorong 19,6 persen, dan Jayapura 12,6 persen. Laju inflasi beberapa daerah di Sulawesi juga jauh di atas rata-rata inflasi nasional seperti Palopo 17,6 persen, Kendari 15,2 persen, Bone 14,2 persen, Pare-pare 13,3 persen, dan Mamuju 11,7 persen. Di wilayah Maluku tingkat inflasi di Ternate adalah sebesar 11,3 persen. Laju inflasi di wilayah Nusa Tenggara juga relatif tinggi, yaitu Maumere (NTT) sebesar 16,2 persen, Bima (NTB) 14,4 persen, dan Mataram (NTB) 13,0 persen. Sementara itu, laju inflasi di wilayah Kalimantan juga di atas rata-rata nasional, terutama Tarakan 19,9 persen, Samarinda 12,7 persen, Singkawang 12,7 persen, Palangkaraya 11,7 persen, dan Banjarmasin 11,6 persen. Beberapa daerah di wilayah Sumatera juga menghadapi inflasi tinggi, seperti Pangkal Pinang (18,4 persen), Bandar Lampung (14,8 persen), Dumai (14,3 persen), Lhokseumawe (13,8 persen), Bengkulu (13,4 persen), Padang (12,7 persen), dan Jambi (11,6 persen). Beberapa daerah di Jawa juga menghadapi tekanan inflasi tinggi, seperti Cirebon-Jawa Barat (14,1 persen), Serang-Banten (13,9 persen), Madiun-Jawa Timur (13,3 persen), Cilegon-Banten (13,0 persen), Tasikmalaya-Jawa Barat (12,1 persen), dan Purwokerto-Jawa Tengah (12,1 persen.
12. Industri pengolahan sebagai sumber pertumbuhan PDB, perdagangan, serta hotel dan restoran berperanan penting dalam penciptaan lapangan kerja. Peran sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan kehutanan meningkat signifikan sebagai sumber pertumbuhan PDB, tetapi peranannya terhadap penciptaan tambahan lapangan dan pengentasan kemiskinan masih memerlukan kajian yang lebih mendalam.

Struktur dan Sasaran Kebijakan Fiskal
13. Dari sisi pendapatan, dibandingkan dengan tahun 2010, tahun 2011 mengalami penurunan pendapatan bukan pajak sebesar Rp3,7 triliun meskipun keseluruhan pendapatan negara naik sebesar Rp94,3 triliun, terutama akibat kenaikan harga minyak menjadi US$80—85 per barel.
14. Perkiraan pendapatan pajak berkaitan dengan tax ratio yang dijadikan sasaran. Tax ratio dalam APBN-P TA 2010 sebesar 11,9% lebih tinggi dari perkiraan awal. Tahun 2011 tax ratio tersebut harus naik mendekati tax ratio tahun 2008 (13,0%). Meskipun demikian, tax ratio APBN Indonesia masih lebih rendah dari tax ratio yang dicapai oleh negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand.
15. Belanja pemerintah pusat tahun 2011 meningkat tajam menjadi Rp840,9 triliun, yaitu meningkat sebesar Rp59,4 triliun dan dana transfer ke daerah meningkat menjadi Rp364,1 triliun, naik sebesar Rp19,5 triliun dibandingkan dengan APBN-P TA 2010. Nilai dana transfer ke daerah mencapai 30,2% terhadap belanja negara yang berarti lebih rendah 0,4% dibandingkan dengan tahun 2010.

Tabel II.4 Postur Indikatif APBN-P TA 2010 dan RAPBN TA 2011

Komponen RAPBN 2010 APBN-P 2010
(triliun Rp) APBN 2011
Proyeksi
(triliun Rp)
A. Pendapatan Negara dan Hibah
(1) Penerimaan Dalam Negeri
a. Penerimaan Perpajakan
b. Penerimaan Bukan Pajak
(2) Hibah 992,4
990,5
743,3
247,2
1,9 1.086,7
1.083,4
839,9
243,5
3,2
B. Belanja Negara
(1) Belanja Pemerintah Pusat
(2) Transfer ke daerah 1.126,1
781,5
344,6 1.204,9
840,9
364,1
C. Surplus/defisit anggaran
% defisit terhadap PDB (137,7)
(2,1) (118,3)
(1,7)
D. Pembiayaan 133,7 118,3

Sumber:
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011, Kementerian Keuangan, Mei 2010

16. Gejala menurunnya perkiraan dana transfer ke daerah tidak membantu upaya peningkatan kesejahteraan di daerah. Hal tersebut bertentangan dengan tujuan pengembangan otonomi daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
17. Dana transfer ke daerah amat penting untuk membiayai pembangunan daerah. Alokasi dana transfer ke daerah pada tahun 2011 senilai Rp364,1 triliun patut mendapat apresiasi. Demikian pula dengan komitmen Pemerintah untuk mengalihkan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang digunakan untuk mendanai urusan daerah ke DAK. Seiring dengan penguatan desentralisasi fiskal, DPD RI mengharapkan dana transfer ke daerah merupakan fungsi dari urusan kepemerintahan yang diserahkan ke daerah sesuai dengan prinsip money follows function. Oleh karena itu, DAU juga harus ditingkatkan dari tahun ke tahun dan diarahkan untuk membiayai kegiatan yang lebih produktif, yaitu berupa belanja modal pembangunan.
18. Defisit sebesar 1,7 persen dari PDB dilakukan antara lain untuk mendukung program pembangunan tahun 2011 serta menjaga kesinambungan fiskal. DPD RI mengharapkan defisit sedapat mungkin ditekan dengan meningkatkan efisiensi pengeluaran pembangunan. Dalam kaitan itu, DPD RI memandang penting aspek akuntabilitas penerimaan negara, terutama dari sektor perpajakan, mengingat penerimaan perpajakan menjadi primadona penerimaan tahun 2011. Oleh karena itu, berbagai bentuk penyimpangan oleh oknum aparat pajak harus ditindak secara tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
19. Program stabilitas harga tahun 2011 melalui subsidi diberikan dalam bentuk subsidi energi (BBM dan listrik), dan non-energi (pangan, pupuk, benih, PSO, kredit program, dan subsidi pajak). Bentuk subsidi itu akan diteruskan untuk energi, pangan, dan pupuk.


III PERTIMBANGAN DPD RI ATAS RAPBN TA 2011

Umum

1. Prioritas Pembangunan Nasional RPJMN 2010—2014 terdiri atas 11 prioritas pembangunan nasional yang terdiri atas (a) reformasi birokrasi dan tata kelola; (b) pendidikan; (c) kesehatan; (d) penanggulangan kemiskinan; (e) ketahanan pangan; (f) infrastruktur; (g) iklim investasi dan iklim usaha; (h) energi; (i) lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (j) daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik; dan (k) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi. Kesebelas prioritas tersebut harus menjadi acuan dalam tahun 2011 yang secara konsisten didukung oleh kebijakan fiskal yang memadai. Integrasi antarkesebelas prioritas dalam satuan wilayah harus tergambar dengan jelas, terutama untuk daerah perbatasan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara Timur.

2. Proses penyusunan anggaran mulai dari perencanaan APBN, RPJMN, audit APBN, dan penyusunan LPJ yang semuanya dilaksanakan bersamaan dalam satu tahun sering kali menimbulkan keterlambatan dan kekurangtelitian yang merugikan. DPD RI menganggap pemerintah perlu mencari mekanisme yang lebih baik dan memperhitungkan kebutuhan waktu yang diperlukan untuk menghasilkan percepatan dan ketelitian yang diperlukan dalam sistim penyelenggaraan proses penganggaran. Salah satu yang mungkin perlu dikaji adalah sistim multiyears.

3. Perkiraan PDB sebaiknya dibuat untuk 5 tahun dalam RPJMN sehingga kebutuhan investasi dapat pula diperkirakan untuk 5 tahun ke depan dan kebutuhan APBN dapat diketahui untuk periode 5 tahun dalam RPJMN. Oleh karena itu, harus ada kejelasan antara tugas perencanaan dan penganggaran di antara lembaga-lembaga di lingkungan eksekutif.

4. Peranan APBN dalam pembentukan PDB masih amat rendah (13,6%) jika dibandingkan peranan sumber dana dari swasta (perbankan, pasar modal, laba perusahaan yang diinvestasikan, dan PMA, termasuk utang pemerintah dalam budget). SUN sudah menjadi instrumen yang terpadu dengan budget. Oleh karena itu, peranan APBN harus direorientasikan kembali untuk menyediakan iklim usaha yang diperlukan oleh sumber investasi dari sektor swasta, mengurangi kesenjangan antardaerah, mengurangi kemiskinan (jaring pengaman sosial), memelihara fungsi lingkungan hidup, serta menjamin pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup dan jaminan keamanan nasional.

5. Tahapan-tahapan dalam perencanaan pembangunan yang banyak jenjang dan keterkaitannya masih sukar dilaksanakan secara konsisten dan terpadu. Implementasi tahapan-tahapan perencanaan seperti RPJP, RPJMN, Renstra, RKP, dan roadmap ke dalam satu pekerjaan yang tersinkron secara utuh masih belum terlihat berhasil. Instrumen MUSRENBANG masih perlu dikembangkan untuk memberi kesempatan pada keterpaduan sistim perencanaan yang tepat dan tepat waktu.

6. Konsep negara maritim yang tertuang dalam RPJMN 2010—2014 tampaknya belum dapat diimplementasikan dalam sistim penganggarannya. Meskipun demikian, seharusnya ada pendekatan awal untuk mewujudkan pembangunan nasional dalam konsep negara maritim itu.

Indikator Ekonomi Makro

7. Dalam asumsi indikator makro ekonomi tahun 2011 terdapat perkiraan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2%—6,4%, tetapi komposisi sumber pertumbuhannya perlu diiringi dengan peningkatan pada aspek kualitasnya, yaitu implikasi pada kesejahteraan masyarakat. DPD RI meminta berbagai program dalam APBN agar semakin dapat diukur keberhasilannya dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran sebagaimana indikator ekonomi makro lainnya.

8. Tingkat inflasi (4,9%—5,3%) yang lebih rendah dari tingkat pertumbuhan ekonomi (6,2%—6,4%) cukup memberi jaminan pada pertumbuhan kesejahteraan, tetapi masih banyak daerah yang tingkat inflasinya lebih tinggi (dua digit) dari pertumbuhan ekonomi yang terkait erat dengan peningkatan jumlah penduduk miskin. Daerah tertinggal mempunyai tingkat inflasi 2 digit akibat kelancaran distribusi dan produksi yang rendah disebabkan kurangnya layanan infrastruktur fisik dan ekonomis.

9. Kota-kota di Papua, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, NTB dan NTT, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Timur, bahkan di Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur masih terdapat daerah dengan tingkat inflasi yang tinggi. Tingkat inflasi yang tinggi itu semestinya menjadi indikator pemiskinan di daerah yang seharusnya dijadikan sasaran kebijakan fiskal nasional dan daerah secara konsisten.

10. Kebutuhan modal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,2%—6,4% tampaknya dapat dicapai. DPD RI menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi itu masih dapat ditingkatkan lagi apabila pengendalian inflasi di daerah-daerah dapat dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah.

11. Perlunya meningkatkan mutu berbagai strategi untuk mendorong daya saing dan sekaligus menyejahterakan rakyat secara merata:
a. strategi energi, industri, perdagangan, dan keuangan diharapkan dapat lebih koordinatif dan disertai kinerja pembangunan masyarakat sehingga dapat mencapai sasaran secara tepat, cepat, dan berkelanjutan.
b. pemetaan dampak berbagai strategi liberalisasi ekonomi diharapkan dapat didukung data yang akurat sehingga cepat dan tepat dalam menentukan kebijakan untuk menyejahterakan rakyat.
c. strategi pembangunan otonomi daerah yang lebih luas dikembangkan sebagai bagian dari kebijakan fiskal dan moneter nasional.

12. Perekonomian nasional merupakan totalitas dari perekonomian daerah dan keterkaitan ekonomi antardaerah menjadi penentu dinamika perekonomian nasional. Oleh sebab itu, penetapan asumsi dasar harus mencerminkan realita potensi ekonomi daerah dan keterkaitan ekonomi daerah-nasional.

13. Pemerintah perlu mencantumkan target penurunan kemiskinan, pengurangan pengangguran, kesenjangan pendapatan, dan pertumbuhan ekonomi setiap provinsi untuk tahun yang bersangkutan sebagai satu kesatuan dengan penetapan asumsi dasar ekonomi makro. Dengan pencantuman ini diharapkan setiap perubahan asumsi dasar ekonomi makro akan selalu memperhatikan keterkaitan dengan penurunan kemiskinan, pengangguran, kesenjangan, dan pertumbuhan ekonomi daerah.

14. Penambahan indikator penurunan kemiskinan, pengurangan pengangguran, kesenjangan pendapatan, dan pertumbuhan ekonomi setiap provinsi ke dalam asumsi dasar diharapkan dapat mendorong pemahaman keterkaitan (konektivitas) ekonomi antardaerah dan nasional secara lebih baik, terukur, dan komprehensif. Dengan pemahaman keterkaitan ekonomi antardaerah secara lebih baik, Pemerintah dapat menentukan alokasi dan lokasi investasi pemerintah secara akurat untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing daerah.

Kebijakan Fiskal

15. Kebijakan fiskal yang tertuang dalam postur Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2011 yang menurunkan defisit anggaran menjadi 1,7% dari PDB diharapkan dapat menjaga stabilitas harga barang dan jasa, percepatan pembangunan nasional 2011, pendanaan prioritas mendesak, penyesuaian anggaran pendidikan dan infrasruktur, serta kredit usaha rakyat. DPD RI mengharapkan kebijakan fiskal tersebut dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan dapat menggerakkan sektor pertanian, termasuk kebutuhan infrastruktur dan UMKM yang menyerap tenaga kerja. Dengan demikian, akan berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat di daerah sesuai dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun demikian, pembiayaan defisit anggaran tahun 2011 tersebut tidak dibiayai dari tambahan utang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri.

16. DPD RI memandang penting aspek akuntabilitas penerimaan negara, terutama dari sektor perpajakan. Berbagai bentuk penyimpangan oleh oknum aparat pajak harus ditindak secara tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Kasus pelanggaran hukum oleh oknum perpajakan jangan sampai merusak reformasi birokrasi dan administrasi.

17. Indikator kemiskinan dan ketenagakerjaan tidak terlihat dalam Kerangka Ekonomi Makro 2011 sehingga ada indikasi kurangnya keberpihakan Pemerintah untuk rakyat. Dengan tiadanya indikator tersebut, berbagai program dalam APBN seperti peruntukan alokasi subsidi tidak dapat diukur keberhasilannya dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Harus ada jaminan bahwa uang sampai ke rakyat. Subsidi untuk pendidikan akan meningkatkan kinerja pendidikan. (relevan dg point 14)

18. Inventarisasi dan pengelolaan aset nasional masih menimbulkan masalah disclaimer dalam penyelenggaraan keuangan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kekayaan negara yang dinilai dari aset ini memerlukan pengelolaan yang baik karena menjadi peluang untuk membangun modal pembangunan.

19. Kebijakan fiskal yang terkait dengan penyelenggaraan otonomi daerah tertuang dalam 2 (dua) peraturan perundang-undangan, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kedua UU tersebut dirancang menjadi suatu komitmen negara untuk membangun otonomi daerah dalam kerangka NKRI dan dinyatakan dalam dana transfer ke daerah. UU Nomor 33 Tahun 2004 menetapkan sekurang-kurangnya 26% dari belanja negara ditransfer ke daerah dalam bentuk dana perimbangan yang disebut DAU.

20. Ketetapan tentang dana perimbangan (DAU, DAK, dan DBH) dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, DPD RI menganggap perlu evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan UU itu, termasuk melakukan revisi yang diperlukan untuk membangun otonomi daerah yang luas dalam bingkai NKRI.

21. Sampai saat ini otonomi daerah masih kurang didukung oleh kemampuan keuangan. Belum ada upaya nyata untuk meningkatkan dana minimum 26% DAU.(relevansinya dg point 19?) Dana transfer ke daerah harus dapat dinaikkan sejalan dengan penyerahan sebagian wewenang pemerintah pusat untuk dilaksanakan oleh daerah secara utuh. Kemampuan daerah untuk melaksanakan dana transfer yang besar harus dibangun oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat secara bersama-sama.

22. Pemerintah perlu menyusun kerangka fiskal jangka menengah sampai dengan tahun 2015 untuk memberikan kepastian dalam perencanaan dan penganggaran. Kepastian itu menyangkut besaran dan arah belanja pusat dan dana transfer daerah.

23. Pemerintah juga perlu menjelaskan keterkaitan sasaran pembangunan yang ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2011 dengan RPJMN 2010—2014 dan keterkaitan sasaran RKP Tahun 2011 dengan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga Tahun 2011. Selain itu, Pemerintah perlu menjelaskan keterkaitan berbagai sasaran pembangunan yang dilengkapi dengan indikator kinerja yang terukur dan rinci.

24. Pencapaian 3 (tiga) sasaran utama pembangunan tahun 2011 yaitu percepatan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan sangat ditentukan oleh besaran dan arah insentif fiskal. Pemerintah perlu mengarahkan insentif fiskal untuk pengembangan sektor energi, penguatan ketahanan pangan; dan pembangunan kedaulatan pangan sesuai dengan kapasitas daerah, peningkatan kapasitas SDM, dan pembangunan infrastruktur di daerah. Dengan langkah itu, kebijakan fiskal akan mendorong percepatan peningkatan produktivitas daerah dan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di daerah.

25. Penerimaan perpajakan tahun 2011 meningkat sebesar Rp96,6 triliun atau meningkat sebesar 13% dibanding penerimaan perpajakan tahun 2010. Peningkatan penerimaan perpajakan pada dasarnya merupakan mobilisasi uang rakyat. DPD RI juga mencatat masih terjadi berbagai kasus penyalahgunaan pajak (apa rekomendasinya? )

26. DPD RI mencatat bahwa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menurun dari Rp247,2 triliun menjadi Rp243,5 triliun atau menurun sebesar Rp3,7 triliun. Meningkatnya penerimaan perpajakan perlu diimbangi dengan tanggung jawab politik Pemerintah dalam mengelola pendapatan dengan efisien dan efektif untuk mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat, peningkatan produktivitas, dan percepatan pembangunan daerah.

27. DPD RI juga berpendapat bahwa Pemerintah perlu bekerja keras dalam mengoptimalkan penerimaan perpajakan sehingga tax ratio secara bertahap akan meningkat menjadi 13%—15% dari PDB.

28. Pemerintah perlu mengoptimalkan PNBP melalui berbagai langkah seperti optimalisasi penerimaan deviden dan pajak dari BUMN, optimalisasi penerimaan minyak dan gas, serta langkah lain yang mendasar.

29. DPD RI mencatat bahwa kerja sama investasi antara pemerintah daerah dan perusahaan minyak dan gas bumi masih belum berjalan dengan baik, lancar, dan benar, terutama menyangkut penyediaan prasarana dan perhitungan bagi hasil. Dalam hal ini DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu mendorong investasi perusahaan minyak dan gas atas dasar kerja sama yang solid dan saling menguntungkan dengan pemerintah daerah.

30. DPD RI mencatat bahwa kebutuhan minyak dan gas dalam negeri masih cukup besar, terutama rakyat di daerah pedalaman yang sulit dijangkau dengan transportasi, seperti di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan. Kesulitan mendapatkan minyak dan gas menyebabkan biaya transportasi menjadi mahal.

31. Selain itu, kesulitan bahan baku juga berdampak pada biaya produksi, terutaman bagi para nelayan yang menggunakan perahu motor dan petani yang menggunakan peralatan pendukung berbahan bakar minyak. Oleh sebab itu, DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu menyusun peta kebutuhan minyak dan gas di seluruh wilayah sebagai dasar penetapan alokasi distribusi minyak dan gas. Pemerintah perlu memperbaiki distribusi minyak dan gas antardaerah dengan memperhatikan kebutuhan rakyat di setiap daerah dan keseimbangan distribusi antardaerah.

32. DPD RI mencatat bahwa kenaikan tarif dasar listrik akan mendorong kenaikan harga barang dan jasa serta membawa dampak menurunnya daya beli rakyat, terutama rakyat miskin. Pemerintah perlu melakukan perbaikan layanan penyediaan listrik dalam menjaga pasokan listrik dan memperluas jaringan distribusi listrik, terutama di daerah-daerah yang selama ini belum mendapat layanan listrik seperti di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.

33. DPD RI menemukan bahwa kemampuan dan daya beli masyarakat serta jangkauan layanan di setiap wilayah berbeda. Oleh sebab itu, Pemerintah perlu mempertimbangkan penerapan tarif dan subsidi listrik menurut wilayah.

Transfer ke Daerah

34. Penambahan dana perimbangan, khususnya DBH senilai Rp4,5 triliun, patut dipertanyakan mengingat masih banyak utang dana bagi hasil migas (kurang salur) yang belum diselesaikan oleh Pemerintah sehingga merugikan daerah. Meskipun Pemerintah berkomitmen untuk merealisasikan kurang salur DBH Migas tahun 2008 pada APBN TA 2010, DPD RI mengkhawatirkan penurunan persentase dana transfer ke daerah yang berdampak pada perlambatan pembangunan di daerah. Mekanisme pelaksanaan dana transfer ke daerah agar dipertimbangkan kemudahan penyerapan anggaran oleh daerah. Adapun DBH perkebunan belum dimuat dalam UU Nomor 33 Tahun 2004. Perlu revisi UU tersebut untuk memasukkan DBH perkebunan.
35. DAU yang selama ini didistribusikan dengan maksud menutupi defisit fiskal daerah memerlukan kajian yang lebih mendalam sehubungan dengan konsep negara kesatuan NKRI. Dalam konsep persatuan dan kesatuan diharapkan semua daerah mendapat akses kepada DAU. Perolehan DAU yang relatif kecil lebih baik dari sisi peraturan dibandingkan dengan tidak memperoleh DAU.

36. Pemerintah agar mencermati dan memperhatikan formula DBH cukai hasil tembakau, DBH perkebunan, pedoman anggaran pendidikan, subsidi untuk guru sesuai dengan UMR, jaminan sosial dan kesehatan, daerah penghasil migas yang tidak mendapat DBH, serta realokasi untuk anggaran sektor pertahanan.

37. Pos anggaran dana pendamping DAK dan PNPM tidak ada di beberapa daerah. Sebaiknya, PNPM tidak mensyaratkan dana pendamping atau paling tidak dana pendamping PNPM diturunkan menjadi 3%—5% saja. Untuk meningkatkan tanggung jawab dan akuntabilitas DAK di daerah, peran gubernur dapat ditingkatkan sebagai pembantu pemerintah di daerah, dan pemerintah pusat (K/L) menyerahkan tanggung jawab pelaksanaan DAK kepada daerah.

38. Kebijakan dana transfer daerah masih belum optimal dalam mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat dan memacu kemajuan daerah. Oleh karena itu, diperlukan upaya pemerintah yang lebih konsisten untuk (a) melakukan pembenahan terhadap mekanisme perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian, dan evaluasi dalam pengelolaan transfer daerah; (b) memberikan kepastian alokasi dana transfer daerah dalam lima tahun dengan mengacu pada konsep kerangka jangka menengah (medium-term expenditure framework). Tujuannya adalah memberikan kepastian bagi pemerintah daerah dalam merumuskan rencana dan anggaran serta kepastian pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pembangunan.

39. DPD RI mencatat bahwa transfer dana dari pusat ke daerah ternyata menciptakan ketergantungan fiskal terhadap pusat yang lebih tinggi. Sistim transfer dana ke daerah belum mampu menurunkan ketimpangan antarprovinsi secara nyata. Pola perhitungan dan alokasi dana transfer daerah dipandang belum berkeadilan. Provinsi Riau, Kalimantan Timur, dan NAD memiliki dana bagi hasil (DBH) yang besar dari SDA, tetapi mendapat alokasi DAU kecil sehingga menyebabkan munculnya ketidakadilan vertikal. Oleh sebab itu, Pemerintah perlu memperbaiki dasar perhitungan DBH dengan perhitungan dan formula alokasi dan penyaluran ke daerah yang lebih trasparan dan lebih adil.

40. DPD RI mencatat bahwa dasar perhitungan dan formula alokasi dana transfer ke daerah belum memperhitungkan karakteristik wilayah kepulauan dan tingkat kesulitan daerah. Oleh sebab itu, DPD RI mendorong Pemerintah untuk melakukan perbaikan dasar perhitungan dan formulasi alokasi dana transfer daerah, terutama DAU, dengan memperhatikan perbedaan karakteristik daerah, tingkat kesulitan daerah, wilayah kepulauan, dan asas hak dasar masyarakat yang membangun kesamaan dan kesetaraan.

41. DPD RI mencatat bahwa komponen DAK terus berkembang menjadi 19 bidang. Peningkatan jumlah komponen bidang akan menyulitkan bagi pemerintah daerah dalam memahami kebijakan, kriteria dan lingkup kegiatan, serta merepotkan dalam administrasi. Oleh sebab itu, DPD RI mengusulkan kepada Pemerintah agar membuat pengelompokan (clustering) 19 bidang DAK tersebut menjadi 5 kelompok bidang, yaitu (1) bidang pengembangan sumber daya manusia; (2) bidang pengembangan prasarana; (3) bidang percepatan pembangunan ekonomi; (4) bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan (5) bidang penataan birokrasi dan pelayanan publik.

42. Pemerintah harus cepat menanggulangi berbagai hambatan dalam pengelolaan dana transfer daerah, antara lain, yang disebabkan oleh:
a. adanya perubahan peraturan perundang-undangan yang sangat cepat tanpa diikuti oleh sosialisasi telah menyebabkan keterlambatan penyesuaian terhadap peraturan yang baru dan berdampak terhadap kurang optimalnya penyerapan belanja daerah;
b. terbatasnya pemahaman aparatur terhadap teknis penyusunan anggaran dan pengalokasian dana terutama dalam penentuan prioritas belanja dengan mengacu pada prinsip anggaran berbasis kinerja;
c. belum adanya standar pelayanan minimal sebagai acuan dalam mengalokasikan anggaran belanja daerah;
d. belum adanya standar analisis belanja sebagai acuan yang digunakan untuk mengukur tingkat kewajaran belanja dan beban kerja; dan
e. belum semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau dinas/instansi menggunakan anggaran berbasis kinerja sebagai dasar penyusunan anggaran. Kondisi ini menyebabkan kesulitan dalam menetapkan indikator kinerja program dan kegiatan setiap SKPD dan ketidaktepatan dalam mengalokasikan belanja daerah untuk mewujudkan tujuan dan sasaran pembangunan.

43. Selain itu, DPD RI mencatat bahwa DAK masih belum mencapai tujuan dan sasaran seperti yang diharapkan. Hal itu disebabkan lemahnya pengendalian dan evaluasi yang dilakukan Pemerintah dan terbatasnya kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan dana. Hampir semua provinsi di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera mengalami hambatan dalam penyediaan infrastruktur. Oleh sebab itu, alokasi dana transfer ke daerah TA 2011 perlu diperbesar guna mendukung percepatan pembangunan infrastruktur dan prasarana daerah.

44. Beberapa provinsi mengalami keterlambatan dan kekurangan dalam penyaluran dana bagi hasil (DBH). Oleh sebab itu, Pemerintah perlu segera menyelesaikan keterlambatan dan kekurangan dalam pembayaran dana bagi hasil kepada daerah pada tahun anggaran 2011.

45. DPD RI mengetahui bahwa perkebunan di beberapa daerah mengalami perkembangan yang pesat sehingga memberikan pendapatan kepada negara. Oleh karena itu, Pemerintah perlu memasukkan DBH sektor perkebunan sebagai salah satu DBH SDA di luar sektor yang telah mendapatkan persetujuan dalam APBN TA 2010.

46. Formulasi perhitungan dana transfer ke daerah harus lebih transparan bagi daerah untuk mempermudah perencanaan pembangunan di daerah. Salah satu yang perlu dibuka untuk daerah adalah data lifting migas yang digunakan untuk perhitungan DBH Migas. Transparansi informasi tersebut telah menjadi perintah undang-undang. Oleh karena itu, Pemerintah dan BPMIGAS perlu memberikan akses kepada daerah untuk memperoleh data lifting migas tersebut.

47. DPD RI mencatat bahwa beberapa daerah yang mempunyai kinerja dan kapasitas fiskal yang meningkat cenderung mengalami penurunan alokasi dana transfer daerah. Dalam hal ini, Pemerintah perlu mempertimbangkan perubahan kebijakan dalam penghitungan dan formula DAU agar peningkatan kinerja keuangan daerah yang berupa peningkatan DBH dan/atau PAD bagi suatu daerah tidak menjadi disinsentif bagi daerah yang bersangkutan.

48. Dengan memperhatikan kecenderungan perubahan iklim yang berdampak bagi seluruh kehidupan masyarakat dan kelangsungan sumber daya alam dan lingkungan hidup, DPD RI mengusulkan kepada Pemerintah untuk mempertimbangkan alokasi anggaran khusus untuk mengantisipasi perubahan iklim bagi daerah-daerah yang terkena dampak yang parah. Prioritas dan perlakuan yang sama juga harus diberlakukan bagi daerah rawan bencana alam lain.

49. Dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan merupakan anggaran yang dikelola langsung oleh K/L untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan telah menjadi urusan daerah. Dalam upaya percepatan pembangunan daerah, DPD RI mengusulkan kepada Pemerintah untuk segera mengalihkan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan menjadi DAK sesuai dengan ketentuan undang-undang. Pengalihan dana dekon dan dana tugas perbantuan tidak boleh mengurangi alokasi dana dalam APBD untuk kegiatan yang sama. Pengalihan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan tersebut erat pula kaitannya dengan sistim pengawasan yang dapat dikembangkan lebih baik.

50. Dana otonomi khusus (OTSUS) telah dialokasikan ke daerah yang memerlukan peningkatan penyelenggaraan otonomi khusus seperti Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dana serupa juga harus diberikan kepada Provinsi Papua Barat, terpisah dari dana otsus yang diberikan kepada Provinsi Papua.

Pelaksanaan Pembangunan

51. DPD RI berpendapat bahwa kenaikan belanja negara perlu diimbangi dengan reformasi birokrasi dalam meningkatkan jangkauan dan mutu pelayanan publik, terutama di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera, serta beberapa daerah di wilayah Jawa-Bali.

52. DPD RI mencatat bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum sepenuhnya menerapkan anggaran berbasis kinerja dalam perencanaan program dan kegiatan pembangunan. Kondisi ini menyebabkan pengelolaan belanja menjadi kurang optimal dalam mencapai tujuan pembangunan, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan produktivitas dan daya saing, mempercepat pembangunan daerah, dan mendorong pemerataan pembangunan antardaerah.

53. DPD RI menemukan bahwa Pemerintah belum memperhatikan keseimbangan belanja modal, belanja perjalanan, serta belanja barang dan jasa. Dalam hal ini, DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu meningkatkan belanja modal yang diarahkan untuk pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, lapangan terbang, pembangkit listrik, dan penyediaan air bersih. Peningkatan pembangunan diarahkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan rakyat, menjamin kelancaran distribusi barang, jasa, dan informasi, serta meningkatkan produktivitas dan daya saing produk nasional.

54. Pembangunan infrastruktur perlu diarahkan ke daerah yang kurang berkembang sebagai akibat kendala infrastruktur, termasuk daerah-daerah di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian daerah di wilayah Sumatera. Pembangunan infrastruktur tersebut diharapkan dapat mempercepat pembangunan daerah dan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru di daerah. Selain itu, Pemerintah juga diharapkan mendorong penggunanaan barang dan jasa dari dalam negeri yang dihasilkan oleh usaha mikro, kecil menengah, dan koperasi (UMKMK) sehingga belanja barang dan jasa akan mendorong kegiatan ekonomi rakyat.

55. DPD RI masih menemukan proses pencairan dan penyaluran anggaran setiap tahun yang selalu mengalami keterlambatan sehingga tidak optimal dalam menggerakkan ekonomi. Salah satu penyebab keterlambatan adalah rumitnya ketentuan pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Oleh sebab itu, Pemerintah perlu meninjau kembali ketentuan yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 dan mengembangkan kapasitas aparatur dalam pengadaaan barang dan jasa dengan tetap memperhatikan kualitas akuntabilitasnya.

56. Lambatnya penyerapan anggaran akan mengakibatkan jumlah uang beredar semakin kecil, mengganggu cash flow para pelaku usaha, dan menciptakan kekeringan likuiditas. Oleh karena itu, Pemerintah perlu menerapkan sistem dan mekanisme reward and punishment bagi kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang terlambat dalam menyerap anggaran, misalnya dengan memotong pagu anggaran tahun berikutnya.

57. DPD RI menemukan bahwa pelaksanaan desentralisasi masih belum optimal. Pelaksanaan desentralisasi masih didominasi oleh proses dan kegiatan politik yang sering menyebabkan sengketa dan konflik antarwarga. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus terus membangun solidaritas sosial yang mantap dalam konteks pembangunan otonomi yang lebih bertanggung jawab.

58. DPD RI berpendapat bahwa desentralisasi fiskal perlu terus didorong dan ditingkatkan antara lain dengan menambah alokasi DAU dari 26 persen pada tahun 2010 secara bertahap menjadi paling sedikit 29 persen pada tahun 2014 dan seterusnya. Peningkatan alokasi DAU diharapkan dapat memacu peningkatan layanan publik di daerah menjadi lebih baik, bermutu, cepat, mudah, dan murah; meningkatkan produktivitas ekonomi daerah; serta memacu peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, Pemerintah harus secara terus menerus meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan anggaran dan peningkatan layanan publik.

59. Dalam pelayanan kesehatan, permasalahan utama menyangkut keterbatasan akses layanan kesehatan, khususnya keluarga miskin di daerah-daerah yang memiliki karakteristik geografis yang sulit, serta adanya berbagai penyakit menular seperti HIV/AIDS, flu burung, demam berdarah, penyakit menular lainnya, serta daerah rawan bencana.

60. Selain itu, permasalahan kesehatan berkaitan dengan rendahnya pemenuhan gizi terutama ibu, bayi, dan balita dari keluarga miskin, serta rendahnya kesadaran perilaku hidup bersih dan sehat. Provinsi yang memiliki permasalahan kesehatan yang cukup banyak antara lain NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

61. Sebagian besar desa/kelurahan di wilayah Papua, Maluku, dan Kalimantan mengalami kesulitan dalam menjangkau prasarana kesehatan. Beberapa provinsi memiliki lebih dari 20 persen desa/kelurahan yang mengalami kesulitan pelayanan kesehatan, yaitu Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Papua, dan Papua Barat.

62. DPD RI berpendapat bahwa peningkatan jangkauan dan mutu layanan kesehatan perlu dilakukan dengan menempuh berbagai upaya, yaitu optimalisasi mekanisme pembiayaan yang ada dengan mengutamakan perhatian terhadap anak dan ibu dari keluarga miskin, peningkatan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program dan kegiatan Kementerian Kesehatan, serta penguatan koordinasi Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah.

63. DPD RI mencatat bahwa tingginya angka kemiskinan dan belum memadainya jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan dan pendidikan merupakan permasalahan utama yang terjadi di sebagian besar provinsi di Papua, Papua Barat, NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Sulawesi Tengah, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah terutama masyarakat kawasan pesisir, daerah teringgal, kawasan perbatasan, daerah pedalaman, daerah kumuh perkotaan, daerah yang terkena bencana alam, dan daerah rawan pangan.

64. DPD RI berpendapat bahwa sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005—2025, masalah kemiskinan harus dilihat sebagai kegagalan pemenuhan hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak dasar rakyat terutama hak atas pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat, sistim identitas tunggal (single identity number) bagi penduduk harus segera diwujudkan.

65. DPD RI berpendapat bahwa dalam tahun 2011 dan RPJM 2010—2014, Pemerintah perlu mengoptimalkan seluruh sumber daya, meningkatkan koordinasi antarkementerian/lembaga, dan memperkuat sinergi pusat-daerah dalam mengatasi kemiskinan. Seluruh program dan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh K/L dan pemerintah daerah harus diarahkan untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar rakyat.

66. PNPM yang mencakup seluruh kecamatan, meliputi pelayanan dasar seperti penyediaan air bersih dan infrastruktur jalan yang menghubungkan sentra produksi dengan pasar. Pos anggaran dana pendamping DAK dan PNPM tidak ada di beberapa daerah. Sebaiknya PNPM tidak mensyaratkan dana pendamping atau paling tidak dana pendamping PNPM diturunkan menjadi 3%—5%. DPD RI menganggap perlu dilakukan kajian yang berkaitan dengan PNPM karena PNPM dapat menyebabkan tergilasnya mekanisme tradisional seperti dana tabungan masyarakat.

67. Melalui PNPM, Pemerintah perlu memperhatikan, mempersiapkan, serta membantu masyarakat dan dunia usaha nasional dan daerah untuk memanfaatkan pasar yang besar di Cina dalam format CAFTA.



IV SARAN

1. Laju pertumbuhan ekonomi perlu terus dipacu menjadi lebih dari 6,2%—6,4% dengan memanfaatkan perekonomian dunia yang membaik dan membangun daya saing agar tidak tertinggal dari negara sekitar yang mulai tumbuh dan memanfaatkan perkembangan ekonomi Cina dan India sebagai pemicu, serta melalui peningkatan peranan daerah di bidang pembangunan ekonomi melalui penyediaan infrastruktur ekonomi yang mencukupi.

2. Tingkat investasi yang diperkirakan akan meningkat pada tahun 2011 harus dikawal oleh Pemerintah agar menjadi kenyataan melalui berbagai upaya penyiapan iklim investasi yang kondusif, penyediaan infrastruktur, dan lokasi yang tepat di daerah.

3. Perubahan komposisi sumber pertumbuhan ekonomi tahun 2011 harus tetap mengacu pada tujuan jangka menengah untuk mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan. Indikator kesejahteraan yang berupa penyediaan lapangan kerja dan tingkat kemiskinan diterapkan pada setiap sektor pembangunan.

4. Peranan APBN direorientasikan pada redistribusi APBN dari orang/daerah yang kaya ke daerah yang miskin, pemerataan, pemberdayaan masyarakat (empowerment), penyediaan iklim usaha yang baik, jaminan sosial, jaminan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan, pelindungan fungsi lingkungan hidup, dan jaminan keamanan bagi masyarakat, serta fasilitasi untuk menyatukan usaha kecil dan usaha besar yang saling menguntungkan.

5. Keterkaitan antara usaha besar yang sedikit jumlahnya dengan usaha kecil masyarakat yang amat besar jumlahnya memerlukan fasilitasi yang dapat dibangun oleh pemerintah agar keduanya mendapat manfaat yang adil.

6. Pemerintah memfasilitasi kesatuan nasional dalam bidang ekonomi dan sosial melalui sistim transportasi yang menghubungkan semua daerah dalam konsep negara maritim. Lautan harus dijadikan pemersatu dan bukan pemisah antardaerah melalui sistim transportasi terpadu, sektor perhubungan laut agar menjadi primadona baru dalam APBN dan RPJMN. Menjadikan RPJMN menjadi referensi dalam politik pembangunan daerah maritim.

7. Dana transfer ke daerah terus dikembangkan sebagai konsekuensi pembangunan otonomi daerah dalam bingkai NKRI. DAU digunakan sebagai instrumen pemersatu nasional. DAU harus naik secara bertahap untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran di daerah.

8. Dana transfer ke daerah dalam bentuk PBB dan BPHTB agar segera dijadikan pajak daerah yang langsung dikelola oleh daerah.

9. Kebijakan fiskal harus menyatu dengan kebijakan industri, kebijakan energi, dan kebijakan sosial untuk membangun kekuatan daya saing bangsa yang kuat. Kebijakan infrastruktur juga diarahkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat golongan menengah dan bawah untuk membangun potensi partisipasi dalam pembangunan yang lebih mendalam.

10. Perlu segera dilakukan reorientasi belanja pusat dalam percepatan pembangunan daerah. Saat ini berbagai instrumen dan skema anggaran telah digunakan oleh pemerintah dalam mempercepat pembangunan daerah antara lain dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan, dana transfer daerah (DAU, DAK, DBH, dana otonomi khusus, dan dana penyesuaian). Salah satu kelemahan dari pengelolaan berbagai instrumen anggaran tersebut adalah lemahnya sinkronisasi. DPD RI menyarankan agar Pemerintah melakukan sinkronisasi pengelolaan seluruh instrumen anggaran tersebut dengan mengutamakan pemerataan antardaerah. Dalam pengalokasian berbagai instrumen anggaran, Pemerintah menggunakan pendekatan wilayah sebagai pertimbangan utama, terutama dalam mempercepat pembangunan wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan.

11. Optimalisasi dana transfer ke daerah perlu segera dilakukan. DPD RI menyarankan agar Pemerintah memikirkan desain dan skema mobilisasi dan alokasi sumber daya bangsa secara menyeluruh. Pemerintah perlu mempercepat pengalihan dana dekonsentrasi/dana tugas pembantuan bergeser menjadi dana transfer ke daerah.

12. Pemerintah agar mengembangkan penyempurnaan mekanisme perencanaan dan penganggaran. Mekanisme pembahasan anggaran negara menggunakan mekanisme musrenbang. Usulan tersebut diwujudkan dalam bentuk program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat seperti infrastruktur jalan dan jembatan, irigasi pertanian, pendidikan, dan kesehatan. Pemerintah agar menyempurnakan mekanisme musrenbang.

13. Format pagu anggaran kementerian/lembaga dikembangkan dengan memperhatikan wilayah. Dalam upaya mempercepat pembangunan daerah dan mendorong pemerataan pembangunan antardaerah, format RAPBN perlu diubah sehingga mencerminkan pola alokasi dana menurut K/L dan pola alokasi dana menurut wilayah.

14. Perubahan format APBN juga diikuti dengan sinkronisasi nomenklatur program dan kegiatan APBN dan APBD dengan tujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan program dan kegiatan dalam mempercepat pembangunan daerah.

15. Optimalisasi investasi swasta perlu terus dikembangkan. DPD RI mencatat bahwa investasi swasta masih terpusat di Jawa dan beberapa provinsi terutama DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten. Hal itu disebabkan oleh ketimpangan dalam penyediaan infrastruktur publik sebagai pendukung utama investasi swasta. DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu mengembangkan prioritas wilayah sebagai lokasi investasi swasta dengan membangun infrastruktur dan memberikan berbagai insentif fiskal bagi investasi di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.

16. Porsi portofolio penanaman modal asing (PMA) semakin besar sehingga berpotensi mengancam penguasaan sumber daya ekonomi oleh pihak asing. Dalam hal ini, DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu mendorong peningkatan peran penanam modal domestik (PMDN) dengan memberikan berbagai fasilitas, insentif fiskal, dan berbagai kemudahan lainnya.

17. Hambatan dalam optimalisasi investasi swasta berupa kurang memadainya pengetahuan aparat tentang investasi global, kelembagaan investasi, instrumen, dan pasar keuangan global sehingga aparat masih terlalu fokus pada hulu dibanding hilir dalam investasi. Hambatan lainnya adalah lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah, rumitnya proses persetujuan, dan pelaksanaan investasi di daerah. Masalah yang dihadapi oleh calon penanam modal antara lain (a) lambatnya prosedur dan proses untuk memulai usaha, terutama menyangkut lambatnya pemberian izin usaha, tingginya biaya perizinan, dan lemahnya dukungan permodalan; (b) rumitnya urusan di bidang ketenagakerjaan terutama menyangkut kontrak kerja, upah minimum, jam kerja, dan jaminan pemutusan hubungan kerja; dan (c) tidak jelasnya prosedur dan proses di bidang perpajakan, termasuk jumlah jenis pajak dan proses pembayaran pajak.

18. DPD RI mencatat bahwa hambatan di bidang tata ruang sering kali mengganggu optimalisasi investasi swasta. Hambatan lainnya adalah terbatasnya informasi tentang komoditas unggulan daerah sehingga calon penanam modal tidak memahami potensi daerah.

19. Dengan memperhatikan berbagai catatan tersebut, DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu menata dan menguatkan kelembagaan di bidang investasi, mempercepat penerbitan peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang dalam bentuk peraturan daerah, dan menata kembali sistem informasi daerah berbasis laman (website); serta penguatan dan percepatan pelaksanaan sistem pelayanan terpadu satu pintu (SPTSP).

20. Mobilisasi dana perbankan perlu ditingkatkan. DPD RI mencatat bahwa mobilisasi dana perbankan di daerah dan penyaluran kredit masih belum seimbang dan belum optimal dalam mendorong kemajuan pembangunan di daerah. Perbankan lebih banyak menghimpun dana dibanding menyalurkan kredit di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

21. DPD RI dan DPR RI bersama Pemerintah perlu merumuskan perbankan wilayah (regional banking) yang memberikan prioritas perbankan untuk beroperasi di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, serta Papua dengan tujuan meningkatkan uang beredar, mengoptimalkan pengelolaan dana di wilayah tersebut, dan mencegah kebocoran dana perbankan dari wilayah tersebut ke wilayah Jawa-Bali.

22. Peran bank pembangunan daerah (BPD) sebagai intermediasi belum optimal dalam mendukung percepatan pembangunan daerah, terutama dalam menyalurkan kredit kepada pelaku usaha di daerah. BPD masih melakukan operasi seperti perbankan konvensional yang berlomba-lomba menyimpan dana dalam bentuk Sertifikat Bank indonesia (SBI). Oleh sebab itu, pemerintah pusat bersama pemerintah daerah perlu mendorong peran BPD yang lebih aktif dalam penyaluran kredit investasi dan kredit modal kerja kepada para pengusaha di daerah. Dalam mendukung penguatan peran BPD, Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia perlu memberikan stimulus kepada BPD dalam bentuk pelonggaran giro wajib minimum (GWM) dan batas penyertaan modal kerja (BPMK) bagi BPD yang mempunyai rasio penyaluran kredit dan simpanan (LDR) di atas 75%.

23. DPD RI dan DPR RI bersama Pemerintah perlu memikirkan politik anggaran secara jelas dan pasti sehingga menempatkan anggaran negara sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan (policy driven).

24. DPD RI menganggap perlu kerja sama dengan DPR RI dan Pemerintah untuk memikirkan desain dan skema mobilisasi dan alokasi sumber daya, baik dari rupiah murni, pinjaman/hibah, investasi swasta, maupun dana perbankan secara menyeluruh dalam upaya mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat dan memacu kemajuan daerah.

25. Dalam upaya mempercepat pembangunan daerah, Pemerintah perlu menambah volume dana transfer ke daerah melalui berbagai cara dan mekanisme penyaluran yang tepat dan mudah.

26. DPD RI menganggap perlu mengembangkan upaya pemerataan pembangunan yang lebih mendasar sampai ke desa-desa. Oleh karena itu, skema dana Program Percepatan dan Pemerataan Pembangunan Daerah (P4D) perlu terus dikembangkan dan dijaga agar tidak tumpang tindih dengan program yang lain pada tingkat desa.


V PENUTUP
Demikianlah pertimbangan DPD RI ini dibuat sesuai dengan amanat konstitusi untuk menjadi pertimbangan bagi DPR RI dalam melakukan pembahasan bersama pemerintah untuk menetapkan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011.